9.27.2019

@bende mataram@ Bagian 210

@bende mataram@
Bagian 210


"Salah seorang di antara mereka masih bisa menyenakkan napas. Siapa
namanya, tiada seorangpun dapat mengenalnya. Hanya saja sebelum melepaskan
napasnya yang peng-habisan, dia menyebut-nyebut namamu."


"Ah!" Wirapati terperanjat. Teringatlah dia kepada peristiwa pengepungan
dahulu. Mere-ka mengancam dan menggertak. Sebagai murid keempat Kyai Kasan
Kesambi bagai-mana bisa menerima gertakan itu tanpa mem-balas. Tiada
mustahil bahwa dia pun mem-perkenalkan nama perguruannya untuk men-jaga
kehormatan diri.


"Berita beradu di antara mereka, lantas saja tersebar ke seluruh persada
bumi. Tapi kami semua tiada percaya, bahwa engkaulah yang membinasakan
mereka begitu keji dan ganas. Sepanjang pengetahuan kami, Guru belum pernah
menurunkan ilmu Guntur Sejuta. Tetapi bagaimana bisa kami meyakinkan mereka
dengan alasan itu," kata Bagus Kempong dengan dahi mengerenyit. "Mereka
yang datang kebanyakan terdiri dari orang-orang daerah Banyumas. Namun
lambat-laun, orang sakti dari seluruh penjuru pada datang juga. Dari
Ungaran, Bagelen, Maospati, Ponorogo, Madura, Surakarta, Kediri dan
Banyuwangi. Kejadian inilah yang membuat Guru dan sekalian
saudara-seperguruanmu keheran-heranan. Masakan mereka semua adalah
sanak-keluarga yang terbinasakan? Dua belas tahun lamanya, hal itu
merupakan suatu teka-teki besar. Dan pada hari inilah baru jelas.


Ternyata di balik kedatangannya bersembu-nyilah sesuatu maksud. Penuntutan
balas di-alihkan hanya sebagai dalih belaka. Kiranya mereka,... tahukah
engkau apa maksud mere-ka sesungguhnya?"


Wirapati diam menduga-duga.


"Orang-orang Banyumas dahulu menge-pung Wayan Suage perkara pusaka Pangeran
Semono, ... Ah! Apakah mereka mengira, aku menggondol pusaka keramat
Pangeran Semono."


Dengan melemparkan penglihatan di jauh sana, Bagus Kempong menyahut,
"Sekiranya hari ini tak kudengar dari mulutmu tentang adanya pusaka
Pangeran Semono, sampai mati pun tiada jelas bagiku."


Wirapati terdiam. Pikirnya, ya, aku pun dahulu berpikir demikian juga.
Malah, ingin aku




melihat bagaimana sikap Guru apabila aku mengisahkan tentang adanya pusaka
keramat itu.


Tengah Wirapati memikirkan tentang orang-orang yang datang berbondongan di
perguruannya dengan berpura-pura mengaku sebagai sanak keluarga orang-orang
Banyumas yang dibinasakan Ki Hajar Karangpandan sebagai dalih. Mendadak
Bagus Kempong berkata lagi, "Biarlah mereka datang lebih sering lagi,
apapeduli kita? Hanya saja, kemudian tahukah engkau siapa lagi yang datang
pada hari-hari ini?"


Wirapati melengak ). Tak dapat ia menebak, sehingga terpaksa ia meninggikan
alisnya. Dan berkatalah Bagus Kempong, "Gtusan Sri Sultan Hamengku Buwono II."


"Sri Sultan?" Wirapati terperanjat. Sangaji pun yang berjalan di
belakangnya ikut terpe-ranjat pula.


8) melengak : tercengang-cengang.


"Meskipun tidak terang-terangan, tetapi utusan Sri Sultan seringkali
menjenguk perguruan kita. Kemudian utusan-utusan Patih Danurejo pula.
Seperti kauketahui, ibukota kerajaan kini sedang meruncing. Antara keluarga
garwa padmi83) dan para selir seringkali timbul fitnah-fitnah dan
bentrokan-bentrokan. Akhir-akhir ini bahkan mulai pula timbul suatu
pertempuran terang-terangan antara pihak Patih Danurejo dan Sri Sultan. Dan
semenjak itu, Guru lantas saja mengundurkan diri dari persoalan
keduniawian. Nampaknya Beliau sangat kecewa lalu menenggelamkan diri dalam
sanggar semadi. Beliau hanya muncul sekali satu tahun di hadapan kita."


Mendengar kabar itu, Wirapati jadi bere-nung-renung. Alangkah banyak
perubahan yang terjadi selama dia meninggalkan perguruan. Tak terasa
terlontarlah perkataannya, "Tak kusangka, bahwa kepergianku tanpa pamit itu
membawa suatu akibat demikian besar."


"Ah, semua itu bisa terjadi di atas kemam-puan manusia," sahut Bagus
Kempong. "Siapa saja bisa dan pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang tak
terduga sama sekali."


Wirapati menghela napas dalam.


"Sebenarnya, apakah yang mendorong mereka untuk merebut pusaka itu?
Bukankah pusaka tetap sebagai benda mati?"


"Ha, justru aku ingin memperoleh keterang-anmu, karena engkau telah
memperoleh kesempatan mengenal benda perebutan itu," sahut Bagus Kempong cepat.


Tentang daya guna pusaka Pangeran Semono itu, sama sekali ia tak menaruh
per-hatian. Ia hanya mendengar suatu kabar bela-ka, bahwa barangsiapa
memiliki kedua pusaka tersebut akan sakti tanpa guru, kebal dari sekalian
senjata dan kelak bisa menguasai nusantara. Ia menganggap kabar itu sebagai
dongeng kanak-kanak belaka yang tak masuk akal. Tetapi oleh pertanyaan
Bagus Kempong, sekonyong-konyong ia teringat sesuatu. Cepat ia menoleh
kepada Sangaji dan bertanya,


"Aji! Kau dahulu pernah berkata kepadaku, bahwa engkau memperoleh kisikan
beradanya benda tersebut dari almarhum pamanmu. Benarkah itu?"


Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, dengan gugup menjawab,


"Benar. Tatkala paman hendak bertempur melawan laskar Pangeran Bumi Gede ia
mem-bisiki sesuatu kepadaku."


"Apa katanya?"


"Begini," kata Sangaji mengingat-ingat. "Anakku, tak dapat aku berbicara
berkepan-jangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti terjadi. Tetapi
ingat-ingatlah pesanku ini! Sesampaimu di desa tempat engkau dilahirkan,
lekas-lekaslah engkau berangkat ke tenggara. Di sana engkau akan melihat
sepetak hutan dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar habis.
Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian




bekas-bekas kelebatannya belum juga hilang. Di sana engkau akan melihat
sebuah sungai berlumpur yang melingkari hutan itu. Carilah di antara
tebingnya suatu penglihatan penuh batu-batu. Turunlah engkau ke bawah. Di
dasar sungai itu, engkau akan menemukan pusaka warisanmu. Dua buah
jumlahnya. Kuwariskan kedua-duanya pula kepadamu."


Sekonyong-konyong berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan,
terdengarlah suatu gemeresak mahkota daun kemudian berkelebatlah sesosok
bayangan yang terus saja meluncur ke tanah.


Wirapati dan Sangaji terperanjat. Sekaligus Umbulah kecurigaannya. Dan
hampir berba-reng mereka terus meloncat hendak mengejar.


Mendadak Bagus Kempong menyanggah dengan nyaring.


"Jangan mau dikecohkan! Itulah akal memancing harimau dari sarangnya, lihat
seberang!"


Wirapati dan Sangaji terheran-heran. Segera mereka menebarkan pandangnya,
tetapi tiada sesuatu yang mencurigakan. Diam-diam mereka berpikir, "Apakah
salah penglihatan?"


Bagus Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Kecuali
memperoleh pendidikan menajamkan indera, diberi pula ajaran menggunakan pra
rasa naluriah. Rasa bagi Kyai Kasan Kesambi menjadi dasar sendi utama dalam
menurunkan ilmunya. Karena menurut pengertiannya ketajaman indera adalah
suatu akibat belaka. Wirapati sebe-narnya menerima pula ilmu itu. Hanya
saja dia meninggalkan perguruan selama dua belas tahun tanpa penilikan
Guru. Karena itu agak ketinggalan daripada Bagus Kempong. Maka itu, belum
lagi habis menduga-duga, Bagus Kempong telah berkata menggurui.


"Di balik semak-semak itu, bersembunyi delapan orang. Mereka bersenjata
semua. Lihatlah gemerlap senjatanya." Dan kembali Wirapati dan Sangaji
terheran-heran. Mereka mengamat-amati barisan semak-semak, tetapi gemerlap
senjata sama sekali tak dilihatnya. Tetapi sekonyong-konyong terdengarlah
suatu desing suara. Sebatang anak panah menyibak udara. Kemudian muncullah
tiga orang, empat, lima dan akhirnya delapan kepala mencongakkan diri dari
balik semak-belukar. Dan barulah Wirapati dan Sangaji terperanjat. Sambil
melesat mengelakkan diri dari sambaran angin, diam-diam mereka mengagumi
ketajaman rasa Bagus Kempong.


Ke delapan orang yang bersembunyi di balik belukar itu, ternyata mengenakan
kedok. Yang kelihatan hanya dua gundu matanya. Terang mereka, tak mau
dikenali orang.


"Kangmas Bagus Kempong!" seru Wirapati kagum. "Benar-benar aku merasa
takluk!" Bagus Kempong seperti tak mendengarkan ucapannya. Dia terus
berteriak nyaring.


"Kawan dari manakah yang berada di depan? Kami Bagus Kempong dan Wirapati
anak murid Kyai Kasan Kesambi menyam-paikan salam."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar