9.30.2019

@bende mataram@ Bagian 217

@bende mataram@
Bagian 217


Di antara anak murid Kyai Kasan Kesambi, Wirapati adalah salah seorang
murid yang ahli dalam menggunakan senjata panjang. Dia terkenal dengan
sebutan Aria Sada Lanang ). Tatkala menerima ajaran ilmu senjata ia
diperkenalkan oleh gurunya tentang berma-cam-amcam aliran yang menggunakan
senjata sebagai sendi kekuatannya. Maka pengetahuannya tentang
perguruan-perguruan yang mengajar ilmu senjata cukup luas.


Demikianlah, tatkala melihat bentuk senjata kakek itu hatinya jadi
tercekat. Teringatlah dia, bahwa gurunya pernah memperkenalkan adanya suatu
aliran yang berpusat di sekitar Gunung Liman, yang mahir menggunakan
tongkat berkepala ular sebagai senjatanya yang ampuh. Cara bertahan dan
menyerang aliran Gunung Liman agak berbeda dengan ajaran gurunya. Tetapi
lebih ganas dan keji. Sebab kecuali dilumurui racun jahat, tiap jurusnya
tak memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas barang sekejap pun.
Cikal bakal aliran itu bernama Hewa. Apakah Hewa suatu sebutan atau gelar,
gurunya tak dapat menjelaskan. Memperoleh ingatan ini, Wirapati mencoba
menguasai diri. Seperti diketahui, dia diajar untuk menghormati angkatan
tua oleh gurunya, maka segera ia berkata penuh hormat.


"Apakah Kakek berasal dari Gunung Liman? Barangkali Kakek kenal dengan
seorang sakti bernama Hewa, sampaikan salamku."


Mendengar kata-kata Wirapati, Kakek itu terperanjat. Tak pernah diduganya,
bahwa Wirapati semuda itu sudah mempunyai penge-tahuan luas sehingga
mengenal asal-usulnya. Sesungguhnya Kakek itulah yang di sebut He-wa.
Namanya yang lengkap, Hajar Sandihewa. Jabatannya ketua aliran sakti dari
Gunung Liman. Kedatangannya ke Gunung Damar ialah atas undangan Patih
Danurejo dan dijanjikan akan memperoleh upah besar apabila berhasil membawa
pulang pusaka sakti


Pangeran Semono. Beberapa bulan lamanya ia mencoba mengumpulkan berita.
Selama itu, tak pernah ia memperkenalkan namanya atau memperlihatkan macam
kepandaiannya. Tak tahunya, baru saja ia muncul telah dikenal oleh seorang
pemuda layak cucunya. Karena itu, terpaksa ia menjawab, "Legakan hatimu.
Akulah sendiri yang bernama Hewa. Lengkap-nya Hajar Sandihewa."


"Golongan kalian selamanya tak pernah berhubungan atau bergaul dengan kami
dalam percaturan hidup. Mengapa tiba-tiba Kakek berada di Gunung Damar?
Apabila kami pernah melakukan suatu kesalahan, tolong berilah penjelasan."


Hajar Sandihewa tersenyum merendahkan, mendengar ucapan Wirapati.


"Memang antara golonganku dan golongan-mu tak pernah terjadi suatu
permusuhan. Aku pun pernah mendengar berita, tentang kegagahan anak murid
Kyai Kasan Kesambi. Tetapi kedatanganku kemari sesungguhnya hanya
menginginkan bocah itu agar memberi keterangan tentang pusaka Pangeran Semono."


Terdengarnya ia berbicara pantas. Tetapi nadanya berat dan mendesak. Bahkan
dengan lambaian tangan, ia memberi aba-aba kepada rombongan yang mengikuti
dari belakang agar mengepung lebih rapat. Terang sekali, ia hendak
memutuskan perkara itu dengan suatu kekerasan.


Mau tak mau, Wirapati mendongkol menyaksikan sikapnya. Karena itu mendadak
saja, ia berkata kaku.


"Seumpama aku bersitegang dan menolak kehendakmu apakah yang akan kaulakukan?"


"Ilmu Kyai Kasan Kesambi termasyur di seluruh jagad. Siapa yang tak kenal?
Aku pun termasuk salah seorang di antara mereka yang tak berani meremehkan
anak muridnya. Kebetulan sekali, kudengar kakak seperguru-anmu terluka dan
bocah itu keracunan.




Kesempatan ini sangat baik untuk kupergu-nakan memaksa kau dengan
mengandalkan jumlah banyak. Seumpama kau membandel, akan kami persilakan
engkau pergi dengan bebas. Hanya saja, kakakmu dan bocah itu harus kutahan."


Heran Wirapati mendengar kata-kata Hajar Sandihewa yang hendak
mempergunakan kesempatan itu untuk kepentingannya. Nyata sekali, betapa
rendah budinya. Karena itu, tak ada guna faedahnya berlaku hormat
kepada-nya. Maka serentak ia menegakkan kepala dan membentak, "Bagus! Jika
begitu, terpaksa aku memberanikan diri mencoba-coba ilmu sakti dari Gunung
Liman. Tapi andaikata engkau terpaksa mengalah satu dua jurus ter-hadapku,
bagaimana selanjutnya?"


"Jika aku kalah, sudah tentu kami beramai-ramai akan maju mengkerubut,"
sahut Hajar Sandihewa dengan tertawa riuh. "Habis inilah suatu kesempatan
bagus yang belum tentu kuketemukan dalam sepuluh tahun. Sebaliknya,
andaikata tiba-tiba saudara-saudara seperguruanmu secara kebetulan berada
di sini, kalian boleh mengkerubut kami. Dengan demikian, bukankah adil?"


Terang sekali, Kakek itu tahu—Wirapati hanya seorang diri, namun ia mencoba
men-cari kata-kata imbangan dengan mengumpa-makan anak murid Kyai Kasan
Kesambi tiba-tiba datang. Maksudnya hendak mempertahankan kehormatan
dirinya sebagai seorang dari angkatan tua. Sebaliknya, Wirapati jadi sadar
bahwa tiada gunanya mengadu mulut lagi. Tetapi hatinya sibuk memikirkan
keselamatan kakaknya seperguruan dan Sangaji yang lagi terserang sesuatu
racun. Cepat ia berpikir, biarlah kubekuknya dia untuk kujadikan sandera
memaksa kawan-kawannya mengadakan kerubutan. Dengan cara mengancam
nyawanya, bukankah kawan kawannya terpaksa membatalkan maksudnya hendak
mengkerubut aku dan Kangmas yang sedang terluka parah? Memperoleh keputusan
itu, segera ia meloncat dari kudanya dengan enteng sekali. Kemudian, ia
meminjam pedang Sangaji hadiah Willem Erbefeld. Berkata menantang, "Mari!
Kau adalah tamuku. Silakan menyerang dahulu."


Hajar Sandihewa dengan gesit melompat turun dari kudanya. Mendadak saja
terus menyerang dengan keji dan ganas. Benar-benar serangannya tak mengenal
ampun dan segan-segan. Wirapati dengan cepat mengelak tiga kali
beruntun-runtun sambil berpikir dalam hati, hari ini aku bertempur dengan
keselamatan Kangmas, perguruan dan Sangaji. Jika aku sampai gugur, rasanya
tak sia-sia hidupku di dunia. Tapi, hm. Sangaji belum memenuhi tekadnya
hendak membalas dendam ayahnya. Apakah dia harus tewas dalam pertempuran ini.


Pada saat itu ia melihat tongkat Hajar Sandihewa menyambar dahsyat. Segera
ia menangkis dan mencoba mengadu tenaga. Terlintaslah suatu pikiran.
Biarlah aku berpura-pura kalah tenaga. Dengan begitu, dia berpikir tak
perlu minta bantuan teman-temannya.


Apa yang terlintas dalam benaknya segera dilakukan. Begitu ia terbentur
tongkat Hajar Sandihewa, ia mundur tergeliat. Karuan Hajar Sandihewa yang
tadi beragu menghadapi anak-murid Kyai Kasan Kesambi, menjadi girang dan
berbesar hati.


Ha, katanya anak-murid Kyai Kasan Kesambi hebat tak terkalahkan. Ternyata
hanya berilmu dangkal. Tenaganya tak mele-bihi pekerja kampungan. Tahulah
aku se-karang, mungkin orang-orang itu hanya me-ngibul belaka, pikirnya.
Setelah itu berseru kepada kawan-kawannya! "Kalian tak usah membantu.
Biarlah aku membereskan bocah ini seorang diri."


Secepat kilat ia menyodokkan tongkatnya. Wirapati menangkis dengan susah
payah. Sekali-sekali ia menyerang juga, tapi nampak sekali tak berdaya.
Karena itu, hati Hajar Sandihewa kian menjadi besar. Sekaligus tim-bullah
angan-angannya hendak mempergu-nakan kesempatan ini untuk mengangkat nama.
Maka dengan tertawa riuh meren-dahkan lawan, ia menyambar pulang-balik
bagaikan burung sikatan.


Meskipun dia bergerak demikian cepat, namun tiap serangannya selalu kena
ditangkis




lawan. Memperoleh kenyataan itu, hatinya jadi panas. Dengan menjejak tanah,
ia hendak mengadu kegesitan. Tongkatnya terus menyambar, menyodok, memukul,
menebas dan memotong jurus tangkisan dan serangan.


Wirapati terus bermain mundur. Otaknya yang cerdas dan penglihatannya yang
tajam, segera menyelami ilmu Gunung Liman. Dan tak usah lama, ia telah
memperoleh kesim-pulan. Benar gerak-gerik Hajar Sandihewa cepat, ganas dan
ruwet. Tetapi banyak me-ngandung lubang kelemahan. Tetapi ia masih belum
mau membalas. Ia menunggu sampai lawannya dimabukkan semangat menang yang
berlebih-lebihan. Pada saat yang ditung-gu-tunggu sewaktu Hajar Sandihewa
mulai bertempur dengan membentak-bentak, segera ia merubah
tata-berkelahinya. Kemudian ber-kata, "Hajar Sandihewa! Apakah hanya ini
ilmu kepandaianmu? Hm, bagaimana kau berani berkeluyuran memasuki wilayah
Gunung Damar hanya dengan berbekal ilmu kepandaian murahan begini. Lihat
pembalasanku!"


Mendadak saja pedang Wirapati berputar seperti kitiran, kemudian mengalun
tinggi-ren-dah bagaikan gelombang laut merabu daratan. Hajar Sandihewa kena
dilihatnya. Terus saja ujungnya menusuk dan di tengah jalan tangan kirinya
menyodok tulang rusuk. Tak ampun lagi. Hajar Sandihewa runtuh ke tanah
sambil berteriak tinggi. Belum lagi ia sempat bangkit kembali, gagang
pedang Wirapati telah menyodok tulang lehernya. Seketika itu juga, kakinya
terus berlutut dan ia jatuh menu-lungkupi bumi.


"Hai, Hajar Sandihewa! Lihat! Mestinya beginilah gerakanmu!" kata Wirapati.
Terus saja ia menirukan gerakan lawan. Pedangnya bergetar lembut dan
menghamburkan pantul-an gelombang pendek. Tiba-tiba menusuk empat puluh
lima kali pada tubuh Hajar Sandihewa.


"Waduh!" teriak Hajar Sandihewa. Seluruh tubuhnya menjadi pedih dan nyeri.
Ia kagum luar biasa. Pikirnya, sekalipun dia tak berkisar dari tempatnya,
aku pun takkan sanggup menusuk sampai melebihi lima kali. Tapi dia bisa
menghamburkan satu serangan 45 kali tusukan dengan sekaligus. Biarlah aku
menjadi muridnya, kepandaianku masih selisih jauh


... hm ... mataku lamur sampai tak bisa menilai ketangguhannya.


Melihat Hajar Sandihewa kena dijatuhkan, kawan-kawannya yang mengepung
serentak turun dari kudanya dan siaga menyerbu. Cepat Wirapati mengancamkan
pedangnya ke teng-gorokan Hajar Sandihewa sambil membentak.


"Lekas kalian enyah dari Gunung Damar.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar