@bende mataram@
Bagian 281
Manusia takkan dapat mencapai dengan karsa belaka. Seperti ini, bahwasanya
wadah (tempat untuk menaruh) takkan bisa mencari wahyu. Sebaliknya wahyu
yang akan mencari wadahnya. Demikianlah setelah yakin akan hal itu, Sangaji
hendak mencoba kesaktiannya. Ia belum bisa bergerak seleluasa-luasanya,
kecuali hanya menggerakkan jari-jari dan lengan. Di depannya tertebar
beberapa puluh biji sawo yang tadi digunakan sebagai senjata bidiknya.
Dengan memaksa diri ia memungut-nya sebuah. Kemudian disentilkan membidik
batu. Kesudahannya luar biasa menakjubkan. Batu yang kena bidikan rompal.
Dan hancur berderai seperti kena ledakan dinamit. Melihat kenyataan itu,
hatinya girang bukan main. Kini yakinlah dia, bahwa Bagas Wilatikta
benar-benar terlontar oleh tenaga saktinya. Hanya saja ia tak mengerti
sebab-musabab terjadinya pelontaran itu. Sangaji adalah seorang pemuda yang
tak dapat membiarkan dirinya terlibat dalam per-soalan yang rumit-rumit.
Maka lantas saja ia menghibur diri. "Biarlah begitu. Perlahan-lahan akan
kuselidiki sebab musababnya." Setelah memperoleh keputusan demikian,
hatinya jadi tenang. Tapi justru hatinya tenang, luka dalamnya mulai
merenyam. Ia merasa seperti ditusuk ribuan jarum, sakitnya bukan main.
Seluruh tubuhnya menggigil, tatkala ia mencoba bertahan. Dan sebelum
matahari mendaki sepenggalah tingginya, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Kira-kira melampaui waktu luhur, lapat-lapat ia mendengar derap kuda. Rasa
sakitnya masih saja belum mereda. Tapi oleh rasa ingin tahu, ia menjenakkan
mata. Ternyata Willem berderap secepat terbang karena dikejar oleh seorang
perempuan yang rambutnya terurai hampir mencapai pinggang, la jadi
ke-heran-heranan. Dengan menggertak gigi, ia menegakkan badan dan bersandar
pada sebuah batu yang mencongakkan diri sebagian dari lapisan tanah.
Tatkala mengamat-amati, ia melihat suatu kesan yang agak janggal. Ternyata
perempuan yang mengejar-ngejar Willem, seorang gadis sebaya dengan
Titisari. Terang sekali ia seorang gadis desa. Rambutnya dibiarkan terurai.
Wajahnya kehitam-hitaman. Kulitnya kasar dan berpakaian sekenanya. Meskipun
demikian gadis itu nampak manis dan hidup oleh sepasang matanya yang
bersinar tajam. Perawakannya langsing pula, sehingga mudah menarik
perhatian. Apabila gadis itu melihat beberapa mayat bergelimpangan
berserakan, terdengar ia memekik kaget. Namun demikian raut mukanya tak
berubah. Satu demi satu ia mengamat-amati. Kemudian dengan mata terbelalak
ia mengawasi Sangaji. Terus saja bertanya setengah heran, "Hai...! Kau
belum mati?" "Syukur belum," sahut Sangaji sederhana. Tanya jawab pendek
itu sebenarnya meng-gelikan. Yang perempuan aneh bunyi per-tanyaannya dan
yang lain menjawab sekena-nya. Itulah sebabnya, begitu saling memandang
akhirnya mereka tersenyum geli juga. "Kalau kau belum mati, kenapa
berbaring di situ tak berkutik? Ih, kaget aku!" kata gadis itu dengan
setengah tertawa. "Aku terluka." "Siapa yang melukai?" "Mereka." Gadis itu
mengembarakan matanya. Setelah merenungi mayat-mayat, ia nampak menghela
napas. "Syukur mereka mati semua. Hm... kau lapar tidak?" "Tentu saja
lapar. Tapi aku tak bisa bergerak, karena itu biarlah nasib memikirkan
daku." Gadis itu tercengang sebentar. Mendadak saja ia tertawa berkikikan.
Kemudian men-geluarkan sebuah mangga muda dari dalam dadanya. "Mari kita
bagi," katanya. Terus saja ia menggerogoti seperempat bagian, sisanya
diangsurkan kepada Sangaji. Dalam keadaan wajar, pastilah Sangaji akan
menolak pemberian demikian. Tapi hatinya tertarik pada sepak terjang gadis
itu dan cara berpikirnya yang lucu dan tak ter-duga-duga. Kecuali itu,
memang perutnya terasa lapar. Meskipun ia masih bisa berta-han dua tiga
hari lagi, namun hatinya tak sampai menolak pemberian gadis itu yang
terbersit dari hati yang bersih dan sederhana. Maka dengan setengah
berbisik, ia berkata memaklumi. "Terima kasih. Tapi aku tak dapat
bergerak." "Ih! Kau begini manja," mendadak gadis itu melototi. "Masakan
aku harus meladeni. Ini... ambil!" Setelah berkata demikian, mangga itu
ke-mudian disambit mengarah perut. Sangaji tak dapat bergerak, sehingga ia
hanya menutup mata. "Trang!" Mangga itu mengenai pusaka Bende Mata-ram yang
tadi dikalungkan Bagas Wilatikta ke lehernya dan mangga itu hancur
berantakan berkeping-keping. Di sini ternyata, bahwa gadis itu mempunyai
tenaga sambitan kuat juga. "Hai! Untung kau mempunyai permintaan bagus!"
teriak gadis itu dengan nada tinggi. "Apakah kau ini seorang pengamen
(pemusik jalanan) keserakat?" Tadi, waktu gadis itu menyambitkan buah
mangga, hati Sangaji terkesiap. Dan begitu mendengar pertanyaannya, hatinya
yang mulia tak sampai hati mengecewakannya. Terus saja ia menjawab acuh tak
acuh: "Ya aku seorang keserakat." "Apakah nama benda itu?" "Sebuah bende.
Mengapa?" "Bagus! Bagus!" gadis itu mendadak jadi girang. "Apakah boleh aku
minta?" Terhadap bende itu, sebenarnya hati Sangaji tak begitu tertarik.
Dasar hatinya mulia, maka begitu mendengar permintaan gadis itu, lantas
menjawab, "Kalau kau senang, ambilan!" Bukan main girang gadis itu.
Wajahnya terus saja bersinar terang. Dengan tak ragu-ragu ia melangkah
hendak menghampiri. Mendadak saja selagi akan membungkuk-wajahnya berubah
lagi. Kemudian melompat mundur dan berkata, "Kau tak mau menerima
pemberianku. Apakah kau takut kuracuni?" Perubahan sikap itu mengejutkan
Sangaji. Mau tak mau ia jadi menaruh perhatian. Hati-hati ia menjawab,
"Bukankah engkau sudah memakannya sebagian? Terang sekali tiada niatmu
meracuni aku." "Bagus! Tetapi mengapa engkau percaya penuh, bahwa gigiku
tiada racunnya?" Bagi Sangaji yang berhati sederhana, perta-nyaan itu amat
menyulitkan. Mendadak ia ingat sesuatu, "Kalau gigimu benar-benar beracun,
mestinya kau akan berusaha memasukkan buah mangga tadi ke mulutku.
Sebaliknya engkau malah menyambitkan begitu keras." "Karena aku tahu, kau
takkan gam-pang-gampang sudi mengunyahnya. Itulah sebabnya, engkau akan
kutikam mati saja dengan sambitanku." Mendengar ujar gadis itu, Sangaji
terhenyak. Kemudian bertanya mencoba, "Apa sebab engkau akan membunuh
seseorang yang tiada sangkut pautnya dengan kepentinganmu?" "Masakan tak
tahu?" gadis itu terbelalak heran. "Kalau kau masih hidup, bukankah aku
wajib menolongmu? Di tengah lapangan ini, desa-desa begitu jauh. Aku harus
mendukungmu... atau aku harus mencari gerobak penarik. Bukankah aku jadi
berabe?" "Hm... Siapakah yang mengharapkan perto-longanmu? Sama sekali aku
tak mempunyai pikiran demikian." "Ha... Kalau begitu kau jahat. Seumpama
aku terluka di sini, pastilah engkau akan pergi dengan tak tahu menahu." Di
debat demikian, Sangaji jadi terbungkam. Pernyataan demikian sama sekali
tak didu-ganya. Tadi sewaktu mendengar bahwa gadis itu terang-terangan
hendak membunuhnya, hatinya terkejut dan agak menyesal. Karena itu,
jawabannya agak keras. Di luar dugaan, mendadak dia bisa mendamprat begitu
rupa. "Menolong sesama hidup jauh berlainan dengan bermaksud hendak
membunuh," ia mencoba menangkis. "Eh, kenapa kau begini tolol? Coba pikir!
Kau begini gede seperti siluman. Sebaliknya aku tak bertenaga. Lagi pula,
kulihat kau kem-pas-kempis begitu menderita. Daripada mati perlahan-lahan,
bukankah lebih baik mati cepat-cepat? Ih, kau begini tolol!" Kembali
Sangaji terhenyak untuk sekian kalinya. Pikirnya diam-diam! Aneh jalan
pi-kiran gadis ini. Seumpama seorang laki-laki, ia tergolong manusia macam
Bagas Wilatikta yang bisa berbuat di luar dugaan. "Hai tolol! Kenapa kau
tak menjawab?" Tegur gadis itu. Tiga kali Sangaji mendengar gadis itu
menyebutnya dengan istilah tolol. Dalam hidupnya beberapa orang
memanggilnya de-ngan si tolol. Tapi yang bebas dari rasa fitnah hanya dua.
Pertama, kedua gurunya dan Gagak Seta. Dan yang kedua Titisari. Teringat
akan Titisari hatinya jadi terharu. Ia merasa ditinggalkan semua yang
dicintai dan mencintai. Terus saja teringatlah dia kepada ibunya yang jauh
berada di daerah barat. Tak terasa, matanya jadi berkaca-kaca. "Hidiiih...
kau sudah sebesar kerbau, masih saja menangis seperti bayi?" Damprat gadis
itu dengan sengit. "Benar-benar engkau seorang tolol tak berguna." Lihat
pakaianmu begitu kotor tak terurus. Berkali-kali Sangaji semalam lontak
darah. Pakaiannya memang jadi berbentong-bentong penuh darah yang kini jadi
membeku. Kecuali itu, mukanya kotor oleh debu dan rambutnya terpangkas
separoh karena parang Bagas Wilatikta. "Perkara mangga itu nanti kucarikan.
Masakan kau tak tahan lapar barang seben-tar?" Gadis itu mendamprat lagi.
"Sama sekali aku tak memikir tentang itu. Aku hanya teringat kapada
seseorang." Sebenarnya gadis itu sudah memutar tubuh hendak pergi. Tatkala
mendengar ujar Sangaji, cepat ia berpaling. "Kau memikirkan siapa? Masakan
kau mempunyai kenalan?" "Aku terkenang kapada ibuku yang berada jauh di
rantau," jawab Sangaji yang tak pernah bisa berbohong. "Apakah ibumu sering
memberimu buah mangga?" Gadis itu tersenyum lebar. "Sudah tentu." Mendadak
saja gadis itu mengamuk. Dengan cekatan ia mencari sesuatu. Begitu melihat
tangkai pengail Randu Kintir yang ter-lempar di atas tanah, terus saja
menyam-barnya dan mengancam kepada Sangaji. "Bagus... kau samakan aku
dengan ibumu? Apakah umurku sama dengan ibumu? Kau begini kotor. Ibumu
pasti lebih kotor paling tidak, pipinya telah reot. Masakan aku begitu?"
Sangaji jadi gugup. Belum lagi ia bisa ber-buat sesuatu gadis itu telah
menggebuknya dua kali berturut-turut. "Kenapa kau memukul aku?" Ia minta
keterangan. Sebenarnya apabila mau meram-pas pengail itu, tidaklah susah.
Tapi semenjak tadi ia tertarik kepada lagak lagunya yang aneh. Pikirnya,
tak apalah dia menggebuk aku beberapa kali. Daripada tiada berteman,
lumayan juga bisa beromong-omong dengan dia... Karena itu, ia membiarkan
diri digebuk dua kali berturut-turut. Kemudian berkata lagi, "Ibuku tak
pernah memukul aku. Karena itu, engkau tak mirip dia." "Eh—apa kau bilang?
Aku tak pantas men-jadi seorang ibu? Kau sudah bosan hidup barangkali?"
Bentak gadis itu. Terus saja ia hendak menyabet kempungan Sangaji yang
luka. Keruan saja, Sangaji menjadi gugup. Kempungan itulah yang tadi malam
kena pukulan lawan-lawannya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar