@bende mataram@
Bagian 203
Kedua orang yang sedang mengadu keuletan itu menjadi terkejut. Sang
Dewaresi melayangkan matanya. Tiba-tiba saja di atas sebatang pohon yang
berada tak jauh dari gelanggang pertempuran nampaklah seorang yang
mengenakan jubah abu-abu duduk bercokol di atas dahan. Orang itu mengenakan
topeng tipis yang buruk bukan main. Sekali pandang orang akan mengira
bertemu dengan hantu pemangsa manusia.
Sebagai seorang sakti ia kagum bukan main. Karena sama sekali tak mendengar
kehadirannya. Diam-diam ia menyesali pendengarannya yang selamanya
diagung-agungkan. Pringgasakti pun diam-diam terkejut pula. Meskipun dalam
keadaan sibuk, biasanya pendengarannya yang tajam masih bisa menangkap
bunyi daun yang jatuh dari ranting.
Tapi kali ini sama sekali tidak. Dengan mengerlingkan mata, ia
mengamat-amati orang berjubah abu-abu itu selintasan. Waktu itu angin
meniup tajam sampai menggoyangkan mahkota daunan. Tetapi orang itu dapat
duduk bercokol dengan tenang dan sama sekali tak tergeser. Hal itu
membuktikan, betapa hebat ilmu ringan tubuhnya.
Sementara itu orang berjubah abu-abu terus meniup serulingnya sambil
sekali-kali bersiul panjang melengking. Tiba-tiba saja, barisan tabuan yang
terbang berlingkaran tersibak bubar. Seperti tersapu hawa panas, barisan
tabuan itu memanjat tinggi di udara dan bubar berderai tak keruan.
Sang Dewaresi terheran-heran. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami
kejadian seperti hari itu. Cepat ia mencoba menguasai, la bersiul panjang
seperti biasanya. Tetapi bunyi siulnya seperti tertindas dan terlindas oleh
siulan orang berjubah abu-abu. Akhirnya, bahkan dirinya merasa seperti
terserang suatu aliran hawa yang panas bukan kepalang. Ia kaget dan
cepat-cepat mempertahankan diri. Namun, ia kena tergeser oleh suatu
dorongan halus tetapi kuat luar biasa.
Pringgasakti waktu itu terus saja duduk bersila di atas tanah. Dengan
sungguh ia mencoba bertekun bersemadi. Darahnya terasa bergolak sangat
cepat dan menusuk-nusuk kepala. Karena hebatnya pengaruh siulan orang
berjubah abu-abu itu, tubuhnya sampai menggigil.
Nuraini yang terbaring di atas rerumputan, terkena pula serangan orang
bejubah abu-abu itu. Ia mencoba bergerak dan bangun tertatih-tatih. Tetapi
hawa udara seperti menindasnya di tanah. Maka terpaksa ia
me-rangkak-rangkak mencoba menjauhi. Mendadak saja, pinggangnya terasa kena
sambar. Cepat ia menoleh. Ternyata dia sang Dewaresi yang dalam
kegugupannya, terus saja melarikan diri sambil menggondol mangsanya.
Syukurlah, pengaruh orang berjubah abu-abu itu menyiutkan hatinya.
Andaikata tidak, Nuraini pasti akan menjadi korban kebiadap-annya. Karena
itu, dia hanya berani menggondol pergi selintasan saja. Khawatir ia akan
dikejar orang berjubah abu-abu, maka Nuraini dilemparkan ke tanah.
Sedangkan dia sendiri lari Iintang-pukang tak tentu arah tujuannya.
"Bagus!" seru Titisari dengan tiba-tiba. "Memang selama hidupku tak pernah
aku percaya pada hantu. Kini ternyata benar belaka.
Apakah kalian percaya ada hantu muncul di siang hari?"
Sangaji, Wirapati, Bagus Kempong, Sanjaya dan pendekar-pendekar lainnya
diam tak menyahut. Masing-masing lagi terbenam dalam benaknya yang penuh
dengan teka-teki. Mendadak saja terdengar Bagus Kempong berkata kepada
Wirapati,
"Adikku Wirapati. Benar-benar hebat muridmu. Dia sanggup mengalahkan iblis
itu, sedangkan aku sendiri belum tentu bisa."
Wirapati sesungguhnya heran dan kagum kepada kemajuan Sangaji. Tahulah dia,
bahwa muridnya menggunakan ilmu sakti bukan berasal dari perguruannya atau
ajaran Jaga Saradenta. Maka sebagai orang jujur dia lantas saja berkata,
"Janganlah Kakak memuji terlalu tinggi terhadapku. Sebagai guru betapa
takkan girang menyaksikan kemajuan salah seorang muridnya. Hanya saja
apabila mengira, bahwa kemajuannya adalah hasil ajaranku benar-benar salah.
Aku sendiri kagum kepadanya."
Mendengar percakapan gurunya dengan Bagus Kempong, hati Sangaji tak
tenteram. Meskipun gurunya tiada mencelanya, tetapi ia merasa bersalah
menerima ajaran seseorang. Hal itu berarti bahwa ia mengangkat seseorang
guru lain di luar pengetahuan gurunya. Memperoleh pertimbangan demikian,
cepat ia men-bungkuk hormat kepada Wirapati.
"Guru! Sesungguhnya..." Tetapi baru mengucap demikian, mendadak saja
Pringgasakti sudah berada di depannya kembali dengan bertolak pinggang.
"Hai bocah! Kau benar-benar sudah dapat memahami ilmu Kumayan Jati ajaran
si jem-bel Gagak Seta. Bagus! Otakku tumpul, sampai aku tadi tak mengenal
ilmu saktimu. Hm ...
sekarang janganlah kau mengira, bahwa aku takkan sanggup melawan ilmumu.
Ingat-ingat-lah, bahwa aku murid Adipati Surengpati. Murid Adipati
Surengpati betapa takkan mampu melawan murid Gagak Seta. Cuh! Hayo kita
bertempur kembali... Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu sakti
Kumayan Jati," damprat Pringgasakti.
Sangaji seorang pemuda yang sabar dan jujur. Mendengar tantangan
Pringgasakti, ia membungkuk hormat sambil menyahut.
"Sebenarnya, aku bukan tandinganmu. Aku hanya dapat melawan kegagahanmu
secara kebetulan belaka. Apabila kali ini engkau telah sadar akan
kelalaianmu, pastilah aku bukanlah lawanmu lagi. Karena itu, mestinya aku
harus menyatakan takluk kepadamu..."
"Ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Pukulan keras dan pukulan
lembek. Semuanya berjumlah delapan belas jurus. Kemudian ditambah pula enam
pukulan guntur. Kulihat, engkau belum menggunakan seluruhnya."
Pringgasakti tak menghiraukan.
"Ocapanmu benar belaka," sahut Sangaji, "Memang belum seluruhnya aku
menggunakan semua pukulan ilmu sakti Kumayan Jati."
"Mengapa?"
Mendengar penegasan Pringgasakti, cepat-cepat Titisari mencegah agar
merahasiakannya. Tetapi Sangaji yang jujur mendadak saja menjawab, "Sebab,
aku belum menerima warisan ilmu Kumayan Jati dengan seluruhnya."
"Bagus!" sahut Pringgasakti dengan gembira. Kedua kelopak matanya lantas
saja bersinar terang. "Belum lagi engkau menerima ajaran ilmu sakti Gagak
Seta, ternyata kau telah dapat menjatuhkan aku. Hm, apakah Gagak Seta
benar-benar seorang mahasakti tak terlawan? Ah, terpaksalah aku menguji
dirimu anak muda."
Mereka yang mendengar bunyi ucapan Pringgasakti jadi heran dan cemas.
Ternyata alasan pertempuran tidak hanya berkisar soal mempertahankan harga
diri dan pembalasan dendam tetapi mendadak saja menyangkut pula tentang adu
ilmu sakti. Di sini terasa terjadinya bibit bentrokan antara Adipati
Surengpati dan Gagak Seta.
Sangaji masih saja berlaku sabar. Katanya mengalah, "Titisari, kawanku ini
yang masih begini muda tak dapat aku lawan. Apalagi melawan engkau. Ilmu
Adipati Surengpati adalah salah satu ilmu di dunia ini, yang kukagumi
dengan segenap hatiku..."
"Eh Abu!" Titisari menyambung, "Apakah maksudmu menantang kawanku dengan
mengadu ilmu Karimun Jawa? Masakan ada seorang di kolong langit ini yang
mampu melebihi ayahku?"
"Ehem agar hatiku yakin, apa buruknya aku menguji kawanmu...." Pringgasakti
tetap bersikap
tegang. Dengan tiba-tiba pula, kakinya terus menjejak dan menyerang cepat.
Sangaji mengelak ke samping. Dan pudarlah benteng kesabarannya. Dengan mata
berapi-api meledaklah suaranya,
"Aku sudah berusaha menghormati tataran angkatan tua. Tapi engkau tetap
membandel. Bahkan menyerang aku dengan tiba-tiba. Silakan!" Habis berkata
demikian, tinjunya lantas saja menyerang. Dan terdengarlah derum angin
bergulungan. Pringgasakti melompat ke samping dan menyambut serangan
Sangaji dengan cengkeramannya.
"Pukullah aku dengan jurusmu yang tanpa suara," seru Pringgasakti. "Dengan
menggunakan pukulanmu yang bersuara, kau bukan tandinganku."
Mendengar ucapan Pringgasakti, Sangaji melompat mundur sambil berkata,
"Pukulanku tanpa bersuara berjudul pukulan iblis. Dalam keadaan biasa, aku
dilarang melepaskan. Karena hal itu bertentangan dengan pengucapan darah
seorang ksatria. Andaikata pada suatu hari aku melihat seseorang
menggunakan pukulan demikian terhadap seseorang yang belum patut
dimusnahkan, akan kuku-tuki dan kubenci sampai tujuh turunan. Karena itu,
betapa aku sudi menggunakan jurus itu terhadapmu? Kalau tadi aku
melontarkan pukulan demikian, bukanlah dengan sengaja. Tapi semata-mata
untuk mengusir hawa racunmu yang mulai merayapi tubuh. Jadi aku berdaya
mempertahankan diri terhadap racun dan bukan terhadapmu. Dengan demikian,
adalah benar-benar hina apabila kau memaksa dirimu agar bertempur melawan
pukulan iblisku. Aku emoh."
Suara Sangaji meskipun menggelikan dalam pendengaran para pendekar, tetapi
berkesan sungguh-sungguh. Sehingga mau tak mau hati nurani Pringgasakti
tergerak juga.
Ih! anak muda ini berhati mulia, pikirnya. Tetapi ia membentak, "Aku minta
kepadamu, agar engkau menggunakan pukulan iblismu. Jadi bukan kesalahanmu
apabila engkau terpaksa menggunakan. Dan tenang-tenangkan-lah hatimu,
karena aku mempunyai cara untuk memecahkan. Apa perlu kamu berpura-pura
berbicara kemanusiaan terhadap aku iblis tua bangka?"
Sangaji mengerling kepada seseorang berjubah abu-abu yang menggunakan
topeng mayat. Pikirnya, mungkin dia telah mengajarkan ilmu memecahkan
pukulan sakti Paman Gagak Seta. Jika mampu siapakah dia?
Sangaji diam-diam menimbang-nimbang, la melihat Pringgasakti terus
mendesak. Karena itu mau tak mau ia terpaksa berkata memutuskan, "Baiklah!
Aku akan mencoba melayani kehendakmu."
Sangaji lantas saja mengingat-ingat semua jurus ilmu sakti Kumayan Jati dan
pukulan rahasia hasil penemuannya dengan tiba-tiba tadi. Diam-diam ia
menyalurkan tata napas Baju Sejati dan Kumayan Jati. Ternyata dia tak
menemukan suatu kesulitan, meskipun belum terlalu lancar. Tetapi andaikata
Pringgasakti mendadak bisa bergerak di luar dugaan, rasanya dia masih mampu
untuk mempertahankan diri. Memperoleh pikiran demikian, majulah dia
memasuki gelanggang per-tempuran. Mendadak saja ia mendengar angin berdesir
lewat di sampingnya, la kaget. Cepat ia menoleh dan menarik tinjunya ke
dada. Kemudian merubahnya dengan suatu jurus lain. Tetapi kembali ia
mendengar suara srr... lewat di sampingnya. Ia kaget bercampur heran.
Karena begitu tinjunya hendak dikembangkan, Pringgasakti sudah dapat
menebak dengan cepat dan tepat. Tahu-tahu ia kena suatu tangkisan hebat
yang segera dapat mementalkan tinjunya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar