11.17.2019

@bende mataram@ Bagian 280

@bende mataram@
Bagian 280


DALAM pada itu cekikan Bagas Wilatikta kian lama kian menjadi keras. Lubang
hawa benar-benar mulai tersumbat. Oleh rintangan ini, secara wajar tata
jasmani Sangaji terus saja berkutat dengan hebat. Meskipun sudah kehilangan
daya tahan, namun sebisa-bisanya berusaha menolak juga. Getah sakti
Dewadaru terus saja merembes keluar naik ke leher. Dan ilmu Bayu Sejati
yang mempunyai sifat bertahan, tanpa disadari sendiri ikut pula membersit
dari gua rahasianya. Oleh timbulnya Baju Sajati, getah sakti Dewadaru
lantas saja menggabungkan diri. Seperti diketahui, apabila getah sakti
Dewadaru tidak menemukan suatu pengerahan tenaga murni yang sifatnya
bertentangan, akan merupakan dasar tenaga raksasa. Pada saat itu, ilmu
sakti Kumayan Jati tak mempunyai bidang gerak. Maklumlah, Sangaji tak dapat
berdiri atau menggerakkan panca inder-anya. Karena itu, Baju Sejati bisa
bergerak tanpa menemukan saingan lagi. Seperti gelombang ia berputar-putar
ke seluruh urat nadi. Terutama sekitar batang leher yang kena himpit.
Diam-diam Bagas Wilatikta heran. Pikirnya, bocah ini terang-terang tiada
bertenaga lagi. Mengapa ia bisa bertahan begini? Oleh pikiran ini, ia jadi
penasaran. Terus saja ia mencekik kian hebat. Pada saat itu, Sangaji merasa
tersiksa benar-benar. Cekikan tangan Bagas Wilatikta sudah tak dirasakan
lagi. Tapi akibatnya cekikan itulah yang membuatnya sengsara, la tak dapat
bernapas lagi. Secara wajar ia berguling hendak merenggutkan diri. Karena
gerakan ini, ilmu sakti Kumayan Jati terus saja timbul tanpa dikehendaki
sendiri. Inilah hebat! Karena begitu ilmu sakti Kumayan Jati timbul, Bayu
Sejati segera menyerang. Sifat ilmu sakti Kumayan Jati memang aneh. Apabila
sekali timbul, pantang menyerah sebelum memperoleh keputusan yang
menentukan. Itulah sebabnya, Gagak Seta tetap tangguh sewaktu melawan Kebo
Bangah, meskipun sudah melampaui dua ribu jurus lebih. Tatkala kena pisah,
ia tetap menantang dan menantang seolah-olah tak pandai menguasai diri.
Juga kali ini, begitu kena serangan Bayu Sejati, lantas saja berputar
mengadakan per-lawanan. Seperti manusia-manusia yang mempunyai mata, ia
terus bergerak hendak merebut getah sakti Dewadaru merupakan pelabuhan
titik tolak penghimpunan tenaga. Ketika itu juga, darah Sangaji mendidih.
Tubuhnya sekonyong-konyong menjadi panas luar biasa. Hal itu bisa
dimengerti. Biasanya kedua ilmu itu timbul berbareng dalam bidang gerak
agak luas. Kini Sangaji sama sekali tak bergerak selain hanya
berguling-guling hendak merenggutkan diri. Karena itu mereka merasa seperti
terdesak dan terdorong-dorong ke pojok. Akhirnya kedua ilmu itu saling
melebur dan punah bentuk sifatnya. Inilah suatu kejadian di luar
perhitungan manusia. Tadinya Gagak Seta mengharap, Sangaji bisa melebur
kedua ilmu itu dengan melalui latihan atau oleh pertolongan tangan sakti
seperti Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati atau Kebo Bangah. Apabila
kedua ilmu itu bisa lebur menjadi satu, hebatnya tak terkatakan lagi.
Karena si pemilik bisa bergerak menurut kemauannya sendiri tanpa sesuatu
rintangan. Kini, di luar dugaan siapa saja, mendadak kedua ilmu itu lebur
menjadi satu oleh karena suatu cekikan kuat luar biasa. Bersatunya ilmu
Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati itu hebat akibatnya. Tiba-tiba, Sangaji
merasa pusatnya kena raba hawa di-ngin dan agak hangat-hangat yang nyaman
luar biasa. Hawa dingin dan agak hangat-hangat itu, terus merembes menyusur
seluruh urat nadinya. Sama sekali tiada rintangan. Suatu tanda bahwa jalan
darahnya kena tertembus. Seperti ular naga, kedua ilmu sakti itu terus
berputar-putar dengan dorongan getah sakti Dewadaru. Makin lama makin
cepat. Karena tenaga jasmani tiada lagi mereka mencari kor-ban lain.
Akhirnya diketemukan. Yakni, sari-sari madu lebah Tunjungbiru. Peristiwa
ini berlangsung sangat cepat. Madu Tunjungbiru yang dahulu hanya dikabarkan
sebagai penambah kesehatan belaka dan memanjangkan umur, mendadak di luar
dugaan manusia pula merupakan suatu unsur peleburan dan penggabungan tiada
ban-dingnya di jagat ini. Seketika itu juga, dalam diri Sangaji tiada lagi
getah sakti Dewadaru, ilmu sakti Bayu Sejati, ilmu sakti Kumayan Jati dan
madu Tunjungbiru yang berdiri masing-masing seperti maharaja dengan
pemerintah otonomnya. Tetapi sudah bersatu menjadi satu, merupakan suatu
pengucapan rasa dan angan manusia untuk bergerak. Seketika itu juga,
Sangaji merasa aneh. Mendadak saja ia merasa di dalam tubuhnya seolah-olah
ada segumpal daging yang terus berputar-putar melarutkan gumpalan-gum-palan
lainnya. Putaran itu makin lama makin cepat. Rasanya nyaman luar biasa dan
me-legakan ruang dada dan rongga perut. Dalam pada itu, cekikan Bagas
Wilatikta makin tajam. Kedua telapak tangannya seolah-olah sudah saling
memimit, tinggal tersekat suatu lapisan tipis. Sekonyong-ko-nyong ia
terpental jungkir balik ke angkasa dengan menjerit tinggi. Tahu-tahu dengan
kepala menukik ke bawah, tubuhnya amblas terbenam dalam tanah. Bisa
dibayangkan betapa hebat tenaga yang melontarkan itu. Dan tenaga pelontar
itu tidak lain adalah tenaga bersatunya ilmu sakti Bayu Sejati— Kumayan
Jati dan sari-sari madu Tunjungbiru. Terlepasnya Sangaji dari suatu cekikan
luar biasa itu, membingungkan dirinya. Sebab napas yang sudah tersekap
sekian lama, sekonyong-konyong terlonggar. Dan seperti air bergolak yang
kena bendung. Terus saja membanjir salang tunjang karena bendungan ambrol
dengan tiba-tiba. Sudah barang tentu jantung Sangaji berdegup sangat keras.
Dan napasnya jadi tersengal-sengal. Apalagi, dalam dirinya terjadi suatu
perputaran cepat yang tak dimengerti sendiri. Apabila lambat laun sudah
bisa menguasai diri, ia merasa seperti bermimpi. Benarkah dia lepas dari
cekikan Bagas Wilatikta? Waktu itu bulan mulai suram kembali.
Perlahan-lahan ia mulai menghilang di balik awan yang datang berarak-arak.
Suasana udara kini terasa dingin meresapi tulang belulang. Hawa mulai
mengabarkan waktu fajar. Karena itu, penglihatan jadi terhalang. Apalagi
keadaan tubuh Sangaji belum pulih seperti sedia kala. Meskipun kini sudah
memiliki tenaga sakti yang tiada bandingnya dalam jagad raya, tapi ia masih
menderita luka dalam tiada enteng. Ia belum bisa bergerak. Karena itu tak
dapat menggunakan panca-indra seleluasa-Ieluasa-nya. Satu-satunya gerak
yang bisa dilakukan hanya mengembarakan gundu matanya. Samar-samar ia
melihat mayat-mayat kesepuluh lawannya berserakan di seberang menyeberang.
Larut malam itu sunyi luar biasa, sehingga terasa menjadi seram. Sangaji
bukanlah seorang pemuda yang penakut. Namun selama hidupnya, baru kali ini
ia berada di tengah-tengah malam sunyi seorang diri ditemani beberapa mayat
yang rusak jasmaninya. Mau tak mau, keadaan itu mempengaruhi dirinya juga.
Meskipun demi-kian, hatinya lega juga menyaksikan semua lawannya rubuh tak
berkutik. Hanya terhadap 'Wilatikta hatinya masih bersangsi. Orang itu
terlalu licin baginya. Gerak-geriknya sukar diraba, ia khawatir
jungkir-baliknya ke udara dan kemudian kepalanya tertancap di dalam tanah
hanya suatu tipu belaka untuk suatu maksud yang lebih keji lagi. Itulah
sebabnya, walaupun ia menderita hebat tak berani ia memicingkan mata.
Perlahan-lahan fajar mulai menyingsing. Dan tak lama kemudian, hari menjadi
terang tanah. Wilatikta masih saja tak berkutik. Separuh tubuhnya
benar-benar tertancap ke dalam tanah. "Eh, apakah dia benar-benar terpental
oleh tenagaku? Sangaji mulai menduga-duga keras. Walaupun menderita luka
hebat, namun pi-kirannya masih tetap jernih. Dan oleh dugaan itu, ia ingin
menyelidiki. Segera ia menahan napas dan mencoba mengerahkan tenaga
jas-maninya. Dan belum lagi ia mengerahkan te-naga jasmani, mendadak saja
tubuhnya ter-guncang-guncang karena darahnya berjalan sangat cepat dan
berputar-putar dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunnya. Hal itu terjadi
karena napasnya tertahan dengan tiba-tiba. "Hai! Kenapa jadi begini?" Ia
heran sampai terlongong-longong sendiri. Dan suatu hawa yang nyaman luar
biasa terasa meresapi selu-ruh urat nadinya. Diam ia jadi bergembira, ia
mencoba menahan napas dan menahan napas sampai berulang kaK. £>an setiap
kali menahan napas, dalam dirinya terasa seperti ada gumpalan daging lari
berputaran dan seakan-akan hendak menjebol kulit dagingnya. "Hai! Benarkah
aku sudah berhasil?" Ia me-nyelidiki diri sendiri. Semenjak mendengar
ajaran Gagak Seta bahwasanya ia akan memi-liki tenaga sakti tak terlawan
apabila berhasil melebur tenaga sakti Kumayan Jati-Bayu Sejati dan getah
Dewadaru, selalu ia berusaha mencari titik persesuaian. Tak bosan-bosan ia
senantiasa mencoba-coba dengan diam-diam. Malahan pernah jatuh pingsan
pula. Dan sela-ma itu tiada tanda-tanda akan berhasil. Kini tanpa
disangka-sangka ia memperolehnya de-ngan mudah sekali di luar dugaan
siapapun juga. Siapa mengira, bahwa tiga unsur tenaga sakti itu bisa saling
melebur lewat cekikan napas? Seumpama Gagak Seta atau Kyai Kasan Kesambi
mengetahui tentang hal itu, belum tentu mereka bisa menolong pula. Karena
cekikan mereka akan dianggap sebagai jasa-jasa baik belaka, sehingga tiada
mengadakan perlawanan naluriah. Sebaliknya terhadap cekikan Bagas Wilatikta
kejadiannya sangat berlainan. Ia merasa terancam hebat. Terus saja naluri
hidupnya berontak dan mengadakan perlawanan sedapat-dapatnya. Himpunan
tenaga sakti yang dimiliki Sangaji, sekarang sepuluh kali lipat besarnya
daripada yang dimiliki Gagak Seta, Adipati Surengpati, Kyai Kasan Kesambi
dan Kebo Bangah. Dalam sejarah, baru kali itulah terjadi. Itulah sebabnya,
di kemudian hari akan mengejutkan para pendekar sakti yang mengira dirinya
menjadi puncak-puncak kodrat manusia pada zamannya. Di sini ternyata, bahwa
semua peristiwa pelik-pelik di dunia segalanya tergantung pada nasib.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar