9.28.2019

@bende mataram@ Bagian 213

@bende mataram@
Bagian 213


"Dengarkan, kata beliau. Berbicara tentang mutu ilmu yang kaumiliki kini,
mungkin engkau kalah setingkat dengan saudara-saudara seperguruanmu.
Maklumlah, selama itu engkau merantau tiada kabar berita sepuluh tahun
lebih. Tetapi seorang ahli waris Kyai Kasan Kesambi mempunyai kewajiban
berat. Seseorang tidak cukup hanya mengutamakan ilmu-warisan belaka untuk
menjadi ahli-waris-nya. Tetapi terutama, jiwa besar, jujur dan pengalaman
yang luas. Syarat inilah yang kelak menjadi sendi utama untuk
memperkembangkan ilmu warisan Guru," ia berhenti mengesankan. Meneruskan,
"dengan berbekal jiwa besar, jujur dan pengalaman luas, engkau akan sanggup
melayani kemukjizatan sesuatu ilmu lebih mendalam lagi. Guru yakin, bahwa
kejujuran dan kebersihan hatimu kelak akan dapat mengatasi noktah-noktah
hati yang ren-dah jahat. Setelah itu, engkau akan maju lagi satu langkah
dengan tanpa kausadari sendiri, karena engkau kelak akan bisa mengusir
pen-jajah dan menegakkan negara. Itulah cita-cita guru. Apabila kelak
engkau bisa mewujudkan, alangkah menggirangkan dan membesarkan hati. Hal
itu berarti, bahwa engkau telah berhasil menunaikan kewajiban azas
perguru-an. Itulah sebabnya, Guru lebih mengutama-kan keadaan jiwa untuk
menjadi ahli warisnya. Kemudian baru bakat. Tentang kebesaran jiwa,
bagaimana kami berempat dapat menandingimu. Engkau pun memiliki bakat yang
jauh lebih bagus daripada kami. Soalnya, karena engkau agak lama merantau.
Tapi kami yakin, apabila engkau telah kembali ke perguruan, engkau akan
bisa melampaui kami berempat."


Mendengar ujar Bagus Kempong, Wirapati terperanjat sampai berjingkrak.
Dengan menggeleng-gelengkan kepala berbareng dengan menggoyangkan tangan,
dia berkata nyaring setengah gugup.


"Tidak! Tidak! Bagaimana aku bisa menjadi ahli-waris guru. Guru berbicara
demikian, semata-mata oleh rasa rindunya terhadapku. Hm, kemampuanku tak
dapat menandingi sekalian saudara seperguruan." "Wirapati! Itu semua adalah
amanat Guru." "Baik. Andaikata benar, aku pun tak berani menerimanya."


Bagus Kempong tersenyum. Berkata me-maklumi. "Ucapanmu ini pun menunjukkan
kejujuran dan kebesaran jiwamu. Engkau merasa diri rendah, itulah bagus.
Memang saat ini demikianlah keadaanmu, sehingga belum sanggup menilai
kesalahan muridmu. Muridmu memang masih hijau, sehingga semberono dalam
mengungkapkan sesuatu hal. Tetapi dikatakan melakukan kesalahan besar,
tidaklah kena. Karena, orang yang melompat dari mahkota daun tadi bukankah
temannya berjalan?"


"Temannya berjalan?" Wirapati keheran-her-anan. Terang sekali ia tadi
melihat sesosok tubuh melesat turun dari pohon. Gerak-geriknya cekatan dan
gesit. Meskipun tidak jelas jenisnya, tetapi masakan dia Titisari?


Bagus Kempong seperti dapat menebak kesibukan hatinya. Dengan tepat ia
berkata, "Siapa lagi kalau bukan dia? Diapun yang menambatkan kuda.
Mampaknya gadis itu menaruh perhatian besar terhadap muridmu, sehingga ia
berani memikul akibatnya dengan sengaja membuat suara gemeresak. Pastilah
dia bermaksud memberi peringatan, karena di balik belukar bersembunyi
orang-orang terten-tu yang lagi mengintai perjalanan kita. Aku pun
mula-mula menaruh syak kepadanya. Mendadak kudengar langkahnya yang ringan
dan gerakan tangan seolah-olah menuding. Itulah salah satu jurus ilmu
Karimun Jawa yang sering dibicarakan Guru. Hanya saja, dia mengubah kibasan
tangan dengan gerakan menuding."


Mendengar keterangan Bagus Kempong, Wirapati benar-benar merasa takluk.
Pikirnya, benar-benar maju pesat ilmu Kangmas Bagus


Kempong. Dalam satu detik, dia bisa menebak lawan atau kawan. Berbareng
pula mengku-




mandangkan aba-aba sandi. Bukankah kecerdasan otaknya jauh lebih cekatan
dan cerdas daripadaku? Betapa aku bisa menerima pencalonan guru menjadi
ahli warisnya? Terang sekali, guru berkata demikian karena rindu
semata-mata kepadaku.


Memang ketangkasan berpikir Bagus Kem-pong benar-benar mengagumkan. Bahkan
apabila dia mau mengutarakan dengan sebe-nar-benarnya, hati Wirapati bisa
menjadi kecil. Sebab sesungguhnya, jauh-jauh Bagus Kempong telah mengetahui
bahwa di belakang mahkota daun bersembunyi seseorang. Seper-ti diketahui
dia sudah memiliki ilmu rasa sejati. Meskipun panca inderanya belum
bekerja, rasa sejatinya telah mengkisiki. Ia mendengar pula tata-napasnya.
Sebagai salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang telah menerima pula
ajaran menyelami ilmu sesuatu perguruan lainnya, sekaligus pikirannya
bekerja. Teringatlah dia nada tata napas itu. Bukankah tata-napas yang
dimiliki Adipati Surengpati dan puterinya tatkala mengadu kepandaian dengan
Sangaji? Pada saat itu pula, ia mendengar gemeresek belukar tak jauh dari
pohon. Maka begitu Titisari melesat turun ke tanah, dengan sengaja ia
berseru kepada Wirapati dan Sangaji agar melepaskan perhatiannya ke arah
lain. Ia berseru seolah-olah Titisari termasuk salah seorang dari mereka
yang mengintai di balik belukar. Dengan demikian ia memberi kesan pula
kepada mereka yang mengintai, bahwa Titisari bukan termasuk salah seorang
rombongannya. Inilah yang dinamakan ilmu sekali menepuk dua lalat mati.


Tengah Wirapati sibuk mengagumi ketang-kasan Bagus Kempong, terdengarlah
Sangaji berteriak nyaring, "Guru! Lihat! Lihat dia menyediakan tiga ekor kuda!"


Wirapati terus saja melesat menghampiri sebatang pohon yang terukir dengan
beberapa deret huruf. Bunyi huruf itu, "di depan patroli kompeni."


"Hai! Benar-benar dia." Dengus Wirapati "... patroli kompeni? Mengapa
kompeni berke-luyuran sampai di wilayah ini?"


Sangaji terus membagi kuda tunggangan. Bagus Kempong memperoleh seekor kuda
hitam. Terang sekali itulah salah seekor kuda pendekar-pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Entah dengan cara bagaimana, Titisari ternyata bisa
merampasnya. Dan kuda putih ditunggangi Wirapati. Sangaji sendiri tetap
berada di atas punggung Willem.


"Peringatan ini, baiklah kita perhatikan," kata Bagus Kempong. "Agaknya
Patih Danurejo benar-benar berhasrat merebut pusaka sakti itu sampai minta
bantuan kom-peni. Inilah suatu kesalahan. Dengan menge-rahkan tenaga
kompeni berarti memberi kesempatan kompeni pula untuk mengenal
daerah-daerah yang bersembunyi di balik pegunungan."


Semenjak di Jakarta, Wirapati sudah mem-buktikan dengan mata kepalanya
sendiri, bahwa Patih Danurejo bekerjasama dengan kompeni untuk dapat
memenangkan per-soalannya. Hal itu bukanlah suatu kabar baru. Yang
diherankan ialah bahwa dalam waktu yang hampir bersamaan, ia menjumpai dua
kekuatan besar yang nampaknya saling bersaing. Daerah lembah Kali Jali
benar-benar merupakan ajang pertempuran yang sebentar atau lama akan
meletuskan suatu pertempuran menentukan. Terhadap Patih Danurejo, ia
memperoleh kesan buruk pertama-tama sepak-terjang Pangeran Bumi Gede dan
beker-jasamanya dengan kompeni. Karena itu diam-diam ia mengkhawatirkan
pihak utusan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang tadi kena dilukai kakak
seperguruannya beberapa orang di antaranya.


"Nampaknya, jejak kita sudah mereka ketahui," kata Wirapati. "Kita kembali
ke tepi sungai atau meneruskan perjalanan ke Gunung Damar sama saja
bahayanya. Aji! Kalau kelak bertemu dengan Titisari, sam-paikan salamku
kepadanya."


Mendengar gurunya menyebut nama Titisari, berserilah mata Sangaji. Tetapi
tak berani membuka mulut. Memang, ia sudah menduga bahwa tentang beradanya
tiga ekor kuda di tempat itu adalah berkat jasa Titisari. Samar-samar dia
bisa menebak maksud gadis pujaannya itu, agar cepat-cepat meninggalkan
daerah yang dianggapnya berbahaya.




"Benar," sahut Bagus Kempong. "Kita pasti menjumpai rintangan-rintangan
perjalanan. Mengingat pesan almarhum yang dirahasia-kan, sebaiknya
janganlah kita memperlihatkan diri apabila tidak terpaksa. Hm, hampir saja
aku kesalahan tangan."


Nyata sekali, Bagus Kempong merasa menyesal karena melukai utusan Sri
Sultan meskipun tidak dengan sengaja. Diam-diam Sangaji berpikir, "Paman
hanya menggunakan tenaga selintasan saja. Tujuannya tidak melu-kai lawan.
Semata-mata mempertahankan diri. Mereka terluka, karena kesalahannya
sendiri. Meskipun demikian Paman begitu ber-duka. Alangkah mulia dia.
Kelak, aku pun akan meniru dia. Jika tak terpaksa, jangan sekali-kali
menggunakan ilmu Kumayan Jati." Memperoleh pikiran demikian, mendadak
teringat dia bahwa ia belum mengabarkan tentang ilmu Kumayan Jati kepada
gurunya. Serentak berkatalah dia hati-hati, "Guru! Maafkan kelalaianku.
Karena Guru tadi masih sibuk . berbicara dengan Paman, tak berani aku
mengganggu. Sesungguhnya, aku hendak mengabarkan bahwa di tengah perjalanan
bertemulah aku dengan seseorang yang mena-makan diri Gagak Seta. Meskipun
aku belum berani mengangkat guru kepadanya sebelum memperoleh ijin Guru,
tetapi aku telah meneri- 1 ma delapan bagian ilmunya. Untuk ini..."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar