9.29.2019

@bende mataram@ Bagian 215

@bende mataram@
Bagian 215


Berbareng dengan teriaknya, ia lari melesat ke jurusan barat menghadang
empat serdadu. Sekali bergerak, keempat serdadu itu jatuh berdeburan di
atas tanah. Maklumlah, mereka tiada memiliki suatu kepandaian yang berarti.
Bagi Bagus Kempong merupakan makanan empuk belaka.


Dalam pada itu, Sangaji berkelahi pula dengan penuh semangat. Hatinya tidak
segan-segan lagi melabrak sekalian serdadu, karena gemas menyaksikan
kekejaman menghajar seorang anak. Dengan pedang rampasannya ia merangsak.
Dengan tinjunya yang bertenaga ia menghajar kalang kabut.


"Bagus!" puji Wirapati gembira. Ia tak me-ngira, bahwa muridnya mau
berkelahi juga melawan golongan kompeni. Sekonyong-konyong ia melihat
seorang serdadu berewok menyerang dari timur. Cepat ia menangkis dan dengan
sekali gempur, sedadu itu jatuh tertelungkup. Tetapi mendadak saja,
tahu-tahu serdadu itu melesat dan berhasil menangkap pergelangan tangan
Sangaji.




Sangaji terperanjat. Tanpa berpikir lagi, ta-ngannya terus menghantam
dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Serdadu itu menggeliat mundur tiga
langkah sambil terpekik heran. Kemudian dengan gerakan aneh, ia menyerang
lagi. Kali ini lebih dahsyat dan tangkas. Tangan Sangaji kena ditangkapnya
dan terus ditarik maju.


Bagus Kempong dan Wirapati heran menyaksikan keperkasaan serdadu itu.
Tenaga Sangaji bukanlah suatu tenaga dorong murahan. Setiap pukulannya
mengandung tenaga ilmu Kumayan Jati. Namun serdadu itu kuat bertahan
seolah-olah kebal dari suatu pukulan betapa sakti pun. Mereka terperanjat,
tatkala melihat lengan Sangaji kena tangkap pula.


Maka tanpa berpikir lagi, Bagus Kempong melesat maju sambil melontarkan
gempuran. Serdadu itu kaget. Ia tahu bahaya. Cepat ia melepaskan
cengkramannya dan menangkis gempuran Bagus Kempong. "Plak!" Bagus Kempong
terkejut bukan kepalang. Ia merasa tenaga pukulan lawan begitu kuat
bagaikan gugurnya sebuah bukit batu. Tubuhnya sam-pai tergeliat mundur.


Sebaliknya serdadu itu pun tak tahan menangkis gempuran Bagus Kempong. la
tergeliat sampai tubuhnya berputar kemudian kabur dan lenyap di gelap malam.


"Jangan kejar! Berbahaya," Bagus Kempong berteriak memperingatkan.


Wirapati terkejut. Paras Bagus Kempong ternyata pucat lesi, terang sekali
terluka tiada enteng. Cepat Wirapati membopongnya. Se-baliknya, Sangaji
nampak duduk bersimpuh di atas tanah. Lengannya berdarah terkena
cengkeraman serdadu tadi. Maka cepat-cepat ia menyalurkan napas dan
darahnya, agar terhindar dari suatu kemungkinan terkena racun.


"Tolong muridmu dahulu!" bisik Bagus Kempong lemah. Dia sendiri terus duduk
menenangkan diri di atas tanah.


Waktu itu, Wirapati melihat tiga orang ser-dadu sedang datang mengepung
Sangaji.


Dengan sebat Wirapati menyambar senja-tanya. Sekali tusuk, dua orang mati
ter-jungkal. Lainnya segera melarikan diri. Tetapi Wirapati sedang marah.
Pedang rampasan terus ditimpukkan dengan sekuat tenaga. Agaknya hatinya
bergejolak hebat karena marah melihat kakak seperguruannya terluka oleh
akal licik seorang serdadu. Tenaga lontarannya kuat luar biasa sehingga
mem-bawa suara mendesing. Maka terdengarlah suara gedebrukan. Serdadu itu
mati tertancap lontaran pedang seperti terpantek di atas tanah.


Wirapati lantas menolong muridnya dan dibawa berdiri menghampiri Bagus
Kempong. Pada waktu itu para serdadu sudah meninggalkan kampung. Bagus
Kempong masih memejamkan mata mengatur perna-pasannya. Kemudian, merogoh
sebutir ra-muan obat buatan gurunya, wajahnya yang tadi pucat
perlahan-lahan bersemu merah kembali.


"Tenaga pukulan luar biasa kuat," katanya lemah berbarengan dengan
menyenakkan mata. Mendengar kakak seperguruan sudah dapat berbicara tenang,
hati Wirapati lega bukan main. Meskipun demikian, belum berani ia mengajak
berbicara lebih banyak lagi.


"Apakah orang itu benar-benar mening-galkan kita?" Bagus Kempong menegas
dengan lemah.


"Ya, bagaimana keadaan Kangmas?"


"Tak usahlah kau bercemas hati," sahut Bagus Kempong. Tangannya menggapai
pun-dak Wirapati. Dengan memejamkan mata ia merenung-renung. Sejenak
kemudian ia mem-buka matanya kembali sambil berkata, "Tak dapat aku menebak
siapa dia. Terang sekali ia seorang pendekar yang menyamar sebagai serdadu
murahan dengan menyembunyikan maksud-maksud tertentu. Melihat dia hendak
menculik Sangaji, pastilah dia mengincar pula pusaka keramat. Aih, tak
kukira begini besar pengaruh pusaka keramat Pangeran Semono. Baiklah...
marilah kita pulang ke gunung, kita minta keterangan Guru dari cabang
kesaktian manakah orang itu."




Mendengar ujar Bagus Kempong, tahulah Wirapati bahwa kakak seperguruannya
meng-hendaki agar dia membatalkan maksudnya mengambil pusaka warisan.
Mengingat di antara mereka yang memperebutkan pusaka sakti terdapat
orang-orang sakti. Sedangkan kakak seperguruannya terluka pula, maka ia
menerima baik saran itu. Cepat ia memapah Bagus Kempong dan dengan
hati-hati di-dudukkan di atas pelana kuda. Ia sendiri terus melompat naik
di belakangnya. Dengan demikian, ia dapat memeluk tubuh
kakak-seperguruannya. Sangaji sendiri, tak perlu memperoleh bantuan. Pemuda
itu sudah bisa menguasai diri. Meskipun demikian, Wirapati minta keterangan
kepadanya, "Sangaji! Bagaimana dengan lukamu?"


Dengan menggelengkan kepala Sangaji menjawab, "Hanya luka tak berarti.
Anehnya tubuhku merasa jadi panas."


Mereka menderapkari kudanya perlahan-lahan menuju ke timur kembali. Sampai
di Desa Salatiyang mereka berhenti di sebuah gardu penjagaan. Khawatir sisa
serdadu-serdadu tadi masih berusaha mengejarnya, maka Wirapati menutup
pintu gardu dengan selembar sarung. Setelah itu ia mendampingi
kakak-seperguruannya mengatur tata-napas. Sekali-kali ia meraba kening
muridnya pula yang berubah menjadi panas seperti seseorang terserang
penyakit demam.


Menjelang tengah malam, Bagus Kempong sudah pulih sebagian tenaganya. Ia
berjalan mondar-mandir melemaskan urat tulangnya. Kemudian berkata,
"Wirapati, adikku! Selama hidupku kecuali guru belum pernah kukete-mukan
seorang jago seperkasa orang tadi."


Wirapati mendengarkan kata-kata kakak-seperguruannya dengan cermat. Tapi
sewaktu ia menggempur serdadu itu, nampaknya begitu lemah. Dengan sekali
gempur, ternyata ia rebah. Setelah dipikir-pikir pulang balik, sadarlah dia
bahwa orang itu sebenarnya hanya berpura-pura untuk mengincar mangsa yang
dikehendaki. Merasa berhasil mengungkap mangsa yang dihendaki, dengan
mati-matian ia mencoba hendak mempertahankan. Sayang sekali baik Wirapati,
Sangaji maupun Bagus Kempong tidak begitu mengamat-amati bentuk tampangnya.
Maklumlah, kecuali hari gelap, dalam suatu pertempuran seru bagaimana
sempat pula memperhatikan perawakan lawan seorang demi seorang. Samar-samar
mereka hanya teringat, bahwa orang itu berperawakan agak pendek. Mukanya
penuh bulu.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar