9.28.2019

@bende mataram@ Bagian 212

@bende mataram@
Bagian 212


"Bukan! Mereka utusan Sri Sultan," sahut Bagus Kempong. "CItusan Sri
Sultan?" Wirapati menegas dengan heran.


"Tetapi mengapa Kangmas berkata me-nyampaikan sembah kepada Gusti Patih
Danurejo?"


"Pertama-tama mereka mengenakan kedok semenjak semula. Hal itu berarti,
bahwa mere-ka tak ingin dikenal. Kedua, gerakan pedang mereka adalah
tipu-tipu serangan Danurejan yang berbau barat. Jadi terang sekali mereka
memalsukan diri agar tiada dikenal. Karena




itu aku harus menghargai dan melindungi maksud mereka dengan menyebutkan
sebagai laskar Patih Danurejo."


"Dari manakah Kangmas mengetahui, bahwa mereka utusan Sri Sultan? Apakah
ada di antara mereka yang kau ketahui?"


"Tidak," jawab Bagus Kempong. "Aku me-ngenal mereka, karena kepandaiannya
masih dangkal. Agaknya yang dikirimkan Sri Sultan ke wilayah Gunung Damar
ini, bukanlah jago-jago pilihan. Terang sekali, tugas mereka bukan untuk
menggempur lawan. Tetapi mungkin hanya bertugas menghisap berita atau
pengintaian belaka. Tadi sewaktu aku menepuk mereka, mendadak saja mereka
mencoba bertahan. Lapis tenaga pertahanan mereka lunak pula. Dan dalam
dunia ini yang memiliki tenaga gendam sejati hampir sama adalah guru kita
dan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono 1. Memang, untuk meniru-kan
gerak-tipu ilmu perguruan lain adalah mudah. Tetapi apabila
sekonyong-konyong dipaksa untuk mengadu tenaga, mau tak mau terpaksa
berlindung ke bentengnya terakhir. Yakni dasar ajaran perguruannya yang
sejati. Pada saat itulah kedok mereka terbuka."


Mendengar keterangan Bagus Kempong, tiba-tiba saja Sangaji merasa bahagia,
la kagum dan bangga atas keluhuran budi sesama perguruan gurunya. Dan dia
termasuk salah seorang anggotanya.


"Kangmas Bagus Kempong!" kata Wirapati setelah berdiam sejenak.
"Sebenarnya, mereka tak bisa bertahan tatkala engkau menepuk pedangnya.
Dengan demikian, kedoknya takkan kauketahui. Memang menurut guru dahulu,
ilmu warisan Sri Sultan Hamengku Buwono 1 tak kalah hebatnya. Hanya saja,
apabila masih dangkal bisa membahayakan diri sendiri manakala bertahan
terhadap suatu tenaga gendam yang jauh di atasnya. Seperti tadi, andaikata
Kangmas menganggap mereka sebagai lawan benar, pastilah orang yang
menyerang dari samping akan kena kau-rubuhkan dengan sekaligus. Gntung,
Kangmas hanya menggunakan beberapa bagian saja, sehingga dia hanya lontak
darah dan terjungkal selintasan." Ia berhenti berpikir lagi. Tiba-tiba
berkata penuh teka-teki. "Aneh! Benar-benar aneh! Almarhum Sri Sultan
Hamengku Buwono I adalah sahabat karib guru kita sewaktu Perang Giyanti.
Mengapa kini keturunannya mengganggu?"


"Eh, apakah engkau lupa kepada kisah pe-ngalamanmu sendiri perkara pusaka
Pangeran Semono?" sahut Bagus Kempong. "Apakah engkau tak dapat menerka,
mengapa mereka memalsukan diri sebagai laskar Danurejan?"


"Ah! Wirapati terperanjat. Suatu ingatan berkelebat dalam benaknya.
"Benar-benar mengherankan, bahwa Sri Sultan pun meng-inginkan pula pusaka
kramat itu.


"Setidak-tidaknya garwo padmi atau salah seorang anggota kerajaan," potong
Bagus Kempong. "Hanya saja, mula-mula mereka salah duga. Kita dikiranya
laskar Danurejan. Mestinya mereka tahu, bahwa utusan Patih


Danurejan berkeliaran di daerah lembah Sungai Jali. Lantas mereka mengikuti
jejak. Mungkin pula, diam-diam mereka telah mengetahui pula terjadinya
pertempuran antara kita dan pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede.
Tetapi apabila mereka mendengar ucapan salamku, seketika berubahlah
terkaannya." Meskipun demikian, mereka tetap hendak minta keterangan lebih
jelas lagi dari mulut Sangaji.


Sangaji terkejut, tak terduga sama sekali, bahwa ujarnya mengenai tempat
penyim-panan pusaka warisan Wayan Suage, telah kena diintip orang. Pastilah
hal ini akan masih ada ekornya, memperoleh pikiran demikian, dia merasa
bersalah. Mendadak saja. ia melihat lima batang pedang yang terlempar di
atas tanah. Cepat ia membungkuk dan hendak menjamahnya.


"Jangan pegang senjata mereka!" kata Bagus Kempong. "Siapa tahu hulu pedang
ter-ukir namanya. Bila sampai demikian, tak bisa lagi kelak kita
berpura-pura tak tahu menahu."




Terhadap kepandaian Bagus Kempong, diam-diam Sangaji kagum luar biasa.
Karena itu ia tak membantah atau mencoba memper-oleh keterangan. Ia
percaya, pastilah paman-nya itu telah mempunyai perhitungan jauh.


"Marilah kita pergi saja!" kata Bagus Kempong lagi.


Dengan berdiam diri, Wirapati dan Sangaji mengikut' Bagus Kempong. Mendadak
saja, mereka mendengar suara kuda. Tatkala menoleh, ternyata Willem dan
kuda putih Titisari tertambat pada sebuah pohon. Sangaji terus saja berseru
girang.


"Willem! Eh... siapakah yang mengan-tarkan?"


Karena masih terpengaruh sepak terjang Adipati Surengpati dan luapan girang
gurunya, Sangaji sampai lupa kepada kudanya. Kini sekonyong-konyong berada
di depannya. Pastilah ada seseorang yang sengaja mengantarkan jasa-jasa
baik. Siapa dia? Sangaji tahu, bahwa si Willem tak gampang bisa didekati
seseorang yang belum dikenalnya. Memperoleh pikiran demikian, sekaligus ia
menduga kepada Titisari. "Apakah dia selama ini mengikutinya dengan diam-diam?"


Sebaliknya Bagus Kempong tak tahu, bahwa Sangaji membawa kuda. Begitu
melihat kegirangan Sangaji, alisnya terus saja terangkat. Pikirnya, anak
ini berhati sederhana, tetapi agak sembrono. Kuda dan pesan warisan pusaka
yang sedang diperebutkan agaknya tiada meresap dalam hatinya benarbenar.
Tetapi ia tak berkata. Sebaliknya, Wirapati yang kenal akan tabiat
kakak-seper-guruannya, terkejut melihat kesan mukanya. Dengan sekali
pandang, tahulah dia apa arti tergeraknya deretan alis. Maka dengan menarik
napas dia berkata kepada muridnya.


"Aji! Ambillah kudamu!"


Sangaji terus saja melompat menghampiri kudanya. Kemudian, berkatalah
Wirapati kepada Bagus Kempong.


"Agaknya, kita terpaksa berpisah lagi."


"Mengapa?" Bagus Kempong terkejut ber-bareng heran.


"Muridku sama sekali belum memperoleh pengalaman dalam percaturan hidup. Ia
begitu semberono mengucapkan kata-kata terakhir Wayan Suage di tengah
lapang terbuka. Seumpama nasi sudah menjadi bubur, biarlah aku mengejar
kelalaian ini. Bawalah dia menghadap Guru dahulu. Aku akan mencari kedua
pusaka warisan itu sampai ketemu. Dengan begitu, muridku tak mensia-siakan
pesan terakhir seseorang yang telah menaruhkan kepercayaan besar terhadapnya."


"Wirapati!" Bagus Kempong memotong dengan raut muka sungguh-sungguh.
Kemu-dian dengan menggenggam tangannya erat-erat ia meneruskan, "Ikrar
saudara seperguruan kita selamanya berbunyi hidup-mati bersama sampai akhir
zaman. Tentang maksudmu mencari pusaka warisan itu, mengapa tidak kita
lakukan bersama-sama? Kesalahan muridmu itu pun tiada terlalu besar."


Kering kata-kata Bagus Kempong, tetapi mengandung ungkapan rasa yang susah
untuk dilukiskan. Maka dengan terharu Wirapati terus menyahut.


"Kangmas Bagus Kempong, tak berani aku meminta kepadamu agar ikut memikul
kewa-jiban ini. Sebaliknya, mendengar ujarmu, tak berani pula aku menolak.
Dengan begitu, teri-malah ucapan terima kasihku. Kangmas berkata muridku
tiada melakukan kesalahan terlalu besar, apa maksudmu?"


Sambil menguraikan genggaman tangan-nya, Bagus Kempong tertawa perlahan.
Dengan pandang berseri-seri ia berkata, "Tepatlah amanat Guru tentang
dirimu. Itulah sebabnya engkaulah yang dipilih guru menjadi ahli waris
perguruan kita."


"Hai!" Wirapati terkejut.




"Benar." Bagus Kempong mengesankan. "Apakah alasan Beliau?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar