@bende mataram@
Bagian 265
"Bagus! Nah Sangaji, balikkan tubuhmu menghadap ke belakang! Dengan begitu,
engkau tak dapat mencuri pandang."
Tajam kata-kata Adipati Surengpati. Sebe-narnya, hati Sangaji yang lekas
tersinggung mendongkol bukan main karena seolah-olah dikhawatirkan hendak
mengintip atau mencuri pandang. Tapi mengingat Titisari, mau tak mau ia
patuh pada perintah itu. Terus saja ia membalikkan tubuh mengungkurkan
gelang-gang.
Melihat Sangaji mengungkurkan gelanggang, Titisari jadi girang. Segera ia
hendak berdiri di seberang sana menghadap padanya. Maksudnya hendak
mengkisiki, selagi ayahnya mengamat-amati sang Dewaresi mangha-palkan
jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi mendadak, ayahnya berseru
memanggilnya.
"Titisari! Ke mari! Tolonglah aku mengamat-amati sang Dewaresi menghapalkan
jurus-jurus Witaradya. Dengan begitu, kau kelak tak menuduh aku berat
sebelah..."
Mencelos hati Titisari mendengar kata-kata ayahnya. Terang sekali, maksud
ayahnya hendak mencegah padanya membantu Sangaji. Meskipun nampaknya adil,
tetapi sesungguhnya berat sebelah. Karena itu dengan lantang ia menyahut,
"Ayah! Kau benar-benar berat sebelah! Dengan mengulur waktu, berarti
menipiskan daya ingatan Sangaji. Bukankah begitu maksud Ayah?"
Adipati Surengpati tak merasa tersinggung didamprat puterinya. Malahan dia
lantas tertawa sambil berkata, "Anakku! Kau terlalu berbicara dengan
hatimu. Kemarilah! Kau harus ikut menyaksikan dan menilai kedua pelamarmu."
"Tidak!" sahut Titisari cepat. Tetapi meskipun demikian, ia menghampiri
ayahnya juga. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia kenal tabiat ayahnya.
Jika ayahnya sudah ber-jaga-jaga tiada gunanya hendak melawan. Karena itu,
dengan diam-diam ia mencoba mencari jalan lain. Maka begitu ia berhadapan
muka dengan sang Dewaresi, terus saja ia tersenyum manis. Kemudian berkata
lembut, "Kangmas Dewaresi! Apa sih yang menarik perhatianmu terhadapku?
Bukankah tingkah laku dan perangaiku tak serasa dengan selera-mu?"
Memangnya sang Dewaresi sudah tergila-gila semenjak bertemu pandang untuk
yang pertama kalinya di kadipaten Pekalongan. Selama itu, Titisari bersikap
galak terhadapnya. Kini mendadak sontak, memanggilnya dengan sebutan
kangmas. Keruan saja otaknya jadi butek. Jantungnya berdegupan. Dan menurut
penglihatannya, potongan tubuh dan raut muka Titisari bertambah elok dan
menggairahkan. Tak dikehendaki sendiri, nafsu birahinya bergolak hebat
dalam dirinya sampai napasnya jadi sesak.
"Adikku... kau kini sudi memanggilku dengan kang... mas?" Tak sanggup lagi
ia meneruskan luapan perasaannya. Ia berdiri tegak seperti kehilangan ingatan.
"Kangmas! Inilah kesalahanmu, mengapa engkau tak datang sendiri menemui aku
di Karimunjawa tatkala pamanmu meminang daku. Coba, seumpama kau datang
sendiri...
masakan akan menemui kesulitan demikian! Hm... hem... tahulah aku!
Barangkali kau tak senang mendarat di Karimunjawa ..." kata Titisari
menggairahkan.
"Siapa bilang aku tak senang mendarat di Karimunjawa?" potong sang Dewaresi
dengan hati bergetar. "Kalau kau suka berdiam di sana, masakan aku tidak?
Soalnya... karena..."
"Ah... kau memang pandai berputar lidah...," sahut Titisari genit. "Kau
biasa dibesarkan di tengah suatu kemewahan, sedangkan Karimunjawa boleh kau
anggap pulau tandus. Bukankah begitu?"
"Nanti dulu! Jangan salah sangka!" sang Dewaresi khawatir. Ingin sekali ia
hendak memberi penjelasan agar gadis yang mem-buatnya linglung itu jangan
sampai salah paham. Mendadak pamannya kembali meng-halang-halangi. Sebagai
seorang pendekar berpengalaman, Kebo
Bangah dapat menebak maksud Titisari hendak mengacau daya ingat-annya.
Dengan diajak berbicara panjang lebar, bukankah ingatannya kepada
jurus-jurus ilmu sakti Witaradya akan menjadi kabur? Maka dengan tegas Kebo
Bangah menegur, "Dewaresi! Omongan yang tiada hubungannya dengan soal ujian
tak perlu kausibukkan macam begitu. Di kemudian hari, belumlah kasep engkau
membicarakan soal itu. Sekarang pusatkan seluruh ingatanmu dan segera
perlihatkan kemampuanmu di hadapan mertuamu!"
Sang Dewaresi terkejut. Kini barulah dia sadar mengapa Titisari begitu
bersikap lembut dan menggairahkan. Dan setelah mengingat-ingat jurus-jurus
Witaradya, benar-benar ia kehilangan sebagian. Maka buru-buru ia memusatkan
pikirannya. Setelah itu menirukan gaya Adipati Surengpati melakukan
jurus-jurus ilmu sakti Witaradya.
Otak sang Dewaresi memang encer luar biasa. Meskipun agak lamban, tetapi
semua jurus ilmu sakti Witaradya hampir dapat ditirukan. Tentu saja, ia tak
sanggup memecahkan bagian terakhir jurus Witaradya yang jadi samar-samar.
Adipati Surengpati sendiri tak sanggup, karena sebagian kitab Witaradya
kena tercuri Pringgasakti dan Pringga Aguna. Kalau dia tadi bisa bergerak
terus, sebenarnya hanya berdasarkan ingatannya belaka yang mencoba
menebak-nebak sejadi-jadinya semenjak ia kehilangan bagian kitabnya.
Melihat cara sang Dewaresi melakukan jurus-jurus ilmu sakti Witaradya yang
dapat diselesaikan dengan baik, hati Adipati Surengpati bersyukur bukan
main. Memang, hatinya condong kepada sang Dewaresi yang ngganteng. la sudah
mengambil keputusan untuk memungutnya sebagai calon suami Titisari. Maka
berkatalah dia bergembira, "Kau telah berhasil menirukan jurus sakti
Witaradya begini banyak. Nah, beristirahatlah!" Ia tersenyum lega. Dan
setelah memberi isyarat, agar sang Dewaresi beristirahat segera ia beralih
kepada Sangaji. Berseru keras, "Sekarang giliran Sangaji! Ke mari!"
Sangaji memutar tubuhnya dan segera menghadap Adipati Surengpati. Ia
melihat wajah sang Dewaresi berseri-seri. Mau tak mau ia kagum padanya.
Pikirnya dalam hati, benar-benar cemerlang otaknya. Pantaslah dia menjadi
suami Titisari yang berotak cerdas pula. Untuk menandingi, terang sekali
aku tak sangup... Baiklah! Daripada aku berdiam tiada memperlihatkan
sesuatu, biarlah kuhapalkan saja jurus-jurus ilmu ciptaan Eyang Guru. Di
hadapan mereka, bukankah aku akan menda-pat petunjuk-petunjuk yang
berharga? Lagi-pula aku bakal mengenal macam ilmu sakti apakah ciptaan
Eyang Guru ini."
Melihat kesan muka Sangaji yang beku tiada cahaya, Gagak Seta terus saja
tertawa memaklumi, la tahu, otak Sangaji bebal. Sewaktu menerima ilmu sakti
Kumayan Jati membutuhkan tempo sangat lama. Maka berkatalah dia nyaring,
"Sangaji! Kau ini benar-benar tolol! Masakan kau tak mempunyai harga diri?
Lihatlah, mereka hendak menonton ketololanmu belaka. Lebih baik, kau
mengaku kalah saja..."
"Memang sebenarnya tak sanggup aku melawan sang Dewaresi. Tiada sejurus pun
ilmu sakti Witaradya yang dapat kuingat-ingat," sahut Sangaji.
Mendadak Titisari melompat ke tengah gelanggang sambil menghunus belati.
Kemudian dengan menghadap ayahnya, ia berseru "Ayah! Jikalau kau memaksa
aku kawin dengan manusia busuk Dewaresi, hari ini aku mati di depanmu."
Adipati Surengpati kenal watak Titisari. Agak gugup ia berkata, "Letakkan
dahulu belatimu. Kita bicarakan hal ini perlahan-lahan!"
Dalam pada itu Kebo Bangah dengan cekatan telah bekerja dengan diam-diam.
Nampaknya ia seperti lagi mengetuk tongkatnya. Tapi mendadak melesatlah
sebuah benda bulat dan terus menyambar belati Titisari.
Luar biasa melesatnya senjata pendekar itu. Belum lagi Titisari tersadar,
pisau belati yang berada dalam genggamannya kena terhajar dan jatuh ke
tanah. Tatkala itu Adipati Surengpati berkelebat seperti bayangan dan dalam
sedetik saja ia telah berhasil memeluk pinggang
anaknya, dan dibawa meloncat ke atas batu.
"Benar-benarkah engkau tak sudi menikah?" ia membujuk perlahan. "Baiklah!
Jika demikian, marilah kau berdiam menemani ayahmu selama hidup di
Karimunjawa."
Titisari meronta dan menangis tinggi. Katanya setengah menggugat, "Ayah!
Kau benar-benar tak sayang padaku... tak sayang padaku..."
Menyaksikan adegan itu, Gagak Seta tertawa berkakakan. Sama sekali tak
diduganya, bahwa Adipati Surengpati yang terkenal bengis, kejam, tak
berperasaan dan tegas, kini benar-benar kuwalahan menghadapi puterinya.
Sebaliknya Kebo Bangah dengki mendengar tertawanya Gagak Seta. Diam-diam
pendekar itu membatin. Baiklah kutunggunya dahulu keputusan ujian ini.
Setelah itu baru kubereskan pendekar jembel itu sekalian anak tololnya.
Gadis Surengpati ini ternyata manja benar. Apa peduliku? Di kemudian hari,
masakan Dewaresi tak mampu menguasai?
Setelah memperoleh keputusan demikian, dengan wajah berseri-seri ia berkata
kepada Sangaji. "Anakku Sangaji! Kau benar-benar seorang pemuda gagah. Tadi
kau bisa melawan melebihi dua puluh jurus. Pastilah engkau bisa menirukan
ilmu sakti Witaradya. Saudara Surengpati, silakan engkau menguji anak itu
agar kita memperoleh keputusanmu ...!"
Terdengarnya suatu saran yang bagus, tetapi karena mendesak. Untung Adipati
Surengpati telah memperoleh ketetapan hendak memilih sang Dewaresi menjadi
menantunya, sehingga hatinya yang angkuh tak tersinggung oleh desakan itu.
Malahan dia lalu menyahut, "Baik! Nah Titisari! Janganlah engkau mengacau
lagi. Ingatan Sangaji bisa rusak oleh pekertimu."
Mengingat kepentingan Sangaji, Titisari lan-tas saja berhenti menangis.
Sebaliknya, besar keinginan Kebo Bangah hendak membuat malu Sangaji di
hadapan para pendekar. Maka dia berkata setengah menghardik.
"Hayooo! Lekaslah mulai! Biarlah kepandaianmu kita saksikan beramai-ramai."
Paras muka Sangaji berubah mendengar hardik Kebo Bangah. Jantungnya
berdegupan. Pikirnya kemudian, tiada satu jurus pun ilmu sakti Witaradya
yang dapat kuingat-ingat. Tadi aku hanya melihat selintasan. Karena itu
be-tapa dapat aku menandingi sang Dewaresi... Baiklah aku menghafalkan
jurus-jurus Eyang Guru saja. Masakan ciptaan Eyang Guru tiada harganya
untuk mereka lihat.
Dengan keputusan itu, segera ia memusatkan pikiran. Mendadak saja
teringatlah bayangan Kebo Bangah dan Gagak Seta tatkala lagi bertempur
mengadu kepandaian. Ia benci kepada Kebo Bangah. Karena itu, ia
mem-bayangkan diri seolah-olah lagi bertempur menghadapinya. Terhadap
Adipati Surengpati ia tak berani memusuhi. Hanya saja, tahulah dia bahwa
pendekar itu membantu sang Dewaresi dengan diam-diam. Itulah sebabnya pula,
bayangan Adipati Surengpati sewaktu lagi mempertontonkan jurus-jurus ilmu sakti
Witaradya seolah-olah lagi ikut membantu bayangan Kebo Bangah. Terus saja
ia menge-luarkan jurus ciptaan Kyai Kasan Kesambi untuk menghadapi dua
lawan tersebut. Sama sekali ia melupakan ilmu sakti Kumayan Jati, karena
dalam pikirannya Gagak Seta ikut membantu dirinya dengan ilmu itu. Maka
kesudahannya hebat luar biasa.
Seperti diketahui jumlah jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi berjumlah 72
jurus. Tapi setelah menyaksikan pertempurannya antara Kebo Bangah dan Gagak
seta, Sangaji memperoleh pelengkapnya sampai 325 jurus. Bisa dibayangkan
betapa kokoh dan hebat ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang diperlihatkan
di depan para pendekar.
Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Gagak Seta sampai tercengang-cengang.
Bahkan sang Dewaresi dan Titisari ikut kagum pula. Diam-diam Kebo Bangah
membatin, bocah ini benar-benar luar biasa cerdas. Kiranya mukanya yang
berkesan tolol itu memiliki otak sangat terang...
Sebenarnya, gerak-gerik Sangaji menyimpang dari jurus-jurus ilmu-ilmu sakti
Witaradya yang ditentukan. Adipati Surengpati tahu akan hal itu. Tetapi dia
seorang pendekar yang besar
kepalanya. Maka begitu melihat ilmu Sangaji, ia merasa seperti terbentur
lawan yang sanggup memunahkan ilmu sakti kebanggaannya. Tiada hentinya,
dalam otaknya berkelebat jurus-jurus ilmu sakti Witaradya. Tetapi setiap
kali, kena dibendung dan dipunahkan oleh jurus-jurus ilmu Sangaji. Akhirnya
ia jadi keheranan.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar