@bende mataram@
Bagian 179
Mendapat pikiran demikian, hatinya yang mulai cemas menjadi tenang kembali.
Tetapi Titisari waktu itu memang sengaja menguji ilmu petak ajaran Gagak
Seta. Karena itu lam-bat-laun kecurigaan Nuraini kian naik. Segera ia
mengenali dan rasa cemasnya bergolak hebat.
"Adik!" serunya mencoba. "Apa kabar Paman Gagak Seta?"
Mendengar Nuraini menyerukan nama Gagak Seta, Titisari heran sampai
berhenti berlari. Kemudian menyongsong dan mendadak saja melesat sambil
menghantam tulang rusuk.
"Adik! Adik! Siapa adikmu?" dia mendamprat.
Buk! Tulang rusuk Nuraini kena dihantamnya dengan satu jurus Ratna Dumilah.
Nuraini jadi penasaran. Melihat perangai Titisari, lantas saja timbullah
marahnya. Segera ia mengadakan perlawanan.
"Huh! Apa sih hebatnya Ilmu Ratna Dumilah," ejek Titisari. Kemudian dengan
gesit ia mengelak dan menghajar tulang rusuk Nuraini kembali. Buk!
Nuraini heran bukan kepalang. Pikirnya, apakah benar-benar dia murid Paman
Gagak Seta?
la mencoba menyerang. Sekarang ia mendapat kepastian. Titisari lagi
menggunakan jurus yang sedang dilancarkan. Bahkan lebih gesit dan lebih
sempurna. Keruan ia kaget sampai berteriak, "Tahan dulu. Siapa yang
mengajarimu jurus ini?"
Titisari tertawa. Menjawab, "Inilah ciptaanku sendiri. Mengapa? Apakah
murahan?"
Setelah berkata demikian dengan memutar tubuh ia melancarkan jurus ketiga.
Melihat gerakannya, Nuraini bertambah heran. Katanya, "Kau kenal nama Gagak
Seta?"
"Tentu saja aku kenal dia. Sebab dia adalah sahabatku. Soalnya, inilah ilmu
ciptaanku untuk merabu musuh. Lihat!"
Tanpa mempedulikan keadaan hati Nuraini dia terus menyerang dengan
jurus-jurus Ratna Dumilah bertubi-tubi. Sudah barang tentu Nuraini
keripuhan. Satu dua kali dia bisa menangkis. Selanjutnya terpaksa mundur
dan mundur. Tetapi Titisari terus memberondongi pukulan-pukulan dahsyat.
Memang dia lagi kumat. Hatinya gemas, sekaligus ia menyerang dengan
sungguh-sungguh. Kadang-kadang menggunakan jurus-jurus warisan ayahnya.
Sudah barang tentu, Nuraini bukan tandingan lagi. Sebentar saja pundaknya
kena terhajar dan kemudian pinggangnya. Tak ampun lagi ia roboh terjengkang.
Titisari benar-benar nakal. Melihat Nuraini roboh, tusuk rambut sitaannya
lantas diancamkan di depan kedua kelopak mata.
"Ih! liiih!" ia gemas dan seolah-olah ingin mencublas sekali tusuk.
Nuraini memejamkan mata. Bulu kuduknya menggelidik. Ia mencoba menyenakkan
mata. Terlihatlah tusuk rambutnya berkelebat di depan gundu matanya. Keruan
ia cepat-cepat menutup mata menunggu nasib. Tetapi ternyata Titisari tiada
mengusik matanya. Maka timbullah watak perwiranya.
"Kau menggangguku tanpa perkara. Kalau mau membunuh, bunuhlah cepat. Jangan
menyiksaku dengan membutakan mata."
"Hm, membunuh sih perkara gampang. Tapi tiada niatku hendak membunuhmu,"
sahut Titisari sambil tertawa nakal. "Hanya saja kamu harus bersumpah tujuh
turunan kepadaku."
Nuraini beradat angkuh, kukuh dan keras hati. Dalam soal kehormatan diri,
ia memilih mati daripada dihina. Maka ia menantang.
Keruan ia cepat-cepat menutup mata menunggu nasib...
"Kalau kamu mau membunuh, bunuhlah! Tapi jangan bermimpi kamu bisa
memaksaku bersumpah segala terhadapmu."
"Eh—hm..." Titisari mengancam. "Baiklah, kamu sudah kuberi kesempatan.
Sayang ... sayang...
rupamu cantik... siapa mengira akan mati muda..."
Nuraini memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua telinganya ditutupnya rapat.
Dan mulutnya terkatup rapat untuk menguatkan hati. Karena itu, sejenak jadi
hening.
Mendadak ia mendengar Titisari berkata, "Meskipun ayah-angkatmu adalah
sahabat ayah Sangaji, tapi kamu baru berkenalan dengan dia selama setengah
hari saja. Sebaliknya, aku sudah bersahabat beberapa hari sebelumnya. Aku
memanggilnya Aji begitu saja. Mengapa kamu begitu lancang dengan
memanggilnya kangmas? Apakah kaukira, dia sudi jadi suamimu?"
Mendengar ujar Titisari, Nuraini heran sampai tercengang-cengang.
"Kau bilang apa?" tanyanya menegas. "Bagaimana kamu berkata, bahwa aku
bakal jadi isteri kangmas Sangaji?"
"Hm... aku bukan goblok! Kau tadi berkata, kalau kamu akan membicarakan
suatu pesan almarhum ayah-angkatmu. Hayo... pesan apa itu!"
"Ah!" Nuraini terkejut. Mendadak terus berkata dengan mantap. "Baik... kau
menghendaki aku bersumpah apa?"
"Pertama-tama, kau harus menerangkan bunyi pesan gurunya. Kedua, kau harus
menerangkan bunyi pesan ayah-angkatmu. Ketiga, kau tak boleh kawin dengan
Sangaji," sahut Titisari dengan sungguh-sungguh.
Mendengar ujar Titisari, Nuraini tertawa. Tiba-tiba timbullah pula sifat
gadisnya, "Baik-baik aku...
bersumpah... eh tidak... Eh! Eh! Siapa mengira, kalau Kangmas Sangaji
mempunyai cadangan isteri begitu molek. Meskipun tak usah bersumpah,
bagaimana aku bisa kawin dengan dia."
"Hai, benarkah itu?" seru Titisari girang. Terus ia melepaskan ancamannya
sambil minta ketegasan lagi, "Mengapa? Apa karena Aji seorang pemuda yang
bebal otak? Atau karena tidak tampang? Hayo bilang!"
Nuraini menarik napas lega, karena terbebas dari ancaman. Matanya bersinar
girang. Melihat perangai dan keadaan hati Titisari, hatinya
bertambah-tambah lega. Menjawab tenang, "Dengarkan! Bukankah aku harus
menerangkan semua? Yang pertama, gurunya berpesan kepadanya agar dia
cepat-cepat menyusul ke Sejiwan. Dia akan ditunggu di kaki gunung. Dan
benda yang dicari belum diketemukan. Gurunya menunggu penjelasannya. Kedua,
inilah pesan ayah-angkatku yang hendak kubicarakan dengan Kangmas Sangaji.
Ayah-angkatku memang berpesan kepadanya, agar dia... agar dia mengambilku
sebagai isterinya. Tetapi ah,... Ayah lupa, kalau aku sudah menjadi milik
orang lain. Karena itu, bagaimana bisa aku melakukan pesan itu?"
Mendengar ujar Nuraini, Titisari girang bukan kepalang sampai mau melompat.
Lantas saja dia berkata nyaring merendahkan diri, "Maaf! Aku salah duga.
Jika demikian, tak usahlah kamu menepati tuntutanku yang penghabisan. Kau
boleh memanggil Aji dengan kangmas."
Setelah berkata demikian, ia memeluk Nuraini dan menciuminya. Kemudian
dengan kata mesra ia minta penjelasan, "Sesungguhnya, kamu milik siapa?"
Nuraini tak menjawab dengan segera. Mukanya merah dan tiba-tiba menunduk ke
tanah. Akhirnya berkata tersendat-sendat, "Kamu sudah pernah melihatnya."
"Aku sudah pernah melihat?" Titisari mengerutkan dahi. Sebentar dia berdiam
menebak-nebak, kemudian berkata, "Hm... apa ada seorang pemuda yang bisa
mencuri hatimu?"
"Eh!" Nuraini tertawa lebar, "Apa di dunia ini hanya ada Kangmas Sangaji
belaka?"
"Habis?" Titisari tertawa merasa, "Siapa yang melebihi dia? Apa kamu tidak
berbohong tak mau kawin dengan dia?"
"Meskipun aku hendak digantung, takkan mau aku menjadi isterinya."
"Mengapa? Apa karena dia tolol?"
"Tolol?" Nuraini terbelalak. "Sama sekali tidak. Aku mengagumi keluhuran
budinya, kemuliaan hatinya dan keperwiraannya."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar