@bende mataram@
Bagian 279
Pada saat itu, terus saja ia melesat menghampiri gerumbul dan mem-bawa dua
benda dalam pelukannya. Itulah pusaka sakti Bende Mataram dan keris Kyai
Tunggulmanik. Kini tidak hanya Citrasoma yang jadi gelisah. Randukintir,
Panji Pangalasan dan Baruna terkejut sampai memekik. "Kau mau bilang apa
sekarang?" desak Bagas Wilatikta menang. Sebenarnya Citrasoma sudah tak
dapat berbicara lagi. Tapi seperti biasanya seseorang yang sudah berputus
asa menghadapi maut Umbulah keberaniannya. Lantas berkata, "Bagas
Wilatikta! Dalam hal mengadu akal dan siasat, benar-benar kau hebat.
Barulah aku sadar, bahwa aku kena jebakanmu." Dengan tertawa mendongak,
Bagas Wila-tikta menjawab, "Inilah upah jasamu. Tukang jebak kena jebak.
Baiklah, supaya tak ber-larut-larut, biarlah kau mendahului pulang menyusul
rekanmu. Salahmu sendiri, menga-pa membantah kemauanku." Sehabis berkata
begitu dengan sekali ayun ia menghancurkan kepala Citrasoma. Ke-mudian
berputar menghadap Sangaji. "Terhadap orang demikian, tak perlu lagi
bersikap memaafkan. Coba pikir! Dengan kelicinannya ia berpura-pura menjadi
tukang penjual kedai makanan setelah membunuh pemiliknya. Kemudian menjebak
gurumu." "Itulah akalmu. Kita cuma jadi pelaksana." Tiba-tiba Randukintir
berkaok-kaok. "Tutup mulutmu!" bentak Bagas Wilatikta. Lalu dengan sekali
sambar ia menendang Randukintir jungkir balik. Betapa hebat tena-ga Bagas
Wilatikta tak usah digambarkan lagi. Randukintir sekaligus melontakkan
darah segar dari mulut, hidung dan kedua matanya. Seperti tak pernah
terjadi sesuatu, Bagas Wilatikta meneruskan berkata, "Kemudian gurumu
dijebak oleh sikap keningrat-ningratan Panji Pangalasan. Itulah dia! Dengan
kelicinannya ia bisa memikat gurumu, sehingga percaya kepada semua
keterangannya. Tapi, janganlah takut. Akulah yang menyumbat mulutnya kini."
Terus saja ia meninju dada Panji Pangalasan, lalu menginjak batang lehernya
sampai tewas. Setelah itu dengan cepat ia membunuh Baruna dan keempat
penunggang kuda. "Puaskah kau kini?" katanya kemudian kepada Sangaji.
"Semua penganiaya gurumu sudah kuba-Jaskan. Kudengar tadi kau mengharapkan
obat pemunah racuriyang mengerartL dalam tubuh gurumu. Baiklah kuambilkan.
Bagas Wilatikta menggerayangi saku Malangyuda dan mengeluarkan sebotol obat
luar dan sebuah bungkusan. Lalu berkata, "Inilah obat penyembuh tulang
belulang gurumu. Dan ini pemunah racun. Simpanlah!" Tetapi bisakah Sangaji
menerima pemberian orang dengan begitu saja. Karena tak pandai berbicara,
ia hanya menentang pandang dengan berapi-api. "Mengapa? Kau tak sudi?"
Dalam otak Sangaji berkelebat beberapa kesan dahsyat. Ia mengakui, Bagas
Wilatikta memiliki ilmu kepandaian jauh lebih unggul daripadanya. Tetapi
melihat kekejamannya tak diketahuinya sendiri meremanglah bulu romanya.
Meskipun demikian, kalau ditim-bang ia membantu membalaskan dendam gurunya.
Apakah ia harus merasa berterima kasih? Mendadak saja terletuslah
perkataan-nya, "Aku bukan sanakmu, bukan pula saha-batmu. Kau membunuh
adalah untuk ke-pentinganmu sendiri. Apa sebab menggu-nakan dalih
membalaskan dendam guruku?" Bagas Wilatikta tertegun sejenak. Kemudian
tertawa tergelak-gelak. "Ih! Ini lagi! Ini lagi! Mulutmu tajam seperti
adikku, Bagas Tilam. Baiklah... memang aku bekerja untuk kepentinganku
sendiri. Setelah mereka berhasil membawa kedua pusaka itu, kukira akan
tunduk kepada kehendakku. Di luar dugaan mereka mau membawa ke-mauannya
sendiri. Melawan seorang demi seorang, bukanlah pekerjaan sulit. Tetapi
apabila menghadapi berbareng, nanti dahulu. Maka kubuatlah dongeng,
seolah-olah engkau adalah pewaris kedua pusaka yang sah. Kukabarkan pula,
bahwa paman-pamanmu pasti turun gunung hendak membalas den-dam. (Jntuk ini
aku harus membuktikan. Kau sendiri melihat, siang tadi aku berhasil
mem-bawa kedua pamanmu lewat di hadapan hidung mereka. Kemudian kuwartakan
tentang keberadaanmu. Demikianlah... mereka menjebakmu. Lantas... lantas...
haha... akhirnya aku bisa memukul mereka dengan sekaligus," ia berhenti
menikmati kemenang-annya. Kemudian berkata lagi, "Hai bocah kau benar
hebat! Ilmu kepandaianmu di luar dugaanku..." Setelah berkata demikian
dengan sebat ia memasukkan kedua obat pemunah ke dalam kantong Sangaji.
Ingin Sangaji melawan tapi tenaga Sangaji tak mengizinkan. Kesehatan Bagas
Wilatikta tak dapat ditandingi sisa tenaganya. Dalam terkejutnya, ia hanya
tegak dengan pandang mata terlongong-longong. Mendadak saja di luar dugaan
Bagas Wilatikta menggeram dan berdiri tegak di depannya. Lantas berkata
nyaring, "Kau sudah menerima obat pemunah. Kau sudah menyaksikan, betapa
aku membalaskan dendam gurumu. Dengan begitu kau bebas dari kewajiban
menuntut dendam gurumu. Akupun tidak berhutang lagi. Semuanya sudah kubayar
lunas. Kini tinggal aku dan engkau. Lihat! Aku kembalikan kedua pusaka ini
kepadamu." Setelah berkata demikian dengan sebat pula ia mengalungkan
pusaka Bende Mataram ke leher Sangaji. Sedang keris Kyai Tunggul-manik
diselipkan ke pinggangnya. Bukan main sakit hati Sangaji diperlakukan
demikian. Ia merasa diri seperti segenggam tembakau terpilin-pilin demikian
rupa. Mau melawan, tenaganya seperti punah. Sebaliknya melihat sepak
terjang dan cara tertawa Bagas Wilatikta, ia sudah bisa menebak sebagian.
Orang itu amat licik dan bisa berbuat di luar dugaan. "Apa maksudmu ini!
Kedua pusaka ini bukan milikmu. Kau boleh memiliki," ia men-coba berkata
sebisa-bisanya. "Nanti dahulu, dengarkan!" sahut Bagas Wilatikta dengan
tertawa melalui dada. "Dalam dunia ini tinggal aku dan engkau saja yang
pernah melihat, meraba dan bersentuhan dengan bentuk dan wujudnya pusaka
Bende Mataram." "Salah!" bantah Sangaji yang berwatak polos dan jujur.
"Paman Wayan Suage, guruku Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan pernah
melihat dan menyentuhnya." Bagas Wilatikta tertegun sebentar. "Baiklah.
Anggaplah mereka tak pernah ada. Kukira, mereka tak lagi ikut campur.
Bukankah begitu? Nah, aku ini laki-laki dan engkau laki-laki pula. Dan aku
tak biasa membagi rejeki. Akupun tak senang apabila di kemudian hari
kemuliaan yang bakal kuper-oleh sampai dibicarakan orang. Karena itu,
marilah kita mencari penyelesaian. Hei, dengarkan dulu! Aku tahu, engkau
kini luka parah. Itulah sebabnya, tak dapat aku memaksa engkau berkelahi
dengan berdiri. Menurut hematku begini saja. Aku akan mencekik lehermu.
Cobalah pertahankan. Kalau engkau bisa membalas mencekik leherku pula,
biarlah kita mati berbareng... Bagaimana?" Menyaksikan tingkah laku Bagas
Wilatikta, Sangaji sudah bisa menduga bahwa orang itu bisa berbuat di luar
dugaan. Meskipun demikian keputusan Bagas Wilatikta hendak mencekik
lehernya benar-benar mengejutkan, mendongkolkan hati dan membuatnya
bergusar. Ia mengakui, ilmu kepandaian Bagas Wilatikta berada di atasnya,
namun seumpama dia dalam keadaan segar bugar belum tentu tak dapat
menandingi. Baik ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu ciptaan Kyai Kasan
Kesambi bukanlah ilmu murahan. Pendekar sakti Adipati Surengpati dan Kebo
Bangah sendiri terkejut dibuatnya. Tapi kini, tenaganya seperti punah.
Seumpama ia memiliki ilmu setinggi langit tiada gunanya juga. Tatkala itu
Bagas Wilatikta sudah memper-dengarkan suara tertawanya. Ingatlah Sangaji,
bahwa itulah suatu tanda akan mulai bekerja. Sebagai seorang kesatria ia
tak dapat hanya menyerah kepada nasib. Bukan ia takut menghadapi maut
tetapi perlawanan itu mempunyai arti sendiri. Seekor cacingpun akan melawan
sebisa-bisanya apabila menghadapi maut sebagai suatu pernyataan
mempertahankan nyawanya. Begitulah dengan sekuat tenaga ia mengerahkan sisa
hawa murninya kemudian mengayunkan tangan hendak melepaskan suatu pukulan.
Mendadak saja suatu hawa berdesir bergulungan merembes ke seluruh tubuhnya.
Itulah getah sakti Dewadaru yang jadi terkejut karena suatu pengerahan
tenaga. Seperti nasehat Gagak Seta, Sangaji dianjurkan jangan sampai
menggunakan ilmu gabungan dengan berbareng. Karena begitu ilmu gabungan
menghilang, getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap akan
berganti menggerumuti tenaga jasmaninya. Demikian pulalah kali ini. Oleh
suatu pengerahan tenaga getah sakti Dewadaru me-loncat ke luar. Celakanya,
Sangaji tiada memiliki tenaga ilmu sakti Kumayan Jati dan Bayu Sejati lagi
karena luka dalam. Dengan sendirinya getah sakti Dewadaru mencari sasaran
hisapan. Yang menjadi korban adalah tenaga asli jasmaniah. Itulah sebabnya
dalam sekejap saja, kedua lengan Sangaji menjadi lumpuh. Kini seluruh
tenaganya habis terkuras jangan lagi menghadapi Bagas Wilatikta. Melawan
seorang kanak-kanak yang baru pandai beringus, tak kuasa lagi ia berkutik.
"Bagaimana?" Bagas Wilatikta menegas. "Apakah kau rasa aku kurang adil?
Lihat!" Dengan sekali gerak, Bagas Wilatikta men-cabut senjatanya berupa
sebatang parang berbentuk seperti arit. Oleh sinar bulan, sisinya
memantulkan suatu cahaya kemilau suatu tanda betapa tajamnya. Sebagai
seorang yang berilmu tinggi, pasti-lah dia mengetahui bahwa Sangaji tiada
bertenaga lagi. Tapi ia berlagak pilon6) dan berlaku seperti seorang tuan
tanah hendak memperlihatkan keadilannya. Kemudian dengan sekali melompat ia
lari memutari mayat Randukintir, Malangyuda dan Panji Pengalasan. Tangannya
memangkas dan tahu-tahu ketiga gundul mayat itu sudah tergunduli polos.
Melihat pertunjukan itu dalam hati Sangaji kagum. Pikirnya, benarlah kata
guru Jaga Saradenta, bahwa di luar gunung masih ada gunung. Di luar langit
masih ada langit. Memangkas rambut dengan berlari-larian kencang, bukanlah
suatu perbuatan mudah. Apalagi di tengah malam hari. Namun tangan-nya
seperti mempunyai mata saja. Hebat! Sungguh-sungguh hebat! Ia menghela
napas karena teringat ilmunya sendiri yang belum diolah masak. Bahkan kini
akan menghadapi kepunahan untuk selama-lamanya. Selagi ia berpikir
demikian, sekonyong-konyong Bagas Wilatikta sudah berdiri di hadapannya.
Berkata minta pengakuan, "Bagus tidak?" Sangaji tak menjawab. "Apakah kau
kira palsu?" katanya lagi menekankan. Kemudian dengan sekali gerak, rambut
Sangaji kena terpangkas kedua sisinya. Gerakannya cepat luar biasa.
Tahu-tahu, rambutnya seperti terpotong rapih. Sehabis memotong rambut,
Bagas Wilatikta tertawa terbahak-bahak sambil memasukkan senjatanya ke
dalam sarungnya. "Puluhan bahkan ratusan nyawa sudah pa-rangku ini
menghisap darahnya. Biasanya, apabila sekali sudah kutarik dari sarungnya
harus mengambil nyawa. Tapi kali ini tidak. Nah, bukankah sudah cukup
bidang dadaku ini?" Sangaji tahu, apa yang dikatakan Bagas Wilatikta bukan
suatu obrolan belaka.
Tapi ia memilih sikap diam sambil mengharap-harap terhimpunnya tenaga
kembali. "Baiklah. Aku sudah berkata," kata Bagas Wilatikta memutuskan.
"Kalau aku sampai bisa merampas kedua pusaka Bende Mataram kembali,
hendaklah engkau menyerahkan dengan ikhlas. Kau tak perlu jadi setan untuk
mengejar-ejar aku. Kau tahu sendiri, nilai kedua pusaka ini bukan main
besarnya. Doakan semoga aku dapat memiliki kedua pusaka itu untuk
selama-lamanya"-- Ia mendongak ke udara dan tertawa sepuas-puasnya. Dalam
malam sunyi kesan-nya menyeramkan hati. Mendadak saja, ia terus membungkuk
dan menyambar batang leher Sangaji. "Pertahankan! Pertahankan! Aku akan
mengantarkan pulangmu dengan perlahan-lahan. Masakan aku perlu
tergesa-gesa?" jeritnya kegirangan penuh semangat Benar-benar Sangaji
bergusar dan terkejut, meskipun hal itu sudah dapat diduganya. Oleh kodrat
alam, secara wajar tata jasmaninya terus berusaha mempertahankan diri.
Kedua lengannya diangkat dan bermaksud membalas dengan menyekik. Lagi-lagi
ia merasa tenaganya tiada. Dalam kesibukannya ia mencoba merenggutkan diri.
Juga kali ini, usahanya sia-sia belaka. Maka akhirnya ia sadar.
Satu-satunya jalan hanyalah menunggu saat ajalnya. Benar-benar aku harus
mati, pikirnya dalam hati. Biarlah aku mati secara ksatria. Keinginan mati
secara ksatria itu, mendadak saja timbul begitu hebat dalam dirinya. Namun
tak tahulah dia, bagaimana cara mati sebagai ksatria. Hendak melawan, tiada
bertenaga. Sebaliknya apabila menyerah belaka alangkah hina... ***
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar