6.15.2014

Cerita






Adakah wanita seperti ini sekarang.... Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang
akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.
Kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab
dan tertutup sedang duduk disamping masjid.
Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga.
Aku mencoba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sembari
berkenalan. Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada
pertanyaan itu. "Anti sudah menikah?".
"Belum ", jawabku datar. Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu
bertanya lagi "kenapa?"
Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab dengan
senyuman. Ingin kujawab karena masih hendak
melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan
alasan. "Mbak menunggu siapa?" aku mencoba
bertanya.
"Menunggu suami" jawabnya pendek. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop
dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa
isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya
kuberanikan juga untuk bertanya "Mbak kerja di
mana?" Entah keyakinan apa yang membuatku demikian
yakin jika mbak ini memang seorang wanita
pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti
ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah
tangga. "Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak
bekerja lagi" jawabnya dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan
hati. "Kenapa?" tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab "karena
inilah PINTU AWAL kita wanita karir yang bisa
membuat kita lebih hormat pada suami" jawabnya
tegas. Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya
berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat
kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin
didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh
saja. "Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya
sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di
pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah
baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya
saya menangis karena merasa durhaka padanya. Kamu tahu kenapa ? Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput
saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam
3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya
istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir.
Ya, Saya akui saya sungguh capek sekali ukhty. Dan
kebetulan saat itu suami juga bilang jika dia masuk angin dan kepalanya pusing. Celakanya rasa pusing
itu juga menyerang saya. Berbeda dengan saya,
suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk
minum, tapi saya malah berkata, "abi, umi pusing
nih, ambil sendiri lah !!". Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat
isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang.
Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya
tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah
bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya
kalo bukan suami saya (kami memang
berkomitmen untuk tidak memiliki khodimah)?
Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera
masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang
wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya,
keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali
panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya
pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air
putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak
suami saya." Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan
semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan
kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya. "Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat
berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700 rb/
bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam
itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada
suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu
meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan
ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali memberikan
hasil jualannya, ia selalu berkata "Umi, ini ada
titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan
Umi ridho", begitulah katanya. Saat itu saya baru
merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong dan durhaka pada nafkah
yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir
tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah ini" "Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk
berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini,
saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan
suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa
harta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar