9.27.2019

@bende mataram@ Bagian 209

@bende mataram@
Bagian 209


"Hm, melihat engkau begini sungguh-sung-guh, mestinya aku harus percaya.
Tetapi apakah kata guru nanti setelah mendengar kisah pengembaraanmu,
inilah yang sulit untuk meyakinkan."


"Ya, aku tahu dan justru aku akan mengabarkan kepada Beliau. Apa kabar guru
kita?" "Ehm..." sahut Bagus Kempong. Kemudian lama ia tak membuka mulut.
Dan Wirapati jadi




cemas. Dengan pandang tak berkedip ia mengawasi kakak-seperguruannya.
Hatinya sibuk menduga-duga. Maklumlah, dua belas tahun yang lalu gurunya
sudah berusia 70 tahun lebih. Ia khawatir, kakak seperguruan-nya akan
mengabarkan bahwa gurunya sudah meninggal dunia.


Beberapa saat kemudian, Bagus Kempong berkata, "Guru masih sehat wal-afiat.
Bahkan tubuhnya nampak kian segar bugar. Hanya saja, Beliau sudah
meninggalkan urusan du-nia. Sehingga kukhawatirkan bahwa kisah
pengembaraanmu tiada didengarkan. Bukan-kah hal itu akan membuatmu kecewa?
Masa perjuangan selama 12 tahun, bukanlah mu-rah."


Mendengar jawaban Bagus Kempong, hati Wirapati lega seperti seseorang
memperoleh seteguk air dalam saat-saat dahaga kering. Lantas saja menyahut,
"Meskipun seumpama Guru tiada mendengarkan sepatah kataku, apa peduliku?
Aku bisa hidup dengan selamat dan bisa bertemu kembali dengan Guru,
bukankah suatu karunia yang mahal dibeli?"


Mata Wirapati lantas saja jadi berseri-seri penuh syukur. Tetapi Bagus
Kempong nampak menundukkan kepala, sehingga mau tak mau ia sibuk lagi
menebak-nebak.


"Adik Wirapati! Bahwasanya engkau mengi-ra, aku bertambah putih rambutku
karena kesibukan bekerja adalah benar belaka. Ketahuilah setelah engkau
pergi tiada kabar berita—perguruan kita sering didatangi orang-orang sakti
hendak menuntut dendam!"


"Mengapa?" Wirapati terkejut.


"Dua belas tahun yang lalu, di lembah su-ngai ini kedapatan delapan orang
lebih tewas bekas teraniaya. Orang-orang mengabarkan, bahwa mereka pernah
melihat dirimu berada di antara hutan yang terbakar. Meskipun
kami—saudara-saudara seperguruan—sama sekali tiada percaya, bahwa
engakaulah yang membinasakan mereka, tetapi tuduhan anak-keluarganya kian
lama kian keras. Sekarang-setelah aku mendengarkan keterangan dari mulutmu
sendiri bahwa itulah perbuatan pendekar dari Karangpandan, aku bertambah
yakin akan kebersihan dirimu."


"Ih!" Wirapati terperanjat sampai berjing-krak. Tak kukira bahwa
sepeninggalku, pergu-ruan justru kena noda begini jahat. Lantas siapakah
mereka yang berkurang-ajar menda-tangi perguruan? Pikir Wirapati dalam hati.


Bagus Kempong tertawa mendongak. Menjawab, "siapa yang datang, apa perlu
kau-ributkan? Perkaramu adalah perkara kita bersama. Kalau sekarang aku
melihat engkau datang dengan kebersihan hati, sudahlah suatu tebusan yang
mahal harganya. Dan legakan hatimu, bahwa saudara-saudaramu tetap berkukuh,
bahwa tuduhan itu tiada beralasan."


Mendengar kata-kata Bagus Kempong, Wirapati jadi terdiam. Dan Sangaji jadi
bertambah perasa. Anak muda itu lantas saja berpikir lagi, ternyata Guru
tidak hanya mempersembahkan keperwiraannya belaka untukku, tetapi
benar-benar telah mengorbankan kehormatan perguruannya juga. Siapa mengira,
bahwa kepergiannya membawa pula suatu malapetaka sendiri. Memperoleh
pikiran demikian, ia merasa lebih kecil. Sebentar tadi ia resah memikirkan
kepergian Titisari. Maklumlah, ia kenal perangai dan watak Titisari yang
manja dan agak liar. Dadanya penuh dengan api. Apa yang dikatakan harus
saja dilakukan tanpa pertimbangan. Kini, entah ke mana perginya hanya
setan-setan belaka yang tahu. Dan apabila dibandingkan dengan kisah
pengembaraan gurunya, alangkah sekerdil biji asam. Diam-diam ia merasa malu
sendiri. Lantas saja terdengarlah suara gurunya Jaga Saradenta yang galak
dahulu. "...Ih! Kau laki-laki, bukan perempuan. Seorang laki-laki masakan
takut mati segala!"


Mendadak saja, Wirapati berkata kepada-nya, "Aji! Marilah cepat-cepat
mendaki Gunung Damar. Pertama-tama, ingin aku memperkenalkan engkau kepada
guruku. Kedua, ingin




benar aku melihat kesehatan beliau. Tentang sahabatmu Titisari,
perlahan-lahan bisa kita urus. Aku percaya, meskipun perangai Adipati
Surengpati bukan seperti manusia lumrah, tetapi pasti tidak akan menyakiti
puterinya. Kulihat tadi, dia terlalu menyayangi."


Mendengar ujar gurunya, Sangaji gugup. Karena waktu itu, justru dia lagi
memperban-dingkan persoalannya dengan kebesaran jiwa gurunya.


"Guru, perkara Titisari tak usahlah Guru ikut memikirkan. Dia sudah pulang
ke rumahnya. Hatiku senang dan bersyukur. Yang penting sekarang aku harus
ikut Guru ke mana Guru pergi," kata Sangaji dengan terbata-bata.


Wirapati puas mendengar ucapan muridnya. Segera ia memberi isyarat kepada
Bagus Kempong, untuk meneruskan perjalanan. Waktu itu, matahari telah
condong ke barat. Angin senja sudah mulai meraba tubuh.


Mereka berjalan mengarah ke timur menyekat punggung pegunungan. Kiranya
sifat Bagus Kempong nampak keras di luartapi nampak panas di dalam. Di
antara murid Kyai Kasan Kesambi, dialah yang jarang benar bergurau.
Wirapati dan Suryaningrat dahulu agak segan kepadanya. Bahkan agak
ketakut-takutan. Lebih takut menghadapinya daripada kakak perguruannya yang
tertua, Gagak Handaka dan Ranggajaya. Padahal hubungan kekadangan mereka
sangat erat melebihi saudara sekandung. Tatkala Wirapati menghilang dengan
tiba-tiba, diam-diam Bagus Kempong berduka tak terkatakan. Hanya lahirnya
saja ia berlaku tenang seperti tiada terjadi sesuatu. Ia minta izin gurunya
hendak menyelidiki daerah lembah Sungai Jali yang dikhabarkan orang-orang
pernah melihat adik-seperguruannya itu. Selama dua belas tahun,
terus-menerus ia menghisap berita dengan tak mengenal bosan. Mendadak saja,
pada hari itu ia bertemu dengan tak terduga-duga. Hatinya girang bukan
kepalang, namun masih saja ia menyembunyikan perasaan. Rasa girangnya tak
dibiarkan meluap-luap. Sekali-kali ditutupi dengan kata-kata keras dan
berwibawa. Dengan kata-kata kering dia berkata, "Wilayah lembah Sungai
Jali, ternyata luas juga. Dua belas tahun aku mencoba menjejakmu. Hm ..."


Wirapati yang kenal akan pribadinya, segera mengetahui bahwa di balik
kata-katanya yang kering sederhana itu bersembunyi suatu luapan doa
terima-kasih kepada Tuhan, maka dia jadi terharu.


"Kangmas Bagus Kempong! Apakah benar sanak-keluarga orang-orang Banyumas
yang dibinasakan Ki Hajar Karangpandan mencari balas kepada perguruan kita?
Peristiwa ini benar-benar membuat hatiku tiada enak sekali."


"Apa sebenarnya yang terjadi dalam pertempuran itu?" potong Bagus Kempong.


Kembali Wirapati menceritakan pengala-mannya sewaktu dia melindungi Wayan
Suage dari buruan orang-orang Banyumas yang menginginkan pusaka Pangeran
Semono dan cara Ki Hajar Karangpandan membinasakan mereka. Dia sendiri
segera meninggalkan Wayan Suage sewaktu hutan terbakar. Dengan demikian
tiada berhasil pula menyelamatkan pusaka keramat Pangeran Semono.


Setelah mendengar penjelasan itu, Bagus Kempong minta keterangan pula
tentang ben-tuk pusaka keramat Pangeran Semono, yang dahulu dikabarkan
gurunya hanya sebagai dongeng belaka. Setelah Wirapati dapat me-nerangkan
dengan jelas, diam-diam ia mulai merenungkan. Akhirnya berkata dengan
me-lepaskan endapan napas.


"Ih, kiranya begitu. Apabila kami sudah mengetahui kejadiannya sejelas ini,
pastilah saudara-saudaramu bisa menentukan sikap tegas. Dan Guru tak usah
pula menyekap diri dalam bilik persemedian untuk mencari kebeningan dalam
suatu kekeruhan kedunia-wian. Hm, tapi seumpama engkau tiada pulang, pasti
persoalan ini akan mengganjel pada saudara-saudara seperguruanmu sepan-jang
zaman."


"Ki Hajar Karangpandan sebenarnya bukanlah manusia jahat, biadab atau
seorang yang




ingkar kepada sendi-sendi ksatrian. Bahkan dia seorang ksatria sejati yang
menganggap ringan nyawanya sendiri demi suatu hal yang diakui sebagai
darma," kata Wirapati.


Kemudian ia menerangkan, betapa Ki Hajar Karangpandan berjuang merebut
kesejahte-raan keluarga Made Tantre dan Wayan Suage hanya untuk suatu
perkenalan dalam masa tak lebih dari satu jam belaka. Dan mendengar ujar
Wirapati ini. Bagus Kempong mengangguk-angguk dengan hatinya. Katanya dalam
hati, hebat pendeta itu! Dan kalau Wirapati bisa mengimbangi kebesaran
jiwanya, bukanlah berarti pula menjunjung nama Guru, nama perguruan dan
saudara-saudaranya dengan sekaligus? Lantas berkata memuji, "Baiklah,
ternyata kepergianmu selama dua belas tahun tidaklah sia-sia. Siapa
mengira, bahwa engkau pergi dengan memikul papan nama perguruanmu.


Hari ini aku mengucapkan terima-kasih. la berhenti mengesankan. Meneruskan.
"Cara Ki Hajar Karangpandan membunuh sesama hidup sesungguhnya keji dan
ganas. Tetapi dia seorang laki-laki hebat. Tahukah ilmu apa yang digunakan?"


"Mula-mula aku heran mendengar gelora suaranya yang gemuruh." "Itulah ilmu
Guntur Sejuta!" Bagus Kempong menyekat.


"Hanya saja betapa tupai pandai berlompat, sekali-kali akan terjatuh juga.
la mengira, su-dah berhasil membinasakan semuanya. Tetapi sesungguhnya
masih ada seorang yang sela-mat."


"Siapa dia?" Wirapati heran.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar