11.06.2019

@bende mataram@ Bagian 259

@bende mataram@
Bagian 259


Waktu itu, ia telah mengarahkan senjata bidiknya ke punggung Sangadji yang
tengah melihat pertempuran. Pemuda itu sama sekali tak mengira akan
menghadapi bahaya. Dia sedang mengamat-amati gurunya melakukan perlawanan
dengan ilmu sakti Kumayan Jati tingkat tinggi. Untunglah, Titisari tak
begitu terpusat perhatiannya. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya,
bahwa Gagak Seta dan Kebo Bangah adalah dua orang sakti yang menempatkan
tingkatan teratas pada zaman itu. Saat itu sedang menghadapi detik-detik
yang menentukan dan membahayakan. Seumpama dia sadar akan hal itu, pastilah
seluruh perhatiannya akan terpancar penuh-penuh. Tapi karena tak
mengetahui, perhatiannya terbagi-bagi. Sewaktu matanya mengembara ke arah
sana, secara kebetulan melihat gerak-gerik sang Dewaresi yang mencurigakan.
Dasar otaknya cerdas dan berhati cerdik, seketika itu juga dapat menebak
gejala-gejalanya. Terus saja ia menajamkan mata dan pendengaran. Dan
apabila ia mendengar gerak tangan sang Dewaresi, cepat ia berkisar
melindungi pung-gung Sangadji.


Terhadap Titisari, sang Dewaresi benar-benar tergila-gila. Jangan lagi
bermaksud hendak melukai, sedangkan kata-kata dan sikapnya diatur demikian
rupa agar tetap meresapkan kesan. Karena itu, begitu melihat Titisari
berkisar melindungi punggung Sangadji seakan-akan tidak di sengaja, membuat
sang Dewaresi membatalkan niatnya. Tapi hal itu, bukanlah berarti ia
menggagalkan maksudnya sama sekali. Cepat ia berkisar ke kanan. Untuk
herannya, ia melihat Titisari bergeser ke kanan juga Eh, apakah dia
bermaksud melindungi anak tolol itu? Pikirnya menebak-nebak. Selagi ia
mencoba bergeser ke kanan. Titisari pun bergeser lagi ke kanan, kini
mendekati para dayang yang masih saja duduk setengah lumpuh kena perbawa
tenaga sakti kedua jago kelas wahid pada zaman itu.


Bagus! Jangan salahkan aku mengham-burkan jarum emasku. Seumpama engkau
terluka masakan Paman tak dapat mengobati. Bukankah Adipati Surengpati
menyetujui aku pula menjadi menantunya, damprat sang Dewaresi dalam hati.
Dan cepat-cepat ia bergeser ke kanan, kemudian ke kiri. Setelah itu kembali
ke kanan dengan cepat dan dibarengi membidikkan jarumnya.


Seketika itu juga, di udara berkeredep puluhan jarum emas mengarah punggung
Sangaji. Titisari terkesiap. Dasar ia anak se-orang siluman, maka tanpa
banyak pertimbangan lagi ia mendepak salah seorang dayang, sedangkan
dirinya terus melesat ke samping. Maka tak ampun lagi, dayang yang bernasib
malang itu kena hujan jarum emas majikannya sendiri. Sekali ia menjerit,
kemudian roboh tak berkutik.


Sangaji terkejut mendengar jerit itu. Ia menoleh.Tiba-tiba melihat Titisari
meloncat menyerang sang Dewaresi.


"Titisari! Kembali!" teriak Sangaji. Anak muda itu mengenal bahaya. Dua
jago yang sedang bertarung, kala itu mulai melontarkan arus tenaga dahsyat.
Dan Titisari yang belum mengetahui corak ilmu saktinya, dengan berani
melintasi tanpa bersiaga, waktu itu, ia melintasi arus tenaga Kebo Bangah
yang sedang menyerang Gagak Seta. Gugup, Adipati Surengpati berteriak.
"Saudara Kebo Bangah! Kasihanilah anakku!"


Sangaji sendiri terus saja melompat menyusul. Ia sadar akan bahaya. Karena
itu dia bersiaga menghadapi, kemungkinan, tatkala bergerak menyusul
kekasihnya. Kesudahannya hebat bukan main.


Tiba-tiba saja, Sangaji merasa kena dorong suatu arus dahsyat bagaikan
gelombang pasang.




Tanpa berpikir panjang lagi, terus ia memukul dengan salah satu jurus ilmu
sakti Kumayan Jati. Dengan jurus itu, ia bermaksud menolak tenaga sakti
Kebo Bangah. Sudah barang tentu, mau tak mau ia harus mengadu tenaga.
Sekiranya ia menghadapi tokoh sakti semacam Lumbung Amisena atau sang
Dewaresi, cukuplah tenaga bendungannya untuk melawan tenaga lawan. Tapi
kali ini, dia terpaksa menghadapi Kebo Bangah, seorang pendekar sakti kelas
utama pada zaman itu keruan saja, pertahanannya gugur, la kena terlontar
terbalik di udara meskipun demikian, masih sempat ia melemparkan Titisari
ke samping. Kemudian dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dan cepat-cepat
bersiaga lagi menghadapi serangan ulangan.


Benar saja. Kebo Bangah heran, melihat pemuda itu bisa menandingi serangan
tenaganya tanpa menanggung luka parah. Bahkan pemuda itu, terus saja
berdiri tegak di tanah seakan-akan lagi menantang. Sudah barang tentu, ia
merasa tertusuk kehormatannya. Cepat ia hendak melepaskan serangannya lagi.
Hanya belum dilontarkan Gagak Seta dan Adipati Surengpati berkelebat
menghalang didepannya.


"Ut! Ladalah...! Sungguh malu! Benar-benar aku tak sempat menarik
seranganku kembali. Apakah Nona Titisari terluka?" Teriak Kebo Bangah.


Sebenarnya Titisari kaget setengah mati, menghadapi saat-saat genting yang
tak di-sadari sebelumnya. Tapi begitu mendengar pertanyaan Kebo Bangah yang
terdengar minta maaf, ia memaksa diri tersenyum lebar.


"Ayahku berada di sini masakan engkau dapat melukai aku?"


Tetapi Adipati Surengpati sendiri, sesung-guhnya bercemas. Cepat ia
menghampiri putrinya dan memeriksa denyut jantung dan pergelangan tangan.


"Apakah engkau merasakan sesuatu yang kurang beres dalam tubuhmu?" tanyanya
agak gugup. "Coba tariklah napas dan salurkan jalan darahmu!"


Titisari menurut. Segera ia menarik napas dan menyalurkan jalan darahnya.
Ia tak merasakan sesuatu. Maka ia lantas saja tertawa riang sambil
menggelengkan kepala. Melihat sikap Titisari, Adipati Surengpati heran dan
ingin memperoleh keterangan sebab-musababnya. Tetapi hatinya tenteram. Rasa
cemasnya hilang. Katanya menasehati, "Kedua pamanmu lagi berlatih mengadu
kepandaian. Engkau jangan bertingkah tak keruan macam. Ilmu sakti pamanmu
Kebo Bangah bernama Kala Lodra. Kecuali hebat tenaganya, dibarengi ilmu
mantram Aji Gineng. Dahsyatnya bagai gugurnya sebuah gunung. Andaikata dia
tak sayang padamu, masakan nyawamu masih menancap dalam tubuhmu. Coba lihat
belakangmu!"


Titisari memutar tubuh dan ia terperanjat. Ternyata sebuah batu raksasa
yang berada di belakangnya, hancur berantakan seperti kena tumbuk bukit
besi. Andaikata ia tadi kena telak, teranglah sudah bahwa dirinya yang
terdiri dari daging dan darah akan hancur berantakan.


Istilah KALA LODRA yang menjadi dasar ilmu sakti Kebo Bangah sebenarnya
bukanlah istilah yang benar-benar asing bagi pende-ngaran Titisari. Seperti
di ketahui, istilah Kala Lodra terkenal dalam cerita wayang purwa, sebagai
tokoh dewa raksasa yang sering menganugrahi kesaktian tak terlawan. Seperti
terhadap Raja Rahwana dan Raja Nirwatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha,
kesaktian ke dua raja tersebut tak terlawan. Dewa sendiri tak kuasa
menumbangkan. Sedangkan Aji Gineng adalah anugerah Dewa Kala Lodra juga
yang menjadi milik Raja Nirwatakawaca.


Kedua ilmu sakti tersebut demikian saktinya, sehingga namanya digunakan
untuk nama salah satu ilmu sakti yang paling disegani pada zaman itu,
sebagai suatu pemujaan.


Menurut keterangan, seseorang bisa memperoleh ilmu sakti demikian, apabila
mampu bertapa sampai dua belas tahun lamanya dengan berdiam diri di atas
pegunungan yang terapit batu-batu raksasa. Orang itu harus mulai dengan
berdiam diri. Kemudian merendam dalam kubangan air sebatas bentuk tubuh.
Setelah lewat beberapa tahun lamanya, lalu menjepitkan diri di antara batu
raksasa. Dan setelah memperoleh wewenang, kedua batu tersebut




merupakan kelinci percobaannya. Manakala dia dapat meledakkan kedua batu
raksasa yang menjepit dirinya, maka nyatalah sudah bahwa wewenang sakti itu
telah meresap dalam tubuhnya.


Tadi—sewaktu Kebo Bangah melawan ilmu sakti Kumayan Jati Gagak Seta segera
dia berdiam diri untuk mengerahkan tenaga Kala Lodra. Kemudian mulailah dia
bergerak-gerak. Itulah suatu tanda, bahwa ia mulai menge-rahkan tenaga
saktinya. Tenaga sakti Kala Lodra bisa menerjang bagaikan gugur gunung dan
bertahan bagaikan bukit. Manakala kena serang, mendadak saja bisa membalas
me-nyerang secara wajar. Demikianlah, Sewaktu Kebo Bangah mulai menyerang
Gagak Seta, mendadak saja Titisari melompat melintasi dengan dibarengi
pekik seorang dayang yang kena jarum emas sang Dewa Resi.


Kebo Bangah kaget setengah mati, karena sama sekali tiada niatnya hendak
melukai bakal menantunya. Apa lagi menewaskan. Maka cepat-cepat ia hendak
menarik semua tenaga saktinya. Tetapi kodrat ilmunya bisa menyerang dan
berbalik menyerang secara wajar, tanpa membutuhkan pengendalian. Karena
itu, tak gampang-gampang dia bisa menguasai sepenuhnya, sekalipun sadar
bahwa Titisari lagi terancam bahaya maut.


Ketika mendengar suara Adipati Surengpati, ia terlebih-lebih terkejut lagi,
sekonyong-konyong ia merasakan suatu tumbukan tenaga yang membendung tenaga
sakti Kala Lodra. Itulah suatu kesempatan untuk menarik semua tenaganya.
Kemudian ia memandang tajam ke depan dan melihat Sangaji berdiri tegak
sebagai penolong jiwa Titisari. Diam-diam ia heran dan kagum. Lantas saja
ia berkata dalam hati, benar-benar hebat sijembel Gagak Seta ini. Dia
berhasil mewariskan ilmu Kumayan Jati kepada miridnya.


Adipati Surengpati setelah tenteram kembali, segera mengamati-amati
Sangaji. Ia pernah menyaksikan dan mencoba tenaga pemuda itu. Maka
berpikirlah dia dalam hati, anak ini begini tak mengenal bahaya
sampai-sampai berani melawan Kebo Bangah. Sekiranya Kebo Bangah tak
mengingat cegahanku, bukankah tulang belulang dan urat-uratnya akan hancur
berantakan?


Adipati Surengpati belum mengetahui, bahwa Sangaji sekarang bukanlah
Sangaji sewaktu berada di sebelah utara Desa Gebang. Selain sudah berhasil
menekuni dasar-dasar ilmu sakti Kumayan Jati, telah mengantongi pula ilmu
ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang terakhir. Ia hanya mengetahui dan mengakui,
bahwa Sangaji tadi yang menolong jiwa putrinya. Karena itu, betapapun juga
kesannya terhadap Sangaji yang kurang baik, surut tujuh atau delapan
bagian. Bukankah pemuda itu telah membuktikan dihadapannya, betapa dia
sanggup berkorban untuk Titisari? Akhirnya dia berkata lagi dalam hati,
anak ini berhati jujur dan mulia. Meskipun tiada niatku hendak menjodohkan
Titisari kepadanya, tapi aku harus menghadiahi sesuatu.


Selagi dia sibuk menimbang-nimbang, terdengar suara Gagak Seta nyaring.
"Hai, Kebo Bangkotan! Benar-benar jempolan ilmu saktimu. Kita berdua belum
memperoleh kepastian siapa yang kalah dan menang. Marilah kita bertempur
terus sampai memperoleh ketentuan!"


Kebo Bangah terhenyak mendengar ucapan Gagak Seta. Sebentar ia
tercengang-cengang, kemudian tertawa riuh. "Bagus! Aku Kebo bangkotan
bersedia melayani seorang pendekar budiman!"


"Hm! Hm! Aku bukan seorang budiman. Aku hanya seorang jembel tak keruan
macamnya...," sahut Gagak Seta.


Habis berkata demikian, terus saja ia melompat memasuki gelanggang. Kebo
Bangahpun tak mau mengalah. Tetapi sewak-tu hendak melompat, Adipati
Surengpati menyanggahnya sambil berkata menya-barkan.


"Saudara Kebo Bangah, tunggu dulu! Saudara Gagak Seta harap sabar barang
sebentar! Kamu berdua sudah bertempur lebih dua ribu jurus dan belum juga
memperoleh kepastian siapa di antara kamu berdua yang menang. Hal ini
merupakan suatu kehormatan bagiku. Tetapi, kecuali




aku dan kamu berdua "dijagat ini" masih ada seorang lagi yang harus kita
datangi. Yakni, Kyai Kasan Kesambi. Apabila ia muncul di sini, teranglah
aku tak berani mencegah perkelahianmu. Sebab, akupun akan tampil juga
mengadu tenaga. Karena Kyai Kasan Kesambi kini tiada berada di antara kita,
bagaimana pandapat kalian apabila pertempuran hari ini kita sudahi sampai
sekian saja?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar