@bende mataram@
Bagian 262
"Jangan buru-buru mengaku kalah! Jangan buru-buru!" sahut Gagak Seta.
"Meskipun engkau bakal kalah, tetapi apalah buruknya mencoba-coba dahulu?
Apakah kau khawatir bakal ditertawai orang? Jangan takut! Aku berada di
sini. Siapa yang berani menter-tawakan ketololanmu, masakan aku akan
tinggal diam saja?"
Mendengar kata-kata gurunya, terbangunlah sifat jantan Sangaji. Pikirnya,
menang kalah adalah lumrah dalam tiap pertaruhan apa saja. Masakan aku tak
berani menanggung akibatnya?
Tatkala itu, ia melihat sang Dewaresi telah mematahkan sebatang ranting.
Adipati Surengpati kemudian tertawa lebar. Berkata kepada Gagak Seta,
"Hebat benar cara saudara membangunkan semangat per-juangan. Baiklah aku
segera mengumandang-kan suaraku yang buruk. Kuharap engkau ja-ngan
mentertawakan!"
Adipati Surengpati adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Yang
menga-jaibkan, bahwasanya dia mengusai tiap ilmu yang dikenalnya. Karena
itu, lawan-lawannya susah menebak kelemahannya. Akhirnya mereka mengakui,
bahwa kepandaian Adipati Surengpati adalah karunia alam yang tak dapat
diganggu gugat.
Dalam pada itu, sang Dewaresi dan Sangaji sudah berdiri tegak di samping
pohon masing-masing. Kemudian Adipati Surengpati mendongakkan kepala dan
menembang suatu lagu dengan sajak Jawa Kuno bercampur bahasa Sanksekerta.
Dawuh sad lingsir ing surya
Mentas sang anginum amit
Sang mantri Sagara Wina
Tan kocapa punang enjing
Oreg sarajya de ning
Tabuh-tabuhan sakuwu
Sawong aprayatinon, Apaju balamantri
Anglenging wus sama angliga gagaman.
Tinom kadi pangalusan
Cara caraannyarawit
Mantri mawang balakukuwon
Pinrenah makapanawing
Pesawahan wus dadi
Tanem-taneman aluhung
Pattranyalum asinom, Sarwakusuma tan kari
Pucang tirisan tumaruna lan pisang.
Perlahan-lahan cara Adipati Surengpati menyanyikan lagu itu. Maksudnya agar
anak-anak muda mengenal hukum-hukum bait sajaknya sehingga dapat mengenal
lagunya. Tapi bagi Sangaji adalah setali tiga uang. Meskipun andaikata
Adipati Surengpati mengulangi sampai seratus kali paling-paling dia hanya
bisa menghafal bunyi kata-katanya. Tetapi untuk mengerti artinya, jangan
harap. Apalagi mengenal lagu yang lagi dinyanyikan.
Sebaliknya, sang Dewaresi yang beruntung. Mula-mula ia terpengaruh oleh
bunyi syairnya. Lambat-laun ia tak memedulikan lagi, karena sama sekali tak
mengerti artinya. Kini ia beralih pada hukum-hukum akhir kalimat. Apabila
Adipati Surengpati sudah mengumandangkan bunyi bait-baitnya dan mengulangi
tiga empat kali, segera ia mengenal lagu yang dinyanyikan. Ternyata Adipati
Surengpati lagi menyanyikan lagu Sinom Macapat. Untuk mengelabui calon
menantunya, sengaja ia menggunakan bahasa Jawa Kuno. Syairnya dipetik dari
ceritera kakawin Ranggalawe tatkala bertempur melawan utusan Raja
Jajanegara pada zaman Majapahit. Maka begitu ia mengenal lagu itu, segera
ranting dahan yang digenggamnya mulai mengetuk-ngetuk menginjak iramanya.
Ia berbesar hati dan girang bukan main, tatkala melihat Sangaji bingung
terlongong-longong. Pikirnya dalam hati, kali ini engkau mampus. Hm...
masakan Adipati Surengpati akan membiarkan puterinya kaukawini dan kau
peluk! Cuh! Jangan kau mimpi di siang hari bolong ...!
Selagi ia kegirangan, mendadak Adipati Surengpati berhenti menyanyi. Dia
menye-matkan pusaka tanduknya, kemudian meniup lagu. Lagu yang ditiupnya,
lebih gampang dimengerti. Karena ternyata masih tetap Sinom, hanya saja
mengalun lamban.
Sebaliknya, Sangaji bertambah bingung. Ranting pohonnya diangkatnya dan
mencoba hendak mengetuk-ngetuk irama lagunya. Tetapi karena tak mengenal
lagunya, maka susahlah dia menebak angkatan nada dan jatuhnya. Akhirnya,
dia hanya terlongong-longong seperti moncong seekor kerbau.
Melihat keadaannya, hati sang Dewaresi bertambah gembira. Yakinlah dia,
bahwa kali ini dia pasti menang, sedangkan ujian yang ketiga, pastilah juga
bukan ujian tenaga jas-mani. Kemenangannya sudah terasa berada di ambang pintu.
Titisari yang melihat kesan muka sang Dewaresi, jadi gelisah. Ia tahu
kekasihnya takkan dapat mengetuk irama lagu yang sedang dilagukan ayahnya.
Maka segera ia berdaya upaya untuk menolong kekasihnya. Pikirnya gelisah,
kangmasku ini, benar-benar tak mengenal sekelumit lagu Jawa Tengah. Mengapa
Ayah mengujinya demikian rupa? Benar-benar tak adil!
Kemudian ia mencoba menepuk-nepuk lutut kanannya dengan tangan. Ia
mengharap, mudah-mudahan Sangaji mengerti maksud-nya. Apabila pemuda itu
mengikuti gerak ta-ngannya, tak usahlah dia kalah melawan kepandaian sang
Dewaresi menimpali irama lagu. Tetapi ternyata Sangaji untuk sekian lamanya
tiada menoleh kepadanya. Malahan pemuda itu, mendongak ke udara seperti
lagi merenungi awan. Tubuhnya diam tak berkutik, sedangkan ranting yang
digenggamnya tiada tanda-tandanya hendak bergerak.
Titisari jadi putus asa. Tatkala itu Adipati Surengpati masih terus meniup
lagu Sinom Parijata. Matanya mengawaskan Sangaji yang masih saja berdiri
tegak tak berkutik.
Mendadak saja, pemuda itu nampak mulai mengangkat rantingnya. Kemudian
menge-tuk-ngetukkan rantingnya pada tengah-tengah irama. Mendengar bunyi
ketukannya, sang Dewaresi sampai tertawa tinggi.
"Benar-benar tolol! Heh... bagaimana dia sampai berani mengharapkan jadi
menantu Adipati Surengpati yang serba pandai?" pikirnya dalam hati.
Tapi Sangaji tak peduli. Masih saja dia mengetuk tengah-tengah irama lagu.
Dan Titisari benar-benar putus asa. Dengan meng-hela napas gadis itu
berpikir memaklumi, kangmasku ini benar-benar tolol. Mestinya Ayah tak
boleh menguji sesuatu ilmu yang belum diketahui.
Terus saja ia menoleh kepada ayahnya hendak menggugat. Sekonyong-konyong ia
heran, melihat raut muka ayahnya berubah. Kesannya aneh dan
bersungguh-sungguh. Maka dengan penuh perhatian ia mulai menyelidiki.
Waktu itu, Sangaji masih saja mengetuk-ngetuk irama lagu dengan tak keruan.
Tapi anehnya, tiupan Adipati Surengpati ikut kacau. Teranglah, bahwa lagu
yang sedang ditiup kena perbawanya.
Adipati Surengpati nampak bertahan me-nguasai irama lagunya. Tapi lagi kena
dikacau oleh tak-tik-tuk ranting Sangaji. Dan apabila iramanya hampir kena
terkacau, sebentar kemudian lurus kembali dan makin rapih. Namun ketukan
Sangaji hampir-hampir bisa merusak irama lagunya berulang kali.
Peristiwa ini tidak hanya mengherankan Adipati Surengpati saja, tapi Gagak
Seta dan Kebo Bangah pula. Mereka tahu dan sadar, andaikata Sangaji tak
memiliki ilmu tenaga sakti yang tinggi, tidak bakal dapat mengacau ilmu
tiupan Adipati Surengpati yang tinggi. Sedangkan mereka berdua tadi, hanya
bisa seimbang saja. Dan andaikata Sangaji benar-benar memiliki ilmu tenaga
sakti yang tinggi, darimanakah dia memperolehnya.
Gagak Seta yang menjadi gurunya dan mengenal ilmu kepandaiannya, tak
habis-habis herannya dan akhirnya tak mengerti. Apalagi Kebo Bangah, pikir
pendekar itu dalam hati, pemuda ini kutaksir umurnya lagi menginjak dua
puluh tahun. Untuk memperoleh ilmu tenaga sakti, seorang harus bertekun
paling tidak tiga puluh tahun. Apakah dia sudah belajar semenjak ayah
ibunya masih menjadi perawan dan jejaka? Bagaimana mungkin!
Sangaji sendiri sebenarnya tak pernah me-ngira bahwa ketukannya akan bisa
mengacau irama lagu Adipati Surengpati. Kalau tadi ia berdiri tegak
mendongak ke udara, sebenarnya lagi sibuk mengingat-ingat cara ketiga
pendekar sakti saling bertempur mengadu tenaga sakti. Tiupan Adipati
Surengpati, suara salak Kebo Bangah dan siulan Gagak Seta tadi saling
menindih dan menggencet tengah-tengah nada dan iramanya. Dan ia segera
menirukan sedapat-dapatnya.
Kemudian terjadilah suatu peristiwa di luar perhitungan dan nalar manusia.
Seperti dike-tahui, dalam tubuh pemuda itu mengalir getah sakti pohon
Dewadaru yang tiada duanya di dunia ini. Sifat getah sakti tersebut selalu
mengadakan perlawanan secara wajar apabila kena serangan dari luar. Dan
tiupan Adipati Surengpati, betapa pun diperingan, meletupkan tenaga sakti
juga yang bisa menyerang iman (perbendaharaan hati) seseorang yang
dikehendaki. Keruan saja, getah sakti pohon Dewadaru terus saja timbul
mengadakan per-lawanan. Kecuali itu, Sangaji mempunyai dua ilmu dasar yang
sakti dalam tubuhnya. Yakni, ilmu sakti Bayu Sejati untuk bertahan dan ilmu
sakti Kumayan Jati untuk menyerang. Kedua-duanya memiliki tenaga sakti luar
biasa hebatnya. Maka begitu dirinya merasa terserang, terus saja ilmu Bayu
Sejati bergolak. Dengan didorong oleh tenaga sakti getah Dewadaru yang
tiada habis-habisnya, maka letupan ketukannya meledakkan suatu tenaga yang
mampu menyibakkan gelombang udara. Keruan saja, irama lagu Adipati
Surengpati yang lagi menyusuri gelombang udara, kena dibendung dan
disibakkan sehingga terkacau dengan mendadak.
"Ih! Keparat!" Adipati Surengpati terkejut. "Dari mana dia mewarisi ilmu
dewa ini?"
Tak peduli Adipati Surengpati adalah seorang pendekar sakti yang mahir
dalam ilmu tenaga sakti, mau tak mau hampir-hampir lagunya rusak iramanya
kena dikacau ketukan Sangaji yang istimewa: "Tak tik tuk ... tak tik tuk
bung! Bung!"
Menghadapi tenaga perlawanan itu, lantas saja terbangunlah keangkuhan
Adipati Su-rengpati yang mau menang sendiri.
"Bagus!" ia berkata dalam hati. "Kau bisa melawan tenaga tiupanku. Biarlah
kucoba sampai di mana kekuatan tenaga saktimu ..."
Dan setelah itu, ia berdiri tegak. Kemudian beralih kepada lagu Pangkur
yang lebih lantang. Tiupan pusaka tanduknya bernada tinggi dan merendah.
Sebentar menukik dan sebentar pula menyelinap rendah.
Sang Dewaresi buru-buru memasang untuk menangkap lagu baru itu. Sesaat
kemudian, tersenyumlah dia. Sebentar saja sudah dapat mengenalnya. Tapi
tatkala ia menyelami keindahan iramanya, mendadak saja ranting pohonnya
tergetar. Dan tak terasa ia terseret di dalamnya dan mulai menari-nari
kecil dengan tak disadarinya sendiri.
Kebo Bangah terkejut. Ia tahu apa akibatnya, apabila seseorang kena
terseret semangatnya.
Terpaksalah dia menghela napas, menyaksikan keadaan itu. Cepat-cepat ia
menangkap pergelangan tangan kemenakannya dan segera menekan urat nadinya.
Kemudian ia menyumpali telinganya dengan sapu tangan, agar kemenakannya
bebas dari pengaruh lagu Adipati Surengpati yang mulai melampiaskan
serangan tajam. Manakala kemenakannya nampak tenang kembali, baru ia
melepaskan pegangannya. Tetapi ia mengeluh dalam hati, karena peristiwa itu
membuktikan bahwa kemenakannya kalah jauh dari Sangaji.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar