11.11.2019

@bende mataram@ Bagian 266

@bende mataram@
Bagian 266


Mustahil dia bisa menekuni ilmu sakti Witaradya sehingga mampu menciptakan
ilmu pemunahnya. Aku sendiri sudah menekuni semenjak dua puluh tahun yang
lalu. Selama itu belum pernah aku menemukan saingannya. Masakan bocah ini
mempunyai kemampuan melebihi aku? pikir Adipati Surengpati sibuk.


Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, matanya terus mengamat-amati gerak-gerik
Sangaji. Tatkala mengerling kepada Kebo Bangah, ia melihat pendekar itu
mengerutkan keningnya. Parasnya berubah hebat seperti serang yang kena
terbuka rahasia hidupnya.


"Ah!" Kebo Bandotan itu terkejut pula. Apakah ilmu simpanan kena terbongkar
juga? Adipati Surengpati heran. Dalam hatinya dia mengakui adanya suatu
keajaiban. Teringat bahwa Sangaji adalah salah seorang pelamar puterinya,
hatinya jadi girang. Mendadak saja teringatlah dia kepada Raden Ayu
Herdiningsih, ibu Titisari yang telah lama meninggal dunia. Tak terasa air
matanya berlinangan dan mulutnya berkomat-kamit.


"Diajeng! Syukurlah, engkau ikut pula membuka mataku dari sana. Kalau
tidak, aku bisa keliru memilih bakal menantumu. Dengan melihat cara dia
menirukan ilmu sakti Witaradya pusaka leluhurmu, aku jadi teringat kembali
kepada bagian kitab yang tercuri. Nah, tenang-tenanglah di alam sana. Aku
akan mempersembahkan kitabmu kembali dengan utuh kepadamu..."


Baik Kebo Bangah, Gagak Seta, sang Dewaresi maupun Titisari, heran melihat
Adipati Surengpati berdiri terlongong-longong. Apalagi mereka melihat pula
air mata Adipati Surengpati berlinangan.


Semenjak dahulu, mengeluarkan butiran air mata merupakan suatu pantangan
besar bagi seorang ksatria. Sebab air mata adalah air hidup. Barangsiapa
mengeluarkan air mata samalah halnya dengan membunuh diri. Karena itu
diperibahasakan, bahwa air mata seorang ksatria apabila runtuh ke bumi
membuat bumi itu sangar. Dan apabila mengenai daging akan membuat retak
tulang belulangnya.


Tapi sebenarnya Adipati Surengpati hanya sebentar saja dalam keadaan
demikian. Cepat sekali ia telah menemukan dirinya sendiri. Mendadak saja ia
mengibaskan tangannya dan terus membentak Sangaji dengan suara mengguntur.


"Apakah bagian kitab Witaradya yang dahulu tercuri oleh Pringgasakti berada
dalam ta-nganmu?"


Sangaji terkejut. Hatinya jadi ciut. Agak ter-getar menjawab, "Ki... ki...
kitab? Sama sekali aku tak pernah berhubungan dengan Pringgasakti. Benar
aku pernah bertempur dengan dia, tapi perkara kitab itu... darimana aku
tahu, jika aku tahu, pastilah akan kukem-balikan kepada Gusti Adipati..."


Adipati Surengpati merenungi Sangaji dengan tajam. Melihat kesan muka
pemuda itu, hatinya yakin akan kejujurannya. Karena itu ia percaya, bahwa
almarhum istrinya yang membuka penglihatannya dari alam sana. Ia kini
percaya, bahwa Sangaji bukanlah pemuda sembarangan. Maka dengan penuh hati,
ia menyiratkan pandang kepada Kebo Bangah dan Gagak Seta. Kemudian berkata
memutuskan, "Baiklah saudara Gagak Seta dan Kebo Bangah! Dialah menantu
pilihanku. Dengan ini ku umumkan, bahwa Titisari akan kujodohkan dengan
dia. Sangaji! Semenjak kini engkau harus memperlakukan bakal istrimu dengan
baik-baik. Titisari seorang gadis manja. Karena itu, engkau harus bersedia
mengalah tiga bagian...!


Mendengar keputusan Adipati Surengpati, Titisari girang tak terlukiskan
lagi. Lantas saja ia tertawa riang. Pandang matanya berseri-seri dan
kemudian berkata nyaring kepada ayahnya. "Ayah! Bukankah aku anakmu yang
baik dan selalu patuh padamu? Siapa bilang aku biasa


kaumanjakan?"


Sangaji meskipun kerapkali menjadi tolol menghadapi sesuatu yang baru untuk
pertama kali dilihatnya, tetapi kali ini tidaklah demikian. Tanpa menunggu
isyarat dari Titisari terus saja bersembah tiga kali kepada Adipati
Surengpati. Kemudian menyebutnya dengan Kanjeng Romo. Itulah suatu tanda,
bahwa kini dirinya sudah menjadi calon menantunya yang sah. Tetapi
tiba-tiba terdengar suatu bentakan, "Hai! Tunggu dulu!"


Semua yang hadir menoleh. Ternyata yang membentak adalah Kebo Bangah.
Semenjak melihat Sangaji mempertontonkan ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi
yang merupakan ilmu pemunah jurus-jurus Witaradya dan Kalalodra, hatinya
gelisah tak terperikan. Sekaligus timbulah rasa curiganya terhadap pemuda
itu. Pikirnya, tidaklah mungkin Sangaji bisa memperoleh ilmu pemunah
demikian apabila belum mengenal ilmu simpanannya jauh sebelumnya. Maka mau
ia menuduh, bahwa Sangaji telah mencuri atau mengutip ilmu kebanggaannya.


Gagak Seta kala itu sedang tenggelam dalam arus kegirangan. Sama sekali tak
diduganya, bahwa muridnya mempunyai ilmu simpanan begitu tinggi hingga
merupakan ilmu pemunah Witaradya dan Kala Lodra. Saking herannya, mulutnya
sampai melongoh ternganga-nganga. Tapi begitu mendengar suara Kebo Bangah,
sekaligus terbangunlah rasa sadarnya. Terus saja membentak, "Hai! Kebo
Bandotan! Apakah kau belum mau menyerah?"


Kebo Bangah tertawa tergelak-gelak.


"Apa yang diperlihatkan anak muda itu, terlalu banyak dan jauh lebih
lengkap daripada yang dipertontonkan saudara Surengpati. Aku yakin, bahwa
semenjak lama dia sudah mengantongi kitab-kitab Witaradya dan Kala Lodra.
Setidak-tidaknya kutipannya. Jika benar demikian, inilah melanggar hak
angger-angger. Karena itu, ingin aku memberanikan diri hendak menggeledah
tubuhnya."


"Hm, hm! Saudara Surengpati telah selesai memilih jodoh puterinya. Nah, apa
perlu engkau rewel seperti perempuan bawel?" sahut Gagak Seta. Tetapi di
dalam hatinya, ia agak percaya juga bahwa Sangaji pasti telah mengetahui
kedua ilmu sakti itu semenjak lama. Kalau tidak, masakan bisa menirukan
jauh lebih lengkap dari pemiliknya sendiri.


"Cuh! Aku Kebo Bangah, masakan bisa diakali monyet itu? Biarkan aku
menggeledah tubuhnya!" Kata Kebo Bangah memutuskan. Pada saat itu derun
hatinya mulai berbicara pula. la berjanji pada dirinya sendiri, hendak
merampas kitab-kitab yang dituduhkan. Tentang pelamaran Titisari dan tetek
bengeknya sudah lenyap dari ruang otaknya.


Sangaji mendongkol dituduh demikian. Tanpa menunggu Kebo Bangah, dengan
serta merta ia melepas ikat pinggangnya sambil berkata menantang.


"Paman Kebo Bangah, silakan menggeledah diriku!"


Semua sakunya dibalik dan mengeluarkan isinya di atas batu. Ternyata isinya
hanya mata uang dan beberapa benda lumrah. Tetapi betapa sudi Kebo Bangah
menyerah oleh kenyataan itu. Tangannya segera menjangkau pemuda itu.


Adipati Surengpati kenal baik kelicikkan, kelicinan dan kebengisan Kebo
Bangah. Di waktu menaruh juga seringkah bisa menurun-kan tangan jahat. Dan
apabila pendekar itu sudah menurunkan tangan, barangkali tiada lagi dewa
yang sanggup mencegahnya lagi. Karena itu, sebelum terlanjur ia harus
mengambil tindakan untuk mengimbangi. Maka dengan berbatuk-batuk kecil
tangan kirinya segera diletakkan di atas tulang punggung sang Dewaresi.
Semua orang kenal betapa penting tulang punggung itu bagi bagian manusia.
Sekali kena diremukkan, tanpa ampun lagi akan terpecatlah nyawanya.


Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, Kebo Bangah kenal bahaya.
Adipati Surengpati tak boleh diajak bergurau. Memang dalam hati kecilnya,
ia bermaksud hendak menyerang perut Sangaji dengan ilmu sakti Kala Lodra
selagi menggeledah tubuh. Tetapi




begitu melihat Adipati Surengpati mengancam pula kemenakannya, mau tak mau
ia harus menyabarkan diri. la menggeledah tubuh Sangaji dengan wajar.
Ternyata tiada lain kecuali kulit dan daging belaka. Heran dia, sampai ia
berdiri tegak beberapa saat lamanya, la tak percaya dalam dunia ini masih
saja berlaku suatu keajaiban yang terlepas dari nalar manusia. Masakan
pemuda itu sudah mengenal ilmu sakti Witaradya dan Kala Lodra semenjak
dalam perut ibunya?


"Hm...," dengusnya. "Anak tolol ini memang tak berdusta. Tapi aku akan
memaksa dia agar berbicara ..."


Ia mundur memungut tongkat saktinya. Kemudian diketukkan di tanah. Mendadak
saja terdengarlah bunyi berdesis. Di udara lantas saja terlihat beberapa
jarum emas berkeredepan.


Sangaji terkejut sampai mundur dua langkah. Titisari pun ikut pula
terjengkang ke belakang. Mereka berdua sadar, bahwa Kebo Bangah sedang
mengambil jalan lain untuk membuktikan tuduhannya.


"Sangaji!" bentak Kebo Bangah dengan tajam. "Darimana engkau memperoleh
ilmu Jala Karawelang itu? Bilang terus terang, sebelum aku memaksamu!"


Jala Karawelang sebenarnya adalah nama pusaka. Di samping keris
Tunggulmanik dan Bende Mataram. Menurut cerita, pusaka Jala Karawelang
dahulu merupakan alat paling ampuh untuk menangkap lawan. Jangan lagi
terhadap manusia. Meskipun jin dan dewa takkan dapat meloloskan diri. Konon
diceritakan pula, di negeri Loano dahulu pernah timbul suatu kekacauan.
Seorang pangeran bernama Jayakusuma mencuri isteri Pangeran Anden Loano
putra Batara Loano. Maka timbullah suatu pertempuran. Pangeran Jayakusuma
begitu sakti dan perwira, sehingga tak terlawan lagi. Akhirnya Pangeran
Semono tampil ke muka dan mengutus patih Lawa ljo untuk menangkap maling
sakti tersebut. Dengan dibekali tiga senjata yakni, keris Tunggulmanik,
Bende Mataram dan Jala Karawelang, Patih Lawa ljo berhasil menangkap
Pangeran Jayakusuma, dan semenjak itu ter-masyurlah kekeramatan ketiga
pusaka tersebut. Dua tiga ratus tahun kemudian, seorang sakti bernama
Prabusana mencipta suatu ilmu pemunah untuk melawan semua kejahatan.
Orang-orang menyebut ilmu pemunah sarwa jahat itu dengan istilah Jala
Karawelang. Begitulah ilmu pemunah sarwa jahat turun-temurun itu diwarisi
angkatan mendatang. Tetapi sesungguhnya, ilmu pemunah sarwa jahat pada
zaman sesudahnya bukanlah ilmu ciptaan Prabusana. Hanya karena sifatnya
bertujuan membendung segala pekerti jahat, maka istilah Jala Karawelang itu
masih saja dikenakan.


Mendengar tuduhan Kebo Bangah, Adipati Surengpati terus saja bertindak
dengan cepat. Ia tahu, kali ini Kebo Bangah tiada main-main. Di balik
tuduhannya, mengandung pula suatu tantangan menentukan. Terang-terangan ia
menggolongkan diri sebagai golongan yang hendak dipunahkan. Dan sudah
barang tentu adalah syah dan wajar apabila berusaha mem-pertahankan diri.
Karena itu, dengan sigap ta-ngan kirinya telah meraba tulang punggung sang
Dewaresi. Apabila Kebo Bangah bergerak sedikit saja, ia akan meremukkan
tulang punggung kemenakannya.


Gagak Seta yang semenjak tadi berdiam saja, tersenyum melihat sepak terjang
Adipati Surengpati. Pikirnya dalam hati, Surengpati benar-benar pantas
disebut Jangkrik Bongol setengah siluman. Tadi ia membantu Dewaresi, kini
setelah memperoleh keputusan siapa yang dipilih menjadi menantunya,
mendadak saja berbalik menyayangi Sangaji. Aiiih... lantas saja dia
melindungi muridku yang tolol.


"Apakah itu Jala Karawelang?" kata Sangaji dengan nyaring. "Ilmu yang
kuperlihatkan ini pun bukan pula Witaradya. Aku hanya sedang menghafalkan
jurus-jurus ilmu ciptaan eyang guruku yang dapat kutangkap selintasan saja."


"Siapakah eyang gurumu itu?" potong Keboh Bangah galak.


"Kyai Kasan Kesambi. Kenapa?" Sangaji menyahut dengan berani.




Mendengar disebutkan nama pendekar sakti itu, semua jadi terheran sampai
Gagak Seta berkata, "Eh eh... Kyai Kasan Kesambi? Apakah benar orang tua
itu sudi mengakui engkau sebagai cucu muridnya?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar