@bende mataram@
Bagian 169
Dengan cekatan ia menyambar serenteng ikan-ikan tangkapan Titisari dan
bergegas keluar gua. Setelah itu, ia menyalakan perdiangan. Dan pada malam
harinya, mereka bertiga menggerumuti masakan Titisari yang benar-benar
terasa lezat luar biasa.
"Kamu ini memang anak iblis benar," kata Gagak Seta kagum. "Tanganmu
membawa kelezatan luar biasa. Selama hidupku baru kali inilah aku merasakan
masakan Karimun Jawa. Pantas, ayahmu betah tinggal di suatu kepu-lauan jauh
di seberang."
"Tak usah Paman mengeranyangi milik orang kampung. Kami membekal beberapa
ringgit. Asalkan Paman setuju, kita meneruskan perjalanan mendekati
perkampungan, ayam-ayam dan itik-itik akan kita peroleh."
"E-hem. Itu pun cara yang baik pula. Eh, ke mana sebenarnya tujuan kalian?"
Titisari mengalihkan pandang kepada Sangaji. Pemuda itu lantas menjawab.
"Ke selatan. Ke Desa Karangtinalang. Di desa itulah, aku dahulu dilahirkan.
Tapi aku dibesarkan di Jakarta."
Gagak Seta merenunginya, kemudian rrenguap lebar dan tanpa berpamitan ia
memiringkan tubuh dan merebahkan diri, belum lagi lima pernapasan, dia
telah mendengkur ribut. Dan mau tak mau kedua muda-mudi itu segera memilih
tempat berbaring masing-masing.
Menjelang tengah malam, Titisari telah tertidur lelap. Tinggal Sangaji
seorang diri yang masih bolak-balik di atas tanah. Dengan berdiam diri ia
merenungi perdiangan yang masih menyala terang. Pengalamannya berlatih
mengaatur napas sehari tadi sangat mengesan dalam dirinya. Dasar wataknya
ulet dan tabah, tak: dapat ia menyerah kalah dengan kenyataan sehari tadi.
la mencoba memecahkan persolannya. Pikirnya, apa yang dikatakan Paman Gagak
Seta benar belaka. Tapi mustahil ia dapat merasakan apa yang kurasakan
dalam diriku. Tetapi sewaktu kulepas, tubuhku lantas saja terasa menjadi
lemah lunglai.
Apakah hal ini tidak disebabkan karena aku terus melepaskan tenaga dengan
sekaligus? Jika kukendalikan sedikit demi sedikit, apakah sama juga
pengaruhnya? Baiklah kucoba."
Mendapat pikiran demikian, maka dengan diam-diam ia duduk bersila. Kemudian
mengatur napas menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Ketika sudah merasa kokoh,
segera ia menyedot napas menurut ajaran Gagak Seta. Mendadak saja terdengar
Gagak Seta menggerutu.
"Tolol! Jangan terlalu banyak mencampur-adukan, perlahan-lahan dan sedikit
demi sedikit!"
Ia terkejut bukan kepalang, karena sama sekali tak mengira pendengaran
Gagak Seta sedemikian tajam. Tapi diam-diam ia bergi-rang hati, karena
Gagak Seta lebih condong
menasihati. Maka dengan tekun dan penuh semangat, ia menjalankan semua
nasihatnya. Napas yang tersedot terlalu kuat, cepat-cepat dikurangi
sehingga terasa enteng merata. Dan ajaib! Pengaruhnya tidak begitu tajam.
Yang terasa kini, seolah-olah ada selembar lapis hawa merata ke seluruh
kulit dagingnya.
"Bagus!" Gagak Seta setengah girang. "Sekarang coba pertebal! Tapi jaga
jangan sampai bergelombang. Sedikit bergelombang, kamu akan merasa
pengaruhnya. Sebab gelombang itu akan membeku dan menjadi gumpalan tenaga
yang harus kaulepaskan cepat-cepat."
Perlahan-lahan dan hati-hati, Sangaji mencoba melakukan nasihat itu. Tetapi
bagaimanapun juga, dia belum mendapat pengalaman banyak. Keseimbangan
antara tenaga napas ajaran Ki Tunjungbiru dan ajaran Gagak Seta, belum
dapat dikuasai. Maka di luar kemampuannya sendiri, mendadak saja terasalah
tenaga Kumayan Jati mendesak tenaga Bayu Sejati. Sudah barang tentu Bayu
Sejati berusaha mempertahankan diri sebisa-bisanya. Karena itu, terjadilah
suatu pergumulan yang menimbulkan riak gelombang. Muka Sangaji lantas
bersemu hijau. Waktu itu, perdiangan dalam gua belum padam seluruhnya, maka
warna hijau itu cukup terang bagi penglihatan seorang ahli seperti Gagak Seta.
"Tolol! Apakah kamu mau bunuh diri!" bentak Gagak Seta.
Bentakan itu sangat dahsyat, sehingga Titisari terbangun sekaligus. Melihat
Sangaji dalam kesulitan, gadis yang cerdas itu cemas hatinya.
"Kendorkan perlahan-lahan!" perintah Gagak Seta. "Terlebih dulu Kumayan
Jati. Kemudian Bayu Sejati cepat tarik!"
Sebagai gadis yang terang otaknya. Titisari lantas bisa menebak
persoalannya. Tanpa disadari, terloncatlah ucapannya.
"Bagaimana kalau Bayu Sejati yang ditambah?"
Sebenarnya, ia tak tahu tentang sifat Bayu Sejati dan Kumayan Jati yang
bertentangan. Ia hanya menarik kesimpulan dari kata-kata Gagak Seta belaka,
yang memerintahkan agar menarik Kumayan Jati dan kemudian Bayu Sejati. Tapi
memang dia ditakdirkan sebagai seorang gadis yang sangat cerdas pada zaman
itu. Ayahnya, seorang ahli ilmu alam, ilmu falak, ilmu ukur, ilmu siasat
perang dan tata-berkelahi. Dalam hal ilmu tata-berkelahi, ia kurang menaruh
perhatian, sehingga tak mau mewarisi kepandaian ayahnya. Tetapi dalam hal
ilmu-ilmu lainnya, ia hampir sejajar. Tak bosan-bosannya ia mengadakan
percobaan mencampur adukkan ramuan-ramuan tertentu, sehingga ia ahli dalam
hal membuat racun, membuat ramuan obat-obatan dan memasak. Karena itu,
begitu mendengar istilah Kumayan Jati dan Bayu Sejati yang terlompat dari
mulut Gagak Seta, sekaligus ia dapat menebak.
Sangaji sendiri, sudah semenjak lama merasa takluk kepada kecerdasan
Titisari, maka begitu ia mendengar suaranya cepat-cepat ia melakukan
sarannya tanpa was-was lagi. Karena ajaran Ki Tunjungbiru telah terlatih
masak dalam dirinya, maka tak soal menambah atau mengurangi daya gunanya.
Bukan merupakan sulit baginya. Hasilnya sungguh mengagumkan. Sebab dengan
menambah tenaga Bayu Sejati, dengan sendirinya ia melepaskan tekanan arus
Kumayan Jati. Dengan demikian kekuatannya jadi berimbang. Tetapi seperti
dirasakan semula, ia belum menguasai keseimbangannya. Sehingga menambah
tenaga Bayu Sejati dan terlalu melepaskan arus Kumayan Jati yang agak
berlebihan, melahirkan suatu per-paduan yang timpang. Seketika itu juga,
warna mukanya yang tadi bersemu hijau kini jadi menghitam.
"Apa yang salah?" seru Titisari cemas.
Gagak Seta merenungi. Kemudian berkata penuh selidik. "Kaulakukan saran
bakal isterimu?"
Sangaji hanya kuasa mengangguk.
Kembali Sangaji mengendorkan tenaga Bayu Sejati dan menambah arus Kumayan Jati.
Tak lama kemudian, seluruh tubuhnya merasa nyaman. Tetapi karena kedua
tenaga sakti itu belum bisa melebur menjadi satu dan ditambah pula dengan
getah sakti Dewadaru, maka tetap saja merupakan unsur yang selalu
bertentangan. Sulitnya ialah, karena tak dapat terlihat oleh indera mata.
Sehingga keseimbangannya hanya berdasarkan rasa belaka. Maka kembali ukuran
arus Kumayan Jati terlalu kuat. Seketika itu juga, seluruh tubuhnya
menggigil dan mukanya berwarna hijau tua sampai kelopak matanya hijau
pengap pula. Segera Gagak Seta memberi aba-aba dahsyat. "Lontarkan pukulan!"
Sangaji mencoba bangun, tetapi tubuhnya seperti terpaku. Ia mencoba
menggeliat. Lengannya pun terasa menjadi kaku pula.
"Tambah Bayu Sejati dan coba lontarkan pukulan!" teriak Titisari tegang. Ia
tahu kalau Sangaji lalai sedikit tubuhnya bisa kaku menjadi arca.
Karena jerit Titisari, hati Sangaji terkesiap. Sesungguhnya bibit cinta
kasih mulai tersenyum dalam hati nuraninya. Dan orang tahu, apa arti cinta
yang tumbuh dalam hati seorang pemuda sebaya dia. Itulah cinta sejati yang
berani berkorban dalam segala hal. Maka dengan mati-matian, ia mengendorkan
arus Kumayan Jati dan menambah tenaga daya tahan arus Bayu Sejati. Begitu
ia merasa mendapat peluang, segera ia menggeliat dan melontarkan pukulan
gaya Gagak Seta. Pukulan itu dilontarkan dengan membabi buta dan tepat
mengarah dinding gua. Maka seketika itu juga, terjadilah suatu keajaiban
luar biasa.
Gua itu sekaligus runtuh berantakan dengan suara gemuruh.
"Bagus! Hebat!" puji Gagak Seta. Tapi berbareng dengan itu, cepat-cepat ia
menolong keadaan Sangaji yang jatuh terkulai.
Setelah pulih kembali, mulailah anak muda itu insyaf benar-benar. Karena
bagaimanapun juga, kedua unsur ilmu sakti itu masih saja berdiri sendiri.
Sifatnya bertentangan dan seo-lah-olah sedang berlomba. Mau tak mau ia
harus mendengarkan nasihat Gagak Seta agar melupakan ajaran Ki Tunjungbiru
untuk sementara sebelum mendapat jalan keluar.
"Paman! Pukulan yang tadi kulontarkan, benar-benar mengagumkan. Aku
hampir-hampir tak percaya. Tetapi mulai sekarang, aku akan tunduk kepada
setiap patah kata Paman ...
Gagak Seta waktu itu masih saja memijat-mijat seluruh tubuhnya, la berdiam
diri dan se-patah kata pun tiada terbintik keluar dari mulutnya. Suasana
dalam gua itu lantas saja menjadi tegang luar biasa.
Kesokan harinya, mereka meneruskan perjalanan mengarah selatan. Perjalanan
mereka kini mulai mengitari punggung Gunung Sumbing. Pemandangan
seberang-menye-berang sangatlah indahnya. Apa lagi, waktu itu habis hujan.
Mahkota daun-daunan nampak segar bugar. Dan sawah-sawah penduduk yang
bermukim di atas pegunungan berkesan meriahkan hati.
Gagak Seta menunggang kuda putih, sedangkan Sangaji dan Titisari membebani
punggung Willem. Mereka cukup kenal kekuatan Willem, sehingga tak usah
meragukan kesanggupannya. Sepanjang jalan Titisari mengobrol tentang
bermacam-macam resep makanan sampai mulut Gagak Seta yang keranjingan makan
enak, jadi meliur tak keruan. Hatinya bertambah kepencut dan takluk kepada
si gadis. Dengan demikian, orang tua itu sama sekali tak sadar sudah
menjadi tawanannya.
"Paman!" tiba-tiba Titisari mengalihkan pembicaraan. "Mengapa semalam
Sangaji begitu sengsara mencoba memanunggalkan dua ilmu saktinya?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar