9.01.2019

@bende mataram@ Bagian 168

@bende mataram@
Bagian 168


Kala itu, matahari hampir condong ke barat. Segera mereka teringat kepada
Sangaji yang masih saja berlatih di luar gua. Bergegas Titisari
memanggilnya. Dan ketika anak muda datang kepadanya, Titisari
menyongsongnya dengan tertawa bangga.


"Aji! Sekarang kau bisa memenangkan ilmumu. Makanlah! Aku akan mandi dahulu."


Setelah berkata demikian, gadis itu benar-benar pergi mandi. Ia melompat ke
sungai dan berenang ke sana kemari dengan gembira.


"Bakal isterimu itu cerdik luar biasa." Kata Gagak Seta menemani Sangaji makan.


"Ya," sahut Sangaji sederhana. "Tadi kulihat Paman sedang menurunkan suatu
ilmu begitu dahsyat. Kucoba melihat dari jauh. Mendadak penglihatanku
kabur. Ilmu apakah itu?"


Gagak Seta tertawa. Ia tidak melayani pertanyaan Sangaji. Bahkan ia
kemudian merebahkan diri dan tidur mendengkur seperti babi hutan.


Tak berani Sangaji mengganggunya. Sehabis makan, diam-diam ia melatih
mengatur napas menurut ajaran Gagak Seta. Tetapi seperti tadi pagi.
Darahnya seperti bergolak dengan sekonyong-konyong. Seluruh tubuhnya
bergetar. Napasnya jadi sesak dan matanya berkunang-kunang. Khawatir akan
salah laku, cepat-cepat ia membuka mulutnya sambil mengendorkan semangat.
Dan perlahan-lahan ia bisa menguasai diri lagi. Tapi dasar dia berwatak
ulet dan tabah. Tak gampang-gampang menyerah kalah. Sekali lagi ia mencoba
dan mencoba. Dan setiap kali ia merasa aliran darahnya terganggu
cepat-cepat ia melepaskan semangat. Begitulah ia berulangkali mencoba ilmu
Gagak Seta. Mendadak saja, sekilas pikirannya menusuk dalam benaknya.
Cepat-cepat ia memperbaiki diri. Kemudian berlatih mengatur napas




menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Dalam dirinya lantas timbul semacam hawa
hangat yang nyaman luar biasa. Hawa itu bergerak dengan halusnya dan meraba
seluruh urat-uratnya. Mendapat perasaan ini, ia gembira. Kemudian ia
berpikir, kalau sekarang aku menggabungkan ilmu ajaran Gagak Seta, apakah
akibatnya? Hatinya berdegup hendak mencobanya. Tetapi segera ia
mengendapkan degupan hati dan dengan hati-hati, ia menarik napas menurut
ajaran Gagak Seta sedikit demi sedikit. Tiba-tiba ia merasa ada suatu
gumpalan hawa yang muncul dalam perutnya. Gumpalan hawa itu makin lama
makin membeku. Anehnya, kian lama kian mengembang. Tak lama kemudian, hawa
hangat menurut ajaran Ki Tunjungbiru menghampiri. Mendadak saja tubuhnya
berguncang hebat. Karena kedua hawa yang berlainan sifat itu saling
bertubruk dan hisap-menghisap. Kedua hawa itu lantas berputar- putar sambil
tarik-menarik sehingga memenuhi seluruh tubuh. Seperti diketahui, menurut
Gagak Seta ajaran Ki Tunjungbiru adalah ilmu bertahan diri. Itulah intisari
dari Ilmu Bayu Sejati. Sebaliknya, ajaran Gagak seta bersifat merangsak dan
menghimpun tenaga. Karena dasar tenaga Sangaji berpijak kepada kesaktian
getah pohon Dewadaru, maka kedua kekuatan yang berlainan sifat itu saling
berebut hendak mengambil bahan tenaga. Yang satu merangsak dan yang lain
bertahan. Karena dasarnya sama kuat, maka tenaga getah sakti Dewadaru
lambat-laun terasa berubah sebagai bola yang berputar-putar dan meluncur ke
sana ke mari tiada tentu. Andaikata Sangaji sudah bisa meluncurkan tenaga
raksasa itu ke dalam urat-uratnya, alangkah akan besar gu-na-faedahnya.
Sayang, ilmu demikian belum dimiliki. Karena itu, yang terasa dalam
perutnya semacam bongkahan batu mengganjel perut. Bongkahan itu kadang
tersekam dalam pusat, kadang-kadang naik menyodok ketiak dan menutupi
rongga dada. Meskipun demikian, bongkahan hawa itu tiada menyakiti dirinya
seperti tadi. Dia hanya merasa geli dan bulu romanya meremang kalang-kabut.
Karena lambat-laun rasa geli itu menyeluruh sampai bulu-bulunya, ia tidak
tahan lagi. Cepat ia melepaskan kedua tenaga sakti yang saling berbenturan.
Di luar dugaan, begitu ter-lepas dari gangguan itu, mendadak saja tubuhnya
menjadi lemas tak berdaya.


Ia kaget luar biasa. Tatkala sadar akan kecerobohannya, Titisari sedang
memasuki gua dengan membawa serenteng ikan. Gadis itu terperanjat ketika
melihat muka Sangaji berubah menjadi bersemu hijau. Cepat ia meraba
pergelangan tangan dan dengan berteriak agak keras ia mencoba membangunkan
Gagak Seta.


"Paman! Apakah yang salah?"


Sebenarnya menurut pantas, orang yang sedang tidur berdengkur semacam Gagak
Seta takkan mendengar pekikan Titisari. Tapi Gagak Seta adalah seorang yang
mahasakti pada zaman itu. Hampir berbareng dengan kalimat Titisari yang
penghabisan, ia sudah meloncat bangun terus menyambar perge-langan tangan
Sangaji.


"Anak tolol!" makinya sungguh-sungguh. "Kamu mau bunuh diri? Bukankah sudah
kunasihatkan, agar tak mengingat-ingat ajaranmu yang dulu?"


Meskipun mulutnya memaki kalang kabut. Tapi segera dia bekerja. Dengan
bantuan tenaga saktinya, ia dapat mengendapkan pengaruh getah Dewadaru yang
dibangunkan oleh Ilmu Bayu Sejati. Apalagi dikala itu Sangaji telah
melepaskan pengaruh kedua tenaga ajaran saktinya. Maka dalam beberapa saat,
ia telah pulih kembali. Mukanya yang bersemu hijau, kembali menjadi merah
dan lambat-laun nampak segar seperti sediakala.


"Apa yang telah kaulakukan?" bentak Gagak Seta.


"Aku mencoba membangunkan ajaran yang lalu dengan ajaran Paman," jawab
Sangaji gugup. "Goblok! Tolol!" maki Gagak Seta. "Otakmu tumpul. Kau harus
menginsyafi, tahu?"


"Ya, memang otakku tumpul." Sangaji mengaku. Karena pengakuannya, mendadak
timbullah suatu iba dalam diri Gagak Seta. Mulutnya yang sudah siap-siap
hendak memaki lantas saja batal. Bahkan, timbullah rasa sayangnya. Sebentar
kemudian ia berkata menasihati.




"Memang, aku berharap kamu bisa melebur kedua ilmu itu. Tapi, jangan
sekarang! Sebab masing-masing belum kaupahami benar, sehingga kamu belum
punya pegangan titik imbangnya. Coba kalau tidak cepat-cepat ketahuan,
tubuhmu sudah hangus terbakar. Karena dalam dirimu tersekam tenaga sakti
yang dah-syat."


Titisari mempunyai kesan tertentu terhadap Sangaji. Mendengar Gagak Seta
memakinya, jadi tidak senang hati. Menungkas, "Hai Paman! Kau mau merasakan
kelezatan masakan Karimun Jawa tidak?"


"Tentu saja! Tentu saja!" Gagak Seta menebak-nebak.


"Nah, tolong aku membersihkan ikan-ikan. Dan jangan lagi memaki muridmu di
hadapanku." Sebentar saja orang tua itu terhenyak. Kemudian tertawa
terbahak-bahak.


"Eh! Jadi, aku salah omong? Baiklah aku minta maaf. Ayo, ayo kutolong."
Sangaji jadi perasa. Dengan sungguh-sungguh ia memotong.


"Semua ini akulah yang menerbitkan gara-gara. Biarlah Paman meneruskan
tidur. Aku akan membantu Titisari. Dan aku berjanji, aku tidak akan
mengulangi kesem-bronoanku semacam tadi."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar