9.30.2019

@bende mataram@ Bagian 216

@bende mataram@
Bagian 216


Diam-diam dia berpikir dalam hati. Kangmas Bagus Kempong lebih kuat
dari-padaku, meskipun demikian kena dilukai. Hm, pastilah bukan orang
sembarangan. Dia pun mengincar Sangaji. Aih, agaknya pesan terakhir Wayan
Suage yang diungkapkan Sangaji, sudah bukan menjadi suatu rahasia lagi.
Jangan-jangan, dia pun termasuk salah seorang yang menyelundup dalam
barisan utusan Sri Sultan, sehingga dapat mendengar kata-kata Sangaji.
Bagus! Jika bangsat itu berani datang kembali dengan mengancam nyawa
Sangaji, biarlah aku mengadu nyawa. Karena ini, segera ia berkata kepada
Bagus Kempong, "Kangmas, apakah keadaan badanmu sudah pulih kembali?"


Persaudaraan seperguruan mereka sudah dipupuk semenjak kanak-kanak,
sehingga suatu isyarat mata atau suatu gerakan tangan sudah cukup untuk
saling memahami kehendak hati masing-masing. Maka Bagus Kempong lantas saja
bisa menerima, bahwa adik-seperguruannya mengkhawatirkan keadaannya.


"Aku hanya hendak melemaskan urat belikat belaka."


Setelah berkata demikian, kembali ia duduk bersemadi menenangkan hati. Ia
duduk dekat Sangaji. Teraba oleh suhu tubuh Sangaji yang agak tinggi, ia
menyenakkan mata. Sebentar ia memperhatikan paras pemuda itu, kemudi-an
memejamkan mata kembali. Sebagai se-orang pendekar yang berpengalaman
tahulah dia dengan sekali pandang, bahwa luka Sangaji meskipun teraba oleh
sesuatu racun tidak akan membahayakan nyawa.




Dalam gardu itu lantas saja terselimuti suatu kesenyapan. Angin mendesir
lembut meraba kain sarung yang terpancang menjadi tirai. Bulan di luar
nampak remang-remang. Suasana damai terasa meraba sekitar lembah
pegunungan. Wirapati jadi bermenung-menung. Dua belas tahun yang lalu,
seringkali dia lewat sekitar Dusun Salatiyang. Meskipun kini belum berubah,
tetapi pengalamannya sehari tadi mempunyai kesan tertentu. Daerah lembah
Gunung Damar yang dahulu aman tenteram, ternyata mulai dikunjungi
orang-orang tertentu yang mengandung maksud jahat.


Selagi ia bermenung, mendadak saja kain sarung yang terpancang di depannya
menggelembung lembut seperti teraba suatu tangan. Tajam ia mengamat-amati.
Benar juga. Perlahan-lahan sarung itu tersingkap. Kemudian muncullah kepala
seseorang men-jenguk ke dalam. Ia bersangsi dan mau men-duga, bahwa orang
itu mungkin seorang pe-ronda kampung atau salah seorang penduduk. Mungkin
pula seorang pengembara yang kebetulan lewat. Tetapi aneh! Mengapa
pendengarannya yang tajam tiada mendengar langkahnya. Memperoleh
pertimbangan ini, ia jadi curiga. Cepat ia bersiaga menghadapi kemungkinan.


Orang yang menyingkap sarung itu, seorang laki-laki berperawakan tinggi
tipis. Ia menge-nakan baju dan celana pendek. Tangannya menggenggam cambuk,
mirip seorang sais. Begitu melihat siapa yang berada di dalam gardu, terus
mundur dengan tertawa melalui hidung.


Melihat gerak-gerik orang itu. Wirapati yakin bahwa maksudnya tidak baik.
Hatinya menjadi mendongkol, mendengar nada tertawanya dan
kekurangajarannya. Tatkala sarung itu turun dan bergelombang ke luar, ia
membarengi dengan menyodokkan tangan dengan tenaga gendam.


Seketika itu juga, tirai sarung itu terbang dan tepat mengenai dada.
Laki-laki itu kaget sampai memekikkan suara. Tubuhnya terhuyung-huyung dan
akhirnya jatuh tertengkurap. Ia mencoba tertatih-tatih bangun. Begitu dapat
berdiri tegak mendadak saja berlari kabur sambil berteriak, "Bangsat! Ajal
kalian sudah di depan mata, masih berani berlagak sok pendekar?"


Bagus Kempong sudah tentu mengetahui peristiwa itu, tetapi dia tetap tak
bergerak dari tempatnya. Sebaliknya Wirapati terus berkata kepadanya,
"Sejiwan sudah berada di depan. Apakah kita tidak berangkat saja?"


Tidak!" sahut Bagus Kempong cepat dan tegas. "Malam ini biarpun badai turun
dengan dahsyat, kita tak perlu meninggalkan tempat ini. Esok pagi biarlah
kita berangkat bersama dengan merangkaknya matahari."


Mendengar kata-kata Bagus Kempong, Wirapati dengan cepat dapat memahami.
Se-mangat keperwiraannya lantas saja berkobar-kobar. Katanya bergelora,
"Ya, benar. Jarak perjalanan ke Sejiwan tinggal enam-tujuh pai. Betapapun
kita berdua tak becus menghadapi mereka masa harus merosotkan papan nama
perguruan. Masakan di kaki Gunung Damar, kita masih menempuh perjalanan
pada malam hari untuk menghindari mereka?"


"E-hm." Bagus Kempong berdehem. "Jejak kita terang sudah ketahuan
orang-orang ter-tentu. Biarlah mereka menyaksikan bagai-mana cara murid
Kyai Kasan Kesambi meng-hadapi ajalnya."


Sangaji mendengarkan ucapan guru dan pamannya dengan jelas. Gurunya sama
sekali tiada menyinggung dirinya. Pamannya pun demikian, seolah-olah dia
tidak termasuk hitungan. Di sini ternyata, bahwa guru dan pamannya tak
menginginkan dia terlibat dalam kesukaran. Bahkan mereka bersiap-sedia,
mengorbankan nyawa bila perlu demi menjaga keselamatan dirinya. Tetapi
bagai-mana dia mau diperlakukan demikian? Meski-pun dia tahu maksud baik
guru dan paman-nya, tetapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan,




"Jika orang semalam datang kem-bali mengganggu Guru dan Paman karena
menginginkan diriku, biarlah aku mengadu nyawa."


Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Waktu itu matahari telah
sepenggalah tingginya. Angin meniup sejuk membawa hawa pegunungan. Mereka
meneruskan perjalanan dengan berkendaraan kuda. Bagus Kempong tak
membutuhkan bantuan tenaga Wirapati, meskipun kesehatan dan tenaganya belum
pulih seperti sediakala. Itulah sebabnya pula, kudanya hanya dibiarkan
berjalan perlahan-lahan.


Baru saja melampaui dua pai, mereka telah disusul satu rombongan berkuda.
Tidak jauh di sana, kira-kira seratus langkah di depan mereka berdiri empat
penumpang kuda pula yang bersiaga menghadang di tepi jalan. Dengan
demikian, mereka terjepit dari belakang dan depan.


Dengan sikap tak memedulikan, Bagus Kempong lewat di depan mereka. Sedangkan


Wirapati menjajari di sampingnya dengan waspada. Mereka yang menghadang
ternyata terdiri dari seorang kakek, seorang wanita muda yang cantik dan
dua perwira yang mengenakan pakaian seragam.


Wanita muda itu memegang pedang pan-jang dan dengan isyarat mata ia memberi
pe-rintah kepada si kakek agar menghadang dengan melintangkan kudanya.
Kedua perwira yang mendampingi ikut pula melintangkan kudanya sambil
tersenyum-senyum meren-dahkan.


Wirapati terus saja lari mendahului Bagus Kempong, sedangkan Sangaji
menjaga di belakang. Dengan menahan gejolak hati, Wirapati memberi hormat
dari atas kudanya. Kemudian menyapa,


"Terimalah hormat kami berdua. Bagus Kempong dan Wirapati anak murid Kyai
Kasan Kesambi. Tuan-tuan telah mengunjungi daerah kami dan ternyata kami
lalai meng-adakan penyambutan. CJntuk kelalaian kami harap dimaafkan.
Sekiranya Tuan-tuan berla-pang dada, dapatkah kami mengetahui nama-nama
Tuan yang mulia?"


Wanita muda itu hanya tersenyum belaka sebagai balasan. Sedangkan kedua
perwira yang mendampingi, meludah ke tanah.


Kemudian si kakek yang berambut gimbal membalas dengan kasar.


"Siapa sudi menerima hormatmu. Cukup serahkan saja bocah itu dan kami
takkan mempersulit kalian berdua."


"Bocah ini adalah murid kami. Dan kami adalah murid Kyai Kasan Kesambi.
Biarlah beliau yang memutuskan. Lagi pula apakah keuntungannya Tuan membawa
murid kami. Sekiranya Tuan membutuhkan petunjuk atau keterangan tentang
tempat-tempat yang Tuan kehendaki, lebih berhasil apabila membawa kami
berdua," sahut Wirapati yang dengan menahan marah. Tetapi di dalam hati dia
sibuk menimbang-nimbang, terang sekali mereka mencari perkara. Sangaji
hendak dibawanya supaya bisa dipaksanya menunjukkan pusaka warisan. Hm,
Kangmas Bagus Kempong menderita luka tak enteng. Tetapi masa aku harus
menyerah mentah-mentah di daerahku sendiri?


Tengah dia sibuk menimbang-nimbang, Kakek itu berkata dengan nada merendahkan.


"Pikirlah masak! Kakakmu seperguruan ter-luka berat. Bocah itu pun kurang
sehat. Tinggal kau seorang diri. Masa kamu mampu melawan kami?"


"Apakah kamu akan mengadu jumlah banyak?" Wirapati tak sabar lagi. Dengan
pan-dang tajam ia melepaskan kata-kata tajam pula.


"Bagus! Telah lama aku mendengar kabar, bahwa murid-murid Kyai Kasan
Kesambi tak gampang-gampang bisa diruntuhkan.


Pagi ini biarlah kita mencoba-coba, seru Kakek itu sambil mencabut tongkat
galih pohon




jambe ). Tongkat itu bentuknya seder-hana tetapi berkepala ular dan terus
diputar-putar sehingga mengeluarkan suara berdesing.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar