9.23.2019

@bende mataram@ Bagian 206

@bende mataram@
Bagian 206


Sangaji memang tak pandai berdebat. Maka dia diam tak tahu apa yang harus
dikatakan. Melihat Sangaji diam seperti tersumbat mulutnya, Titisari terus
saja berkata mewakili.




"Ayah kematian Abas disebabkan suatu kecelakaan. Bukan suatu pembunuhan
dengan sengaja."


Adipati memejamkan mata seolah-olah tiada sudi mendengarkan tiap patah kata
anaknya. Berbareng dengan menyenakkan mata, ia menentang Sangaji dengan
pandang berapi-api.


"Si bule Gagak Seta, biasanya tak senang mempunyai murid. Tetapi kini,
ternyata dia telah mengajari kamu ilmu rahasianya hampir tamat. Pastilah
kamu mempunyai sifat-sifat baik dan bakat bagus yang melebihi semuanya yang
pernah diketemukan. Apabila tidak demikian, pastilah kamu sudah berhasil
membujuk atau menjebaknya sehingga mau tak mau dia harus menurunkan ilmu
saktinya kepadamu. Ternyata dengan berbekal ilmu sakti si bule yang belum
sempurna, kau telah berhasil merobohkan murid Karimun Jawa.


E-hm... di kemudian hari, apabila aku bertemu dengan gurumu, pastilah dia
bakal mengoceh tak keruan."


"Ayah!" kembali Titisari memotong. "Memang benar Paman Gagak Seta mengajari
dia, bukan karena Sangaji adalah muridnya tetapi semata-mata oleh suatu
bujukan. Juga bukan dialah yang mengakali. Tetapi aku! Ayah, Sangaji adalah
seorang pemuda polos hati. Janganlah Ayah berlaku begini bengis sampai dia
jadi ketakutan!"


Kali ini Adipati Surengpati benar-benar tidak mendengarkan perkataan
anaknya. Sebenarnya, semenjak isterinya meninggal dunia karena duka-cita,
seluruh cinta-kasihnya dialihkan kepada gadisnya. Itulah sebabnya, ia
memanjakan Titisari sampai melampaui batas, la tak memedulikan tingkah-laku
Titisari yang agak liar dan terlalu berani menentang semua lakunya yang
tidak disetujui. Suatu kali, Titisari merasa tersinggung, tatkala dia
mencoba mengajari tata-susila pergaulan. Terus saja gadis itu minggat,
peristiwa itu membuat dia terkejut. Cepat-cepat ia mengejar. Sepanjang
perjalanan, dia mengira bahwa gadisnya akan sangat menderita. Tak tahunya,
Titisari tetap sehat wal-afiat. Bahkan nampak kian segar-bugar dan
bercahaya seri seorang gadis remaja yang telah menemukan suatu keputus-an
hati. Dengan pandang penuh selidik ia mengamat-amati pergaulan gadisnya dan
Sangaji. Ternyata hati anaknya lebih ber-cenderung kepada pemuda itu. Oleh
kesan ini, hatinya kurang senang. Maka terus saja dia berkata kepada Sangaji.


"Setelah kamu bisa memiliki ilmu sakti Gagak Seta, pastilah kau tak
menghargai penduduk Karimun Jawa."


Titisari kenal watak ayahnya yang angkuh dan mau menang sendiri. Pikirnya
dalam hati, Ayah tak senang menyaksikan Sangaji bisa merobohkan Abu dengan
ilmu sakti Paman Gagak Seta. Hal ini bisa membahayakan Sangaji.


Memperoleh pikiran demikian, segera dia berkata nyaring, "Ayah! Bagaimana
Aji berani menghina murid-murid Karimun Jawa? Dia bisa merobohkan Abu
karena secara kebetulan belaka. Ayah tak percaya? Lihat!"


Setelah berkata demikian, gadis itu terus saja melompat menyerang Sangaji
dengan ilmu ajaran ayahnya sambil berkata menggertak.


"Mari! Kita bertanding! Keluarkan ilmu sakti Paman Gagak Seta! Aku akan
merobohkan kamu dengan ilmu sakti Karimun Jawa!"


Dengan sengaja Titisari menantang Sangaji. Ia tahu bahwa ilmu Sangaji telah
maju berlipat ganda dengan sewaktu baru berkenalan dahulu di Cirebon.
Tetapi ia percaya, masih bisa melayani dalam dua puluh gebrakan. Ia
berharap, mudah-mudahan ayahnya puas.


Sangaji mengerti maksud Titisari. Melihat Adipati Surengpati diam
mengamat-amati, maka segera ia membalas tantangan itu.


"Biasanya aku selalu kalah melawan kamu. Tetapi kalau kamu mengira, aku
jera kepada gebukanmu kau berpikir berlebih-lebihan. Kali ini, kalau kau
mampu menggebuk lagi, aku menyatakan takluk."




Setelah berkata demikian, terus ia mengayunkan tangan dan membalas serangan
dengan suatu jurus ilmu sakti Kumayan Jati.


"Bagus!" Titisari tertawa merendahkan. Cepat ia berkisar dengan ilmu
langkah Karimun Jawa dan terus menyabetkan tangannya. Itulah suatu jurus
ajaran Adipati Surengpati yang terkenal dengan nama Angin Laut Menumbuk Karang.


Sangaji melawan ilmu sakti Karimun Jawa dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Tetapi ia sayang kepada keselamatan Titisari. Itulah sebabnya, ia berkelahi
dengan setengah hati. Sebaliknya Titisari berkelahi dengan sungguhsungguh.
Maklumlah, dia harus membuktikan keunggulan ilmu sakti Karimun Jawa yang
sesungguhnya bukanlah ilmu murahan. Kegesitan dan tenaga dorongnya luar
biasa. Siku jurusnya tajam dan bidang geraknya menempati kedudukan mata
angin yang selalu ber-putar bagaikan gelombang laut. Maka beberapa kali,
Sangaji kena terhajar. Celakanya, Titisari menghajar dengan
sungguh-sungguh. Bahkan gadis itu menggunakan seluruh tenaganya karena dia
tahu tubuh Sangaji kuat.


"Kau masih tak menyerah kalah?" gertaknya sambil terus merangsak.


****


Sangaji tak menyahut. Dia bertahan sebisa-bisanya dengan jurus-jurus ilmu
sakti Kumayan Jati. Mendadak saja, Adipati Surengpati yang tadi menonton
dengan berdiam diri, melesat ke tengah gelanggang. Cara dia melesat begitu
cepat, sampai luput dari pengamatan sekalian yang berada di sekitar
gelanggang. Tahu-tahu kedua tangan Adipati Surengpati telah mencengkeram
tengkuk Sangaji dan Titisari dengan berbareng. Titisari terus dilemparkan
dengan tangan kiri asal terlempar saja. Sebaliknya dengan tangan kanan,
Adipati Surengpati mengerahkan suatu himpunan tenaga tertentu. Kemudian
menghentakkan pemuda itu ke udara melewati kepalanya. Ia bermaksud hendak
merobohkan Sangaji dengan sekali hentakan. Dengan berjungkir-balik melewati
kepalanya, masakan takkan roboh babak-belur?


Tetapi aneh! Sangaji yang telah mengantongi ilmu sakti Kumayan Jati
bukanlah lagi merupakan seorang pemuda yang masih belum pandai beringus.
Begitu ia kena dijungkir-balikkan di udara, terus saja kakinya turun
terlebih dahulu. Dan menancap kokoh bagaikan batu karang.


Sebenarnya, apabila dia bisa bermain sandiwara, mestinya harus berpura-pura
jatuh bergulingan serta membiarkan mukanya babak-belur. Tetapi memang dia
seorang pemuda yang jujur dan tiada pandai berpura-pura. Dengan demikian
Adipati Surengpati sekaligus bisa menilai ketang-guhannya. Lantas saja
Adipati Surengpati jadi panas hati.


"Hai! Kau kira siapa aku, sampai kau berani mengelabui aku dengan permainan
sandiwara? Aku tak mempunyai murid lagi. Karena itu, kau hendak
mencoba-coba ketangguhan ilmu ajaran Gagak Seta? Mari!" bentaknya bengis.


Sangaji terperanjat. Cepat-cepat ia membungkuk sambil berkata takzim,
"Meskipun aku seumpama berhati sebesar gunung, takkan berani mencoba-coba
melawan kesaktian Tuan."


"Hm... layanilah aku!" sahut Adipati Surengpati dengan tertawa dingin.
"Seranglah aku dengan ilmu sakti Gagak Seta. Aku akan tetap berdiri di
tempatku tanpa bergerak. Asal aku mengelak atau menangkis, hitunglah aku
kalah melawan engkau..."


"Aku tak berani," kata Sangaji dengan sung-guh-sungguh. "Meskipun tak
berani, kau tetap wajib melayani aku."


SANGAJI jadi serba salah. Pikirnya, ayah Titisari ini begini keras hatinya.
Wataknya mau menang sendiri. Nampaknya dia takkan melepaskan aku, sebelum
aku melayani kehendaknya. Biarlah kulawannya. Rupanya dia hendak menghisap
tenagaku, kemudian dilontarkan kembali. Dengan demikian aku akan roboh oleh
tenaga lontaran kembali. Biarlah aku roboh beberapa kali. Apa artinya demi
Titisari?"


"Mengapa melamun?" bentak Adipati Surengpati. "Seranglah aku! Kalau kau
menolak, aku


akan menghajarmu! Mengerti?"


Sebentar Sangaji terhenyak. Kemudian tim-bullah watak jantannya. Lantas
menyahut, "Baiklah! Karena Tuan memberi perintah padaku agar melawan,
terpaksa aku tak berani membantah. Setelah berkata demikian, cepat ia
melingkarkan tangan. Itulah suatu jurus gempuran ilmu sakti Kumayan Jati
yang pertama. Tetapi ia hanya menggunakan tenaga himpun enam bagian, karena
khawatir akan melukai ayah Titisari. Kecuali itu andaikata tenaga
lontarannya dikembalikan, robohnya takkan begitu keras, la menyerang ke
arah dada Adipati Surengpati seperti batu berlumut. Gempuran itu lewat
begitu saja seperti tergelincir.


"Hai, anak muda! Kau kira, aku ini siapa sampai engkau berani merendahkan
diriku?" tegur Adipati Surengpati dengan mata berapi. "Apa engkau
menggempur dengan tenaga setengah-setengah? Apakah kau kira aku takkan
tahan menerima gempuranmu?"


Sangaji terkejut. Gugup ia menjawab, "Tak berani aku menggunakan semua
tenagaku ter-hadap Tuan."


"Hm, dengan Adipati Surengpati, jangan engkau membiasakan diri bermain-main
dengan seorang dari tingkatan tua."


Mendengar teguran itu, Sangaji jadi serba salah. Maka tanpa ragu-ragu kini
dia menghimpun seluruh tenaga dengan tata-napas ilmu sakti Kumayan Jati. la
berputar lantas melepaskan serangan. Tangan kirinya mengancam dengan
dibarengi tangan kanannya menyerang perut.


"Bagus! Inilah baru pukulan yang berarti," puji Adipati Surengpati tersenyum.


Sangaji kaget bukan main. Serangan hebat tak kepalang. Meskipun belum
sehebat Gagak Seta, tetapi rasanya bisa mematahkan dahan pohon gundul bayi.
Tapi begitu serangannya tiba, mendadak saja ia kena sedot. Sedotan itu
keras bukan main, sehingga lengannya terasa hampir terlepas dari pundak, la
kesakitan, sampai tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ampun atas
kekurangajaranku ini..."


Tetapi tangannya tetap teringkus, sedang tenaganya lenyap entah ke mana
perginya.


Wirapati dan Bagus Kempong heran menyaksikan peristiwa itu. Mereka kaget
tatkala Sangaji melepaskan gempuran dahsyat. Kemudian heran dan berkhawatir
menyaksikan lengan Sangaji tiba-tiba terkulai. Sedetik mereka berpikir,
benar-benar hebat Adipati Surengpati. Tanpa berkelit atau menangkis, ia
sanggup membuat lengan Sangaji mati kutu...


Terdengar Adipati Surengpati membentak, "Kau pun harus merasakan tanganku,
agar kau lebih bisa menilai tinggi rendahnya ilmu Karimun Jawa. Nah,
bagaimana menurut hematmu. Manakah yang lebih tinggi nilainya antara ilmu
sakti Gagak Seta dan ilmu Karimun Jawa?"


Belum lagi Sangaji membuka mulut, sekonyong-konyong berdesirlah angin
tajam. Sangaji memejamkan mata menahan sakit. Cepat-cepat ia menjejak tanah
hendak mengelak. Di luar dugaan, tinju Adipati Surengpati telah tiba dengan
didahului mengait kaki. Tanpa ampun lagi, Sangaji roboh terguling. Titisari
terperanjat, lantas memekik seru. "Ayah! Jangan sakiti dia!" Setelah
berkata demikian, gadis itu langsung menubruk ke arah tubuh Sangaji dan
mendekap di atasnya. Maksudnya hendak menghalang-halangi serangan balasan
ayahnya.


Tetapi Adipati Surengpati menyerang. Melihat anaknya melindungi tubuh
Sangaji, tinjunya diubah menjadi satu cengkeraman. Sebat luar biasa, ia
mencengkeram kemeja Sangaji. Kemudian pemuda itu diangkat tinggi. Tangan
kirinya terus membuat suatu lingkaran kecil hendak menusuk tulang rusuk.
Melihat gerakan lingkaran tangan kiri itu,


Wirapati dan Bagus Kempong terkejut. Mereka tahu, bahwa gerakan itu adalah
suatu serangan maut. Maka mereka maju dengan berbareng hendak menolong
Sangaji. Wirapati berada di depan. Dengan sebat ia menyabetkan pedang
dibarengi dengan pegasan pedang Bagus Kempong yang menyerang pula dari samping.


Adipati Surengpati ternyata tiada memedulikan serangan pedang mereka
berdua. Dengan




tenang ia menyibakkan gadisnya. Tangan kirinya terus bergerak melingkar
kalung. Tatkala kedua pedang murid Kyai Kasan Kesambi tiba mendadak saja
patah menjadi empat potong. Peristiwa ini membuktikan, bahwa Adipati
Surengpati sesungguhnya kebal dari senjata tajam.


Titisari lantas saja menangis. Teriaknya, "Ayah, bunuhlah dia! Tetapi untuk
selamanya, tak mau aku bertemu denganmu..." Setelah berkata demikian, tanpa
menoleh lagi, ia terus melesat melarikan diri.


Melihat laku anaknya, Adipati Surengsari terkejut berbareng gusar, la kenal
akan kekerasan hati anaknya yang tak beda dengan kekerasan hatinya. Sekali
berkata dia melakukan tanpa pertimbangan lagi. Cepat ia mengurungkan
niatnya hendak mendaratkan serangan maut terhadap Sangaji. Kemudian melesat
hendak mengejar puterinya. Ternyata Titisari tiada lagi nampak batang
hidungnya. Maka ia berdiri terhenyak di tepi lapangan dengan pandang
terlongoh-longoh. Sejenak kemudian, barulah dia menoleh. Waktu itu, ia
melihat Wirapati dan Bagus Kempong lagi menolong Sangaji berdiri. Ternyata
lengan Sangaji nyaris patah, maka dengan gugup mereka berdua memijat-mijat
melancarkan jalan darahnya dan lintang urat-uratnya. Melihat kesibukan
mereka, mendadak saja timbulah amarah Adipati Surengpati. Kepergian
Titisari lantas saja ditumpahkan kepada kedua murid Kyai Kasan Kesambi itu.
Dengan sekali melesat ia menghampiri mereka berdua sambil berkata nyaring.


"Kamu berdua, lekaslah bunuh diri! Dengan begitu tak usah aku membinasakan
kamu dengan tanganku sendiri. Kalau kamu menolak, aku bakal menyakitimu..."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar