@bende mataram@
Bagian 202
Peristiwa selanjutnya terjadi dengan cepat. Mendadak saja sang Dewaresi
telah melancarkan suatu serangan maut. Rupanya dia memilih turun tangan
dahulu daripada menunggu serangan lawan. Maka dengan menyabetkan pedang
tipisnya, dia bersuit memberi aba-aba kepada hamba-hambanya. Hampir
berbareng dengan itu, ratusan ribu tabuan yang beterbangan di udara meniup
berbareng laksana seekor naga.
Pringgasakti mendongak ke udara, la terkejut melihat ratusan ribu tabuan
berdengungan menyerang dari udara. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah.
Tabuan kelingking binatang piaraan sang Dewaresi, bukanlah jenis tabuan
lumrah. Binatang itu mempunyai sengat berbahaya dan diborehi racun pula.
Barangsiapa kena sengatannya akan tewas dalam beberapa detik.
Kembali hati Nuraini jadi berdegupan. la melihat guru Sanjaya berubah
parasnya, suatu tanda bahwa dia takut juga menghadapi serangan binatang
berbisa itu. Meskipun terhadap mereka berdua tiada pilihannya, tetapi di
luar kesadarannya sendiri ia mengharapkan guru Sanjaya menang dalam
pertarungan itu. Inilah suatu gejala, betapa hatinya telah terenggut penuh
oleh Sanjaya. Sampai-sampai seluruh kepentingannya sendiri diperuntukkan
belaka untuk kekasihnya yang mengharapkan kedatangan gurunya yang berbahaya.
Hanya beberapa detik, Pringgasakti berdiri tegak kehilangan akal. Mendadak
saja ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat sebesar telunjuk. Takkala
dikibaskan mendadak saja berubah menjadi cemeti yang panjang dan terus saja
diputar berdengungan di udara.
"Ih!" kata sang Dewaresi. Pikirnya, bukankah ini cemeti pamuk pusaka sakti
Adipati Surengpati? Bagaimana iblis itu bisa memiliki? Apakah di samping
kitab pusaka sakti ia mencuri pula cemeti keramat itu?
Memang cemeti yang dikibaskan di udara itu adalah cemeti pamuk milik
Adipati Surengpati yang disegani orang-orang sakti pada zaman itu. Cemeti
pamuk memiliki kesaktian luar biasa.
Sekali dikibaskan ke udara, terde-ngunglah dia. Seperti baling-baling
raksasa, cemeti tersebut dapat mengumpulkan angin bergulungan. Kemudian
dilontarkan merupakan suatu tenaga dorong yang dahsyat. Itulah sebabnya
pula, maka tentara udara sang Dewaresi kena disibakkan dan banyak yang
rontok di tanah.
"Hai, iblis Pringgasakti!" seru sang Dewaresi, setelah beberapa saat
terhenyak. "Dengarkan! Sama sekali aku tidak menghendaki nyawamu! Berikan
kitab pusaka Karimun Jawa kepadaku dan kamu akan kubebaskan dan kuhadiahi
pula gadis molek ini."
Pringgasakti tidak-mengacuhkan. Ia terus memutar cemetinya kian lama kian
keras.
"Baik kau boleh memutar cemetimu satu hari satu malam. Dua hari, tiga hari,
lima hari ... ya sepuluh hari. Apa kau sanggup? Aku ingin melihat
kesanggupanmu."
Pringgasakti tetap tak menyahut. Ia seperti tak mendengarkan, namun hatinya
sebenarnya mulai gelisah. Dengan bertekun ia mulai pula mencari kesempatan
untuk meloloskan diri dari libatan ratusan ribu binatang berbisa yang
menyerang terus menerus tak mengenal berhenti. Ia sadar pula, bahwa sekali
kena sengat nyawanya takkan tertolong. Sekiranya sang Dewaresi memberi obat
pemusnah baginya, kesannya sangat hina.
Menyaksikan kebandelan Pringgasakti, sang Dewaresi kemudian duduk di atas
tanah sambil menyarungkan pedang pusakanya. Kemudian ia mengeluarkan
sepotong paha ayam seraya berkata nyaring.
"Pringgasakti, pikirlah semasak-masaknya sebelum nyawamu terenggut oleh
ribuan tetabuanku. Kitab pusaka Karimun Jawa, bukankah kauperoleh dari
mencuri? Selama kau minggat dari Karimun Jawa, pastilah kamu sudah berhasil
meyakinkan isinya. Apa perlu kaupeluki kitab itu? Sebuah kitab adalah benda
mati. Nyawamu jauh lebih berharga daripada benda mati. Sebaliknya, apabila
kauserahkan kitab tersebut, kau akan bertambah dengan seorang sahabat yang
senantiasa bersiaga memberi pertolongan. Bukankah suatu usul yang bagus?"
"Kalau begitu, nah bubarkanlah barisan tabuanmu!" sahut Pringgasakti. Sang
Dewaresi tertawa berkakakan.
"Serahkan kitab pusakamu dahulu!"
Kitab pusaka Adipati Surengpati yang dicuri Pringgasakti bernama Witaradya.
Kitab Witaradya, sebenarnya adalah kitab penuntun mencapai kemukswan tak
beda dengan syu-tra-syutra Weda. Hanya saja, di dalam kitab Witaradya
tersembunyi mantram rahasia sar-wasakti yang berjumlah seribu lima ratus
gurindam, sekaligus akan menjadi tokoh sakti setengah dewa. Itulah
sebabnya, maka kitab itu bernama Witaradya. Artinya, setengah dewa.
Pringgasakti telah berhasil mencuri kitab Witaradya, tetapi hanya
seperempat bagian. Meskipun hanya seperempat bagian, kesak-tiannya
bertambah. Terbukti dalam usia setinggi itu, masih saja tubuhnya gagah
perkasa tak kurang suatu apa pun juga. Itulah sebabnya, ia memandang kitab
Witaradya, bagian jiwanya sendiri. Karena itu, betapa dia sudi menyerahkan
kitab tersebut dengan gampang. Maka pikirnya di dalam hati, kalau terpaksa,
biarlah kuserahkan. Tetapi begitu tangannya meraba kulit kitab, aku akan
meremas semua halamannya agar hancur bersama melesatnya nyawaku.
Memperoleh putusan demikian, hatinya tenang. Sebaliknya Nuraini yang
menyaksikan keripuhannya menghadapi barisan tabuan, menjadi gelisah luar
biasa. Tak sampai hati ia menyaksikan guru kekasihnya runtuh di
ha-dapannya. Maka diam-diam berdoa kian gemuruh dalam hatinya.
Dalam pada itu barisan tabuan sang Dewaresi makin lama makin pepat dan
berbahaya. Mau tak mau Pringgasakti jadi kebingungan.
Hm.. tak kukira, akhirnya aku mati demikian hina, keluhnya dalam hati.
Lantas saja berteriak keras. "Baiklah! Aku menyerah kalah. Ambillah buku ini!"
Sambil berteriak demikian, tangan kanannya merogoh saku. Sang Dewaresi
mengamat-amati.
Sang Dewaresi sesungguhnya seorang tokoh yang cukup cerdik, licin dan
berpengalaman. Sebagai seorang yang berpengalaman, tak gampang-gampang ia
menaruh kepercayaan terhadap seseorang. Sebaliknya, Pringgasakti bukan
seorang tokoh murahan. Dia pun seorang yang kenyang makan garam.
Maka begitu mendengar seruan sang Dewaresi cepat ia menarik tangan kanannya
yang merogoh saku, sambil berteriak nyaring. "Terimalah!"
Sebuah benda logam berkeredip di udara dan sang Dewaresi lantas saja roboh.
Nuraini mendengar suara bersuling dan melihat pula berkeredepnya suatu
benda. Seketika itu juga, tahulah dia bahwa Pringgasakti telah melepaskan
senjata rahasianya yang beracun. Empat orang pengikut sang Dewaresi roboh
pula berturut-turut tanpa berkutik.
"Iblis!" maki sang Dewaresi seraya bergulingan. Ternyata oleh kesebatannya,
ia dapat mengelakkan sambaran senjata rahasia Pringgasakti. Karena
terperanjat, cepat ia bergulingan di atas tanah. Begitu merasa terbebas,
hatinya menjadi kecut. Tertatih-tatih ia bangkit berdiri. Hatinya meledak
menyanyikan dendam. Dampratnya lagi, "Kau sudah kuberi kesempatan, tapi
telingamu pekak! Bagus! Hari ini, akan kubuat kau setengah hidup setengah
mati."
Pringgasakti heran menyaksikan sang Dewaresi dapat membebaskan diri dari
sambaran senjata rahasianya. Biasanya orang tak berdaya, karena sama sekali
tak menduga. Maka diam-diam ia memuji kesebatan lawan.
Dan begitu mendengar ancamannya, mau tak mau hatinya jadi cemas.
Tak lama kemudian, sang Dewaresi lantas bersiul panjang memberi aba-aba
kepada tentara tahuannya. Seketika itu juga, udara seperti pepat terpenuhi
ribuan ekor tabuan yang terus saja turun menyambar dengan cepat dan
berbondong-bondong. Pringgasakti kaget luar biasa. Gugup ia memutar cemeti
Pamuknya. Puluhan dan bahkan ratusan ekor tabuan runtuh di atas tanah.
Tetapi tentara udara sang Dewaresi berjumlah ribuan, puluhan ribu ya
malahan ratusan ribu ekor.
Satu jam lamanya Pringgasakti berjuang mengatasi maut yang dapat menyerang
pada saat-saat tertentu. Ratusan bahkan ribuan ekor tabuan telah dapat
diruntuhkan. Namun tentara tabuan sang Dewaresi nampak seperti tiada
habisnya. Berkelompok-kelompok mereka terus menyerang tanpa berhenti, dan
sekali kena sengatnya pastilah nyawa Pringgasakti takkan tertolong lagi.
Sang Dewaresi sendiri, hatinya tegang luar biasa. Ia menyaksikan kegagahan
Pringgasakti. Ia menyaksikan bagaimana tentara tahuannya kena diruntuhkan
ribuan ekor. Tetapi, sama sekali ia tak dapat bertindak untuk mendesak
lawan. Cemeti Pamuk yang diputar tiada henti merupakan rintangan lingkaran
bahaya. Karena itu, terpaksalah dia menunggu dengan mempersiapkan senjata
rahasianya pula yang terbuat dari ramuan bisa ular, bisa kala dan buah
ingas. Barangsiapa kena bidikannya akan mati terjengkang dengan darah hitam
menghijau.
"Jangan mencoba bermimpi hendak meng-hancurkan kitab. Sekali kulihat
tanganmu hendak menghancurkan, terpaksa aku menghujani dengan senjata
beracunku. Masa kau terserang dari atas dan bawah, akan mampu mengelak
dalam waktu satu jam?"
Pringgasakti berlagak tak menghiraukan, tetapi hatinya cemas. Maklumlah,
apa yang dikatakan sang Dewaresi sedikitpun tidak salah. Tenaga saktinya
memang luar biasa kuat. Tetapi apabila dipaksa bertahan terus menerus tiada
henti, bagaimanapun juga takkan sanggup. Memperoleh pikiran demikian,
wajahnya berubah pucat. Cepat ia meraba saku celananya. Mendadak ia
melihat, sang Dewaresi mulai mengancamkan senjata rahasianya. Sebenarnya
tiada perlu dia takut menghadapi senjata rahasia sang Dewaresi, dalam
keadaan biasa. Tapi kali ini keadaannya begini mendesak dan terjepit.
Tentara tabuan kian lama kian terasa menjadi galak. Mereka bahkan berani
menghampiri dan terbang berlingkaran berlapis-lapis.
Tepat pada saat Pringgasakti tengah berpikir keras untuk mencari jalan
keluar, terdengarlah suatu bunyi siul panjang menukik udara. Bunyi siul itu
seperti suara burung kurcitak yang dapat melepaskan bunyi siul melengking
tajam. Tak lama kemudian suara siulan itu disusul dengan nada tiupan
seruling yang halus merdu dan mengalun berombak tiada hentinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar