@bende mataram@
Bagian 263
Titisari sendiri tak terpengaruh serangan nada lagu ayahnya. Maklumlah,
lagu itu memang dialamatkan kepada dua pelamarnya. Tapi begitu melihat
keadaan sang Dewaresi, ia jadi mengkhawatirkan nasib kekasihnya. Ia
khawatir, kekasihnya akan menjadi gendeng apabila tiada tahan melawan
serangan urat syaraf.
Tiupan lagu Pangkur kali ini, jauh berbeda dengan tiupan yang pertama.
Kalau tadi Adipati Surengpati meletupkan tenaga saktinya dengan tak
sengaja, kini benar-benar bertujuan hendak menguji Sangaji. Maka tiupan
lagunya terasa melengking menusuki urat syaraf.
Sangaji terus saja duduk bersila. Perlahan-lahan ia mengatur tata napas dan
peredaran darahnya. Kemudian mengumpulkan pergolakan getah sakti Dewadaru
dan disalurkan melalui ilmu Bayu Sejati. Dan ketukan penyekat iramanya
bertambah kuat dan kuat.
Mau tak mau Adipati Surengpati terpaksa memuji kehebatan Sangaji. Segera ia
beralih kepada nada sendon dan tak lama lagi nada suluk. Suara tiupannya
sebentar keras dan sebentar lagi melenyap sampai susah di dengar. Inilah
justru letak kehebatan Adipati Surengpati.
Dasar dia seorang pendekar sakti yang angkuh, congkak, besar kepala dan mau
menang sendiri, maka tata kerjanya tak mau setengah-setengah. Tadi dia
mengadu tenaga sakti melawan Kebo Bangah dan Gagak Seta. Antara mereka
bertiga bisa saling menyerang dan bertahan. Tapi menghadapi Sangaji ia
merasa seperti direndahkan. Maklumlah, anak muda itu hanya pandai bertahan
diri, dengan mengadakan jaring pertahanan sangat rapat. Meskipun demikian,
ia tak mampu menaklukkan. Coba andaikata anak muda itu sudah terlatih
tenaga saktinya sehingga menjadi suatu pengucapan wajar, ia pasti kalah.
Sebab dia tidak hanya bertahan saja, tetapi mampu membalas menyerang.
Karena itu, hati Adipati Surengpati jadi panas membara.
Sangaji berhenti mengetuk, mendengarkan lagu tiupan Adipati Surengpati yang
sebentar ada dan sebentar lagi lenyap. Inilah suatu kesalahan yang
menentukan. Maklumlah, dia belum mempunyai pengalaman sehingga tak
mengetahui bahwa lenyapnya nada lagu itu justru merupakan suatu tipu yang
memba-hayakan. Seolah-olah seekor ular, suara tiupan itu menyelinap di
bawah lingkungan sesuatu benda. Kemudian dengan mendadak terus saja
menyambar dan menggigit. Itulah sebabnya, perlahan-lahan pemusatan hati
Sangaji kena terbetot dan sebentar lagi akan bisa dipermainkan.
Syukurlah, hati Sangaji masih suci bersih. Selama hidupnya belum sekali
juga bersen-tuhan dengan wanita. Karena itu, daya tahan-nya masih penuh dan
tak bisa diganggu gugat. Kecuali itu hatinya sangat sederhana. Dahulu dia
pernah dihajar setengah mati oleh Mayor de Groote. Dia bisa bertahan,
karena sebagian hatinya terpusat kepada Willem Erbefeld yang disembunyikan
di dalam gua sungai. Dengan tak sengaja, hal itu merupakan suatu latihan
memecah hati. Dan kini, dia menghadapi suatu keadaan yang hampir bersamaan.
Karena merasa bingung, wataknya yang bandel emoh menyerah dengan begitu
saja. Maka hatinya terus saja dibagi. Yang pertama berjaga-jaga sehingga
merupakan benteng pertahanan. Dan yang kedua, mencoba menyerang dengan tata
napas ilmu sakti Kumayan Jati. Kesudahannya hebat dan mengagumkan. Di luar
dugaan para pendekar, tiba-tiba ranting pohonnya mulai memperdengarkan
irama ketukannya yang kacau tapi penuh letupan tenaga sakti yang kuat dan ulet.
Adipati Surengpati benar-benar terperanjat saking herannya. Sekaligus ia
berpikir, bocah ini mempunyai kepandaian luar biasa. Benar-benar tak bisa
dipandang ringan. Apakah kesan
ketolol-tololannya hanya suatu sikap tata pergaulan hidup belaka untuk
menutupi kepandaiannya sejati?
Tapi begitu ia memuji, hatinya yang angkuh terus saja menjadi penasaran.
Kini ia beralih kepada tembang Durma. Tembang Durma ini adalah suatu
himpunan nada lagu bersifat menyerang dan menantang. Dan berbareng dengan
lagu itu, kakinya mulai bergerak-gerak seperti lagi menyerang dalam suatu
perkelahian tenaga jasmani.
Melihat tata sikap Adipati Surengpati yang berubah dari berdiri tegak
menjadi tata langkah, hati Sangaji tergetar juga. Tapi diam-diam ia
bergirang, karena usaha perlawanannya ternyata berhasil. Maka segera ia
menghadapi dengan ilmu Kumayan Jati dan ilmu Bayu Sejati dengan berbareng.
Adipati Surengpati bukanlah sembarang pendekar. Makin ditantang makin
menjadi gagah. Nada tiupannya memekik tinggi dan rendah saling bergantian.
Iramanya tak tentu bentuknya. Dan tenaga tekanannya kian bertambah-tambah.
Dengan mati-matian, Sangaji mempertahankan diri dengan dua ilmu saktinya.
Namun seperti dikatakan Gagak Seta dahulu, dia belum berhasil melebur
menjadi satu. Karena itu, tenaga salurannya belum teratur. Lama kelamaan,
dalam dirinya terjadi suatu kekacauan yang bergolak hebat. Tiba-tiba ia
merasa seperti kena sambar hawa dingin dan panas. Tak terasa tubuhnya
menggigil kedinginan. Buru-buru ia membendung dengan ilmu Bayu Sejati. Tapi
kemudian hawa dingin berubah menjadi panas membara. Sangaji jadi kebingungan.
Seperti diketahui, ilmu Bayu Sejati dan ilmu Kumayan Jati merupakan dua
sifat yang bertentangan. Yang satu tenang bertahan dan yang lain merangsang
dan meletup. Keadaannya seperti air dan api. Lambat laun saling menarik dan
saling bersaingan. Maka tak mengherankan, dalam diri Sangaji timbul suatu
pergolakan sengit laksana air terebus. Karena itu, wajahnya nampak putih
dan merah pengap. Tubuhnya menggigil seperti orang menanggung sakit demam.
Adipati Surengpati sudah barang tentu melihat keadaan diri Sangaji. Dan
untuk kesekian kalinya, ia heran. Pikirnya, anak ini benar-benar memiliki
suatu ilmu yang susah diraba. Di kemudian hari apabila sudah menjadi suatu
pengucapan, naluriah, benar-benar akan menjadi seorang pendekar tak
terlawan lagi. Ha! Bukankah anak ini lebih tepat menjadi pelindung
Titisari? Ia berhenti menimbang-nimbang. Meneruskan, sekarang, ia nampak
memaksa diri melawan seranganku. Nampaknya dia masih sanggup melawanku
setengah hari lagi. Tapi akibatnya, dia akan terluka parah. Masakan aku
akan membiarkan dia menanggung derita hebat, semata-mata sedang bertahan
mati-matian untuk memenangkan ujianku?
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berhenti meniup. Dan
cepat-cepat Sangaji mengatur napas dan pergolakan darahnya. Tahulah dia,
bahwa Adipati Surengpati mau mengalah terhadapnya. Diam ia jadi bergirang
dan bersyukur. Maka begitu ia sudah berhasil menguasai diri, segera ia
meloncat memberi hormat menyatakan terima kasihnya.
Heran Adipati Surengpati menyaksikan Sangaji bisa bangun dengan cepat dan
sama sekali tak menanggung derita. Dan kembali dia menduga-duga, bocah ini
masih sangat muda usianya. Namun tenaga saktinya benar-benar hebat!
Mustahil otaknya tak cerdas melebihi orang lumrah. Hanya saja, mengapa dia
nampak begini tolol? Jika benar dugaanku, Titisari harus kuserahkan
kepadanya. Di bawah perlindungannya, aku bisa pergi dengan hati tenteram.
Biarlah kucobanya, apakah otaknya benar-benar cerdas atau tidak.
Kemudian dengan tersenyum ia menegas. "Kau hendak berkata apa kepadaku?"
"Gusti Adipati," kata Sangaji. Dalam dirinya ia merasa menjadi manusia tak
berkelas, karena itu menyebut ayah Titisari dengan sebutan gusti. "Gusti
Adipati sudi mengalah terhadapku. Selama hidupku, aku takkan lupa. Kini
perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasihku tak terhingga."
"Daya tahanmu baik benar," sahut Adipati Surengpati dengan tersenyum.
"Engkau masih saja memanggilku dengan sebutan gusti?"
Terang sekali maksud Adipati Surengpati, bahwa Sangaji telah terpilih
menjadi menan-tunya karena sudah memenangkan dua ujian. Karena itu Sangaji
sebenarnya tak perlu lagi memanggilnya dengan sebutan gusti. Cukup dengan
mertua atau kanjeng romo. Kanjeng Romo adalah suatu sebutan kekeluargaan
antara anak dan ayah. Tetapi Sangaji seorang jujur dan berhati polos. Sama
sekali ia tak dapat menangkap maksud Adipati Surengpati.
"Aku... aku," katanya tergagap-gagap. Kemudian matanya mencari Titisari
hendak minta pertolongan.
Titisari girang bukan kepalang mendengar ujar ayahnya. Melihat Sangaji
kebingungan, cepat-cepat ia menekuk-nekuk ibu jari.
Maksudnya ia menganjurkan, agar kekasihnya menghaturkan sembah kepada ayahnya.
Kebetulan sekali, Sangaji mengerti maksud Titisari. Tanpa
berbimbang-bimbang lagi, terus saja ia menjatuhkan diri sambil bersembah.
Tetapi mulutnya tetap terkancing seperti botol tersumbat.
"Bagus! Kau memberi sembah kepadaku," kata Adipati Surengpati dengan
tertawa. "Benar... tapi Titisari yang menyuruh aku berbuat begini," sahut
Sangaji tolol. "Hm," keluh Adipati Surengpati dalam hati. Benar-benar ia tolol.
Adipati Surengpati menjadi kecewa melihat kenyataan itu. Ternyata wajahnya
yang ber-kesan ketolol-tololan membuktikan pemiliknya tolol benar-benar.
Sekaligus terhapuslah dugaannya, bahwa Sangaji bersikap pura-pura tolol
untuk menyembunyikan kecerdasannya. Karena itu kesan mukanya terhadap
pemuda itu, kembali lagi.
Sebenarnya, Sangaji bukanlah seorang tolol. Seumpama tolol benar-benar,
tidaklah dapat menelan beberapa ilmu sakti seperti kini. Soalnya, hatinya
terlalu sederhana, jujur dan polos. Sifatnya blak-blakan pula. Karena itu
untuk mengungkapkan sesuatu yang kurang blak-blakan, hatinya tak mau.
Sebaliknya, Adipati Surengpati waktu itu terus saja menghampiri sang
Dewaresi yang ngganteng. Dengan tangannya sendiri, ia membuka sumbatan
telinganya. Pikirnya, pemuda ini kurang kuat tenaga saktinya. Tapi dengan
perlahan-lahan, bukankah bisa dilatih di kemudian hari? Memperoleh pikiran
demikian, segera ia memberi keputusan. "Berbicara tentang tenaga sakti,
Sangaji yang lebih kuat. Akan tetapi mengenai pengetahuan lagu, sang
Dewaresi yang lebih mengerti. Karena itu keputusanku begini saja, acara
kedua kuanggap sama kuat. Masing-masing mempunyai alasannya sendiri.
Baiklah, aku meningkat kepada ujian ketiga, agar kedua pelamar ini berlega
hati. Apabila hasilnya tetap sama, maka kalian boleh belajar sepuluh atau
dua puluh tahun lagi untuk mencariku. Kutak-sir Titisari belum kasep tua..."
"Setuju! Setuju!" lantas saja Kebo Bangah memberikan persetujuannya. Ia
tahu, keme-nakannya kalah. Sama sekali tak diduganya, bahwa Adipati
Surengpati mengambil keputusan demikian. Sebagai seorang cerdik tahulah
dia, bahwa Adipati Surengpati membela kemenakannya.
Sebaliknya Gagak Seta bukan pula seorang bodoh. Tapi anehnya, dia tak
membuka suara.
Mulutnya hanya memperlihatkan suatu senyum panjang. Dalam hati ia berkata,
bagus! Kau siluman Karimunjawa, janganlah menganggap dirimu berotak terang
dan pandai segala. Nyatanya engkau bakal keliru, mengawinkan anakmu dengan
seorang pemuda yang doyan foya-foya dan berhati serong. Tapi Titisari
adalah anakmu. Masakan aku kau suruh memikirkan nasibnya. Hm... jangan
harap! Tapi... aku ingin mencoba tenagamu. Sekarang aku seorang diri berada
di antaramu. Kalau aku kau suruh melayani dua orang sekaligus, rasanya
tanganku kurang cukup. Tapi tunggulah sebentar! Sangaji adalah cucu murid
Kyai Kasan Kesambi. Kalau
sampai orang tua itu tergugah semangat tempurnya, hah... semuanya nanti
akan menjadi jelas... siapa di antara kita yang lebih unggul.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar