@bende mataram@
Bagian 201
Nuraini tidak memperhatikan semua itu. Sesudah makan, cepat ia menuju ke
utara. Di batas kotapraja, ia berhenti sebentar mengintip penjagaan. Memang
pada dewasa itu, ada penjaga pintu bergiliran. Seseorang tak dapat dengan
mudah keluar-masuk kota sesuka hatinya.
Setelah malam hari tiba, cepat Nuraini melintasi batas kota dan sebentar
saja sampailah dia di pinggiran. Seberang-menye-berang jalan berdiri
petak-petak hutan dan sawah. Jalan yang dirambahnya agak lumayan keadaannya
apabila dibandingkan dengan jalan pedusunan. Kira-kira bulan hampir
tersembul di udara, dia telah tiba di Secang. Di sana ia melihat persimpangan
jalan menuju Temanggung.
Apakah simpang jalan inikah yang dikehendaki Sanjaya? pikirnya. Sebentar ia
menim-bang-nimbang, kemudian segera membelok ke barat. Ia segera melihat
sebuah gundukan tanah yang berada agak jauh dari jalan raya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia terus mendekati.
Dua jam lamanya, ia mencari tumpukan batu. Masih saja dia belum menemukan,
sehingga hampir putus asa. Pikirnya, biarlah aku mencari penginapan dahulu.
Besok pagi, aku mencarinya lagi.
Tak jauh dari tempat itu, nampaklah sebuah gubuk reyot. Dengan
kegirangannya larilah dia menghampiri. Mendadak saja, kakinya terantuk
sebuah tumpukan batu. la kaget sampai mundur. Sebab tatkala diamat-amati,
ternyata bukanlah bongkahan batu semata. Tetapi bercampur pula dengan
beberapa kerat tulang-tulang manusia dan binatang.
"Ih!" hatinya tergetar. Ia hendak memutar tubuh untuk kabur. Hatinya ngeri
luar biasa. Maklumlah, kala itu dia berada di atas gundukan tanah yang
tinggi. Sekelilingnya remang. Keadaannya lengang dan senyap. Hanya
terdengar sekali-sekali angin mendesir menghembus daun. Untunglah, dia
bukan pula seorang gadis lemah hati. Dalam kengeriannya, masih bisa dia
menenangkan diri. Sesaat kemudian terpikirlah bahwa tiada perlunya takut.
Oleh pikiran itu, dengan memaksa diri ia bersenyum dan lantas saja
menaruhkan benda Sanjaya di atas tumpukan batu.
Tak kukira, bahwa gurunya mempunyai adat
yang aneh. Mestinya seorang yang luar biasa. Pantas, guru-guru Kak Sangaji
menyebutnya sebagai iblis. Apakah benar-benar dia iblis? pikirnya. Dan
kembali bulu kuduknya menggelidik. Memang dia mengenal guru Sanjaya dengan
selintasan saja, tatkala di Pekalongan. Waktu itu dia lagi bersimpuh sedih
menghadapi mayat Wayan Suage. Dengan demikian, tak begitu memperhatikan. Ia
pun tak mengetahui, bahwa guru Sanjaya mempunyai kebiasaan menghisap darah
seorang gadis. Apabila hal itu sudah diketahui, belum tentu dia sudi
melakukan perintah Sanjaya. Bukankah hal itu samalah halnya dengan mencari
mati sendiri?
Sebentar ia bermenung-menung di dekat tumpukan batu. Mendadak teringatlah
dia kepada pesan Sanjaya, agar meninggalkan tempat itu dengan segera.
Percaya bahwa pesan Sanjaya pasti ada maksudnya, maka cepat-cepat ia
menuruni gundukan tanah itu. Sebentar saja lenyaplah dia di kegelapan
malam. Dengan demikianlah, ia membatalkan maksudnya hendak menginap di
gubuk reyot. Inilah nasibnya yang baik. Sesungguhnya seseorang yang belum
sampai pada batas perjalanan hidupnya, seperti diselimuti dewa. Seumpama
dia menginap di gubuk itu, belum tentu esok hari bisa melihat matahari lagi
seperti kemarin.
Malam itu dia terus berjalan pulang ke Dusun Karangtinalang. Menjelang
fajar sampai dia di halaman rumah. Ia berharap bisa bertemu dengan Sanjaya.
Ternyata pemuda itu meninggalkan dusun dengan tiada kabarnya. Sebentar dia
terlongong-longong karena heran men-siasati perangai kekasihnya. Tapi
karena lelah, akhirnya dia tertidur tak setahunya sendiri.
Kira-kira matahari menjenguk udara setengah penggalah tingginya, ia
terbangun dengan geragapan. Teringat akan kekasihnya, ia segera
membersihkan badan. Kemudian berusaha mencarinya, la yakin, bahwa
kekasihnya masih berada di sekitar dusun itu. Apabila tidak, mengapa
memanggil gurunya. Demikianlah, menjelang tengah hari sampailah dia di
sebelah barat daya Dusun Karangtinalang. Jejak kekasihnya, benar-benar
lenyap tak keruan. Duduklah dia di pinggir jalan di bawah sebatang pohon.
Mendadak ia mendengar sesuatu. Cepat ia menajamkan pendengaran. Tak usah
lama ia menunggu. Odara sekonyong-konyong berubah menjadi hitam pekat, la
menengadah. Dan nampaklah ratusan ribu tabuan terbang
berdengungan menutupi cahaya surya yang hendak mendekati bumi.
Tengah dia sibuk menebak-nebak, pundaknya diraba oleh suatu tangan yang
empuk berdaging. Ia kaget bukan kepalang. Tanpa menoleh ia melesat ke
depan, kemudian sambil melindungi dadanya, ia memutar tubuh. Di luar
dugaannya, orang yang meraba pundaknya sudah berada pula di belakangnya dan
kembali meraba pundak. Keruan saja, ia kaget sekali dan cepat melesat ke
depan. Tetapi kembali pula pundaknya teraba dari belakang. Enam kali
berturut-turut dia dipermainkan demikian. Mau tak mau keringat dingin mulai
berbicara.
"Kau siapa?" akhirnya dia menegur dengan jantung berdegupan. Sadarlah dia,
bahwa orang yang meraba pundaknya itu pastilah bukan orang sembarangan.
"Benar-benar manis. Siapakah kamu Nona?" terdengar suatu suara.
Cepat Nuraini memutar tubuh dan di depannya berdirilah seorang laki-laki
setengah umur yang mengenakan pakaian putih bersih dan hiasan dada yang
mentereng. Dialah sang Dewaresi yang baru saja meninggalkan serambi rumah
batu di Desa Gebang sehabis dipermainkan Gagak Seta dan Titisari.
Nuraini belum pernah mengenal sang Dewaresi. la hanya menduga, bahwa orang
itu bukan manusia baik dan pasti seorang pendekar sakti. Maka ia memutar
tubuh dan lari secepat-cepatnya. Tetapi sambil tertawa bening, sang
Dewaresi dapat menyusulnya ke mana saja berlari. Bahkan tiba-tiba saja,
sang Dewaresi sudah berada di depannya menghadang dengan tangan terbuka.
Nuraini merasa tak berdaya. Hampir saja dia terhenyak masuk ke dalam
pelukannya. Untung dia gesit. Cepat ia menjejak tanah dan melesat ke
samping. Tapi untuk kedua kalinya orang itu sudah berada pula di depannya.
Setelah empat-lima kali mengalami kejadian yang sama, Nuraini jadi nekad.
Tiba-tiba saja ia menghunus belati dan kemudian menyerang tiga kali
berturut-turut. Tentu saja sang Dewaresi dapat menghindari dengan mudah.
"Ih begini galak kau manis," kata sang Dewaresi sambil tertawa.
la mengelak ke samping. Tangannya mengibas perlahan, tahu-tahu ia sudah
berhasil memeluk pinggang Nuraini yang langsing padat.
Nuraini berontak sekuat-kuatnya, tetapi sia-sia belaka. Bahkan pelukan itu
kian menjadi kencang sampai pinggangnya terasa nyeri. Belatinya pun,
akhirnya terampas pula.
Merasa tercengkeram bahaya, ia berontak sekali lagi. Ternyata, ia malah
kena peluk kian rapat. Tubuhnya terpilin-pilin pula, dan tiba-tiba saja
urat nadinya tertekan seperti cara Titisari menguasai dirinya. Maka ia
rebah terkulai tak dapat berkutik.
Perlahan-lahan sang Dewaresi tertawa, berkata, "Manis siapakah namamu? Jika
kau berjanji mau mengikuti aku ke mana aku pergi, kamu akan segera
kumerdekakan."
Setelah berkata demikian, sang Dewaresi memeluknya sambil meraba-raba
lengan dan lehernya. Sekaligus menggeridiklah bulu roma Nuraini. Tahulah
dia, bahwa orang itu adalah bangsa buaya darat yang berbahaya. Hatinya
menjerit dan mendongkol sampai akhirnya hampir menyita napasnya. Maklumlah,
dia tak kuasa berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri, karena tubuhnya
lemas kehilangan gerak. Lantas saja dia pingsan tak sadarkan diri.
Waktu menyenakkan mata, ia heran bukan kepalang. Ternyata ia berbaring di
atas rerumputan. Di belakangnya berdiri enam orang berpakaian putih
memegang golok. Sang Dewaresi berdiri tegak di depannya menghadapi seorang
laki-laki yang berwajah luar biasa. Orang itu mengurai rambut.
Kepalanya gede, bibirnya tebal, kulitnya hitam mengkilat. Untuk girangnya
teringatlah dia. Pikirnya dalam hati, bukankah dia yang dahulu di alun-alun
Pekalongan. Mestinya dialah guru Sanjaya. Nampaknya dia begini tegang.... Ah!
la melihat Pringgasakti lagi menghadapi sang Dewaresi dan anak-buah siap
untuk berkelahi.
Masing-masing mempersiagakan senjata, hanya Pringgasakti seorang yang tetap
bersenjatakan kedua belah tangan belaka.
"Saudara kamu keliru," kata sang Dewaresi. Pringgasakti tertawa mendongak.
"Biarpun aku sudah tua bangka, dua mataku ini belum pernah mengkhianati
aku," katanya. "Hm, apa buktinya?"
Kembali lagi Pringgasakti tertawa. Sambil mengerling kepada kain bersulam
yang melilit leher Nuraini, dia berkata.
"Di dunia ini di manakah terdapat kain leher yang mengemban pekerjaan
tanganku sendiri?"
Sang Dewaresi menoleh ke arah Nuraini yang sudah menyenakkan mata. Ternyata
gadis itu benar-benar mengenakan kain bersulam melilit leher, la seperti
tersadar akan kesem-bronoannya. Kemudian berkata memutuskan.
"Baiklah. Kamu menghendaki gadis ini? Itu gampang. Aku pernah mendengar
kabar dan tahu belaka, bahkan pada saat-saat tertentu kau membutuhkan darah
seorang gadis untuk menambah tenaga. Bagaimana kalau kita saling
tukar-menukar."
"Hm, apa kauhilang?" bentak Pringgasakti. "Kau berbicara seolah-olah dia
milikmu. Bagaimana kamu berani berlagak demikian terhadapku?"
Hati Nuraini tergoncang mendengar percakapan mereka. Teringat akan pesan
Sanjaya, bahwa ia harus cepat-cepat meninggalkan di mana gurunya berada,
tahulah kini apa maksudnya.
Apakah benar apa yang dikatakan laki-laki berbaju putih ini, pikirnya.
Mendengar guru Sanjaya tiada membantah, bulu kuduknya lantas saja berdiri
tegak. Inilah namanya, keluar dari seorang singa tercebur ke mulut buaya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar