9.20.2019

@bende mataram@ Bagian 200

@bende mataram@
Bagian 200


Mendengar Sangaji berada di sekitar Dusun Karangtinalang, tergetarlah hati
Sanjaya. Dengan kesabarannya, ternyata usahanya nampak berhasil. Cepat ia
menyembunyikan gejolak hatinya,


la berdiri tegak seolah-olah sedang terharu.


"Apakah dia berada di sini?" tanya Sanjaya minta keterangan. "Ya. Mengapa?"


"Di mana dia kini berada?" "Apa maksudmu?"


"Ah! Masa kamu tak tahu?" Sanjaya gugup. Kemudian berpikir, biarlah dia
kubawa kembali ke Pesanggrahan. Di sana dia kukurungnya. Kemudian aku
memerintahkan Paman Abdulrasim, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan


Cocak Hijau menangkap bocah itu. Masakan akan gagal?


Memperoleh pikiran demikian, segera ia meraih lengan Nuraini sambil berkata
penuh sesal. "Lihat! Aku begini gopoh. Semenjak peristiwa di Pekalongan,
hatiku luar biasa gelisah. Aku merasa bersalah. Karena itu, ingin aku
menemui dia untuk membicarakan suatu hal yang penting. Lebih cepat lebih baik."


"Kamu hendak berbicara mengenai apa?" tiba-tiba suara Nuraini keras.
Sanjaya diam sejenak. Pikirannya bekerja keras.


"Ingatkah kau tadi, bahwa aku membicarakan perkara pertaruhan? Sebenarnya
aku lagi bertaruh demi ibuku."


"Bertaruh demi ibumu?" Nuraini terperanjat berbareng heran.


"Ya. Kau ingin mendengar? Dengarkan," sahut Sanjaya cepat sambil
menggandeng Nuraini berjalan perlahan-lahan menuju ke pesanggrahan.


"Setelah peristiwa di Pekalongan dahulu ibuku terus jatuh sakit," katanya
mengada-ada. "Semua tabib diundang untuk memeriksa penyakitnya. Tetapi
semuanya gagal. Mereka meramalkan, bahwa ibuku takkan sembuh kembali.
Tetapi aku berani bertaruh, bahwa ibuku akan dapat kusem-buhkan."


"Dengan cara bagaimana?" Nuraini tertarik.


"Karena aku tahu, Ibu terlalu memikirkan putera Paman Made Tantre. Ingin
beliau membawa anak paman itu hidup bersamaku di istana Bumi Gede, karena
itu aku datang ke Karangtinalang. Niatku hendak mencarinya sampai ketemu.
Aku percaya, bahwa dia berada di dusun ini. Hanya saja, aku belum berhasil
menemukan tempatnya berada. Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan,
"Nuraini! Apakah kau tak menginginkan Ibu sembuh kembali?"


"Tentu saja! Mengapa kau berkata demikian?" Nuraini menyahut cepat." Tapi
yakin, bahwa kak Sangaji takkan sudi datang dan hidup bersama di rumah
bukan keluarganya."


"Benarkah itu? Kau berani bertaruh?"


"Aku berani bertaruh." Nuraini yakin. Dan mendengar ucapannya, Sanjaya
tertawa senang. "Mengapa kau tertawa?" tegur Nuraini.


"Nah, apa kubilang tadi. Belum lagi kau memasuki keluargaku, kau sudah
mulai mengerti arti kata bertaruh. Alangkah bahagianya kelak, apabila kamu
hidup di sampingku bersama anak Paman Made Tantre."


Nuraini terperanjat mendengar ujar Sanjaya. Ya, tanpa disadari sendiri dia
mulai bertaruh pula. Inilah suatu kekalahan. Tetapi hatinya terhibur
mendengar rencana hidup Sanjaya di kemudian hari. Sebagai seorang gadis
yang sedang dimabukkan kasih, kata-kata demikian benar-benar seperti mimpi
kejatuhan bulan.


"Itukah kehendakmu hendak berbicara dengan Kak Sangaji?" ia mencari
keyakinan lagi.


"Ya. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya agar sudi
mengunjungi ibuku. Syukur dia mau terus berdiam bersamaku. Tentu saja
bantuanmu sangat kupinta."




Nuraini diam menimbang-nimbang. Lama dia berdiam diri. Dan sementara itu,
mereka telah sampai di Pesanggrahan. Segera Sanjaya membawanya masuk ke
dalam rumah. Seperti tadi, mereka duduk berhadap-hadapan bahkan agak
berdekatan.


"Apakah dia berada di dekat rumah kita ini?" Sanjaya menegas yang
dimaksudkan dia adalah Sangaji, karena ia enggan memanggil nama itu.


"Sebentar lagi matahari terbit. Kuantarkan nanti ke pondoknya," kata Nuraini.


Sanjaya merasa tak dapat memaksa lagi. Pikirnya, apakah dia mencurigai aku?
Baiklah kusuruhnya seluruh tentara berkuda berangkat terlebih dahulu.
Dengan kepergian mereka dia pasti mempercayai aku.


Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah kepada seorang
penjaga membangunkan pemimpin pasukan. Apabila sudah menghadap, ia
memerintahkan agar tentara berkuda semua berangkat pulang ke Bumi Gede.
Setelah itu, ia memanggil Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana
dan Abdulrasim. Mereka semua diberi perintah untuk berangkat pulang dengan
mengedipkan mata.


"Antarkan paman-paman ini sampai ke per-simpangan jalan. Kemudian Paman
menunggu kedatanganku," katanya kepada Abdulrasim.


Kelima pendekar itu segera berangkat bersama seluruh pasukan berkuda.
Itulah sebabnya, tatkala Sangaji dan Titisari meninggalkan pondok, mereka
tak melihat lagi tentara berkuda Sanjaya yang mendiami rumah ayahnya.


Dalam hal tata kecerdikan dan kelicinan, bagaimana dapat Nuraini melawan
Sanjaya. Maka gadis itu benar-benar percaya, bahwa maksud Sanjaya adalah
benar-benar membersit dari ketulusan hatinya. Apabila tidak, mengapa
memerintahkan semua tentara berkuda dan pengawalnya meninggalkan dusun.
Sama sekali ia tak menduga arti kedipan mata itu yang banyak mengandung
arti dalam. Bagi seorang pendekar, cukuplah sudah untuk menduga-duga.
Sebaliknya bagi seorang gadis seperti Nuraini yang belum banyak makan
garam, bagaimana bisa mengetahui maksud hati Sanjaya. Maka setelah
membersihkan badan, dengan senang ia mengantarkan Sanjaya menjenguk pondok
Sangaji yang berada di luar batas dusun, la tak mengetahui, bahwa pada
waktu itu para pendekar mengikutinya dari jauh.


Waktu itu matahari telah agak tinggi di udara. Angin pegunungan mulai
terasa meraba tubuh. Suasana di pedusunan riang gembira. Penduduknya keluar
halaman, berjuang memenuhi kebutuhannya masing-masing.


Nuraini terus saja memasuki pondok dengan memanggil nama Titisari. Betapa
kagetnya, ia menjumpai pondok itu kosong melompong. Nampaknya, baru saja
ditinggalkan. Seperti diketahui, Sangaji dan Titisari berangkat
meninggalkan pondok hampir berbareng dengan terbitnya matahari. Mereka
menjauhi jalan dusun. Dengan demikian perjalanan mereka tak kepergok
Sanjaya dan Nuraini.


Menyaksikan peristiwa itu, hati Sanjaya mendongkol bukan main. Ingin ia
memaki-maki gadis itu, apa sebab semalam tiada menunjukkan tempat beradanya
buruannya dengan segera. Syukur, dia bisa menahan hati. Bukankah dia
berkata kepada gadis itu untuk menemui Sangaji dengan maksud baik? Maka
yang diperlihatkan kepada Nuraini adalah rasa kecewanya. Sambil memeriksa
ruang pondok itu, ia berkata dengan mendongkol, "Mengapa dia pergi?"


Nuraini tak lekas menjawab. Ia heran juga, mengapa Sangaji dan Titisari
tiba-tiba mening-galkan pondok. Sibuklah dia menebak-nebak. Tak disadari,
terloncatlah perkataannya, "Barangkali gurunya yang mengajak pergi."


"Gurunya?" Sanjaya terkejut. "Siapa?"


Nuraini membungkam. Sadarlah dia, bahwa untuk yang kedua kalinya dia
kelepasan berbicara. Maka ia keluar pintu dan berdiri tegak di depan pondok
dengan berenung-renung.




"Adik!" mendadak Sanjaya memanggilnya dengan meng-adik. "Apakah aku tak
dapat menyembuhkan sakit ibuku?"


Nuraini berputar dengan pandang terharu. Menyahut, "mengapa?" "Bagaimana
aku bisa bertemu dengan dia?"


Nuraini mengerenyitkan dahi. Berkata, "Kutaksir, belum lama dia
meninggalkan pondok ini. Sekiranya engkau kejar, pasti akan bertemu."


Sebenarnya Sanjaya tahu, bahwa Sangaji belum lama meninggalkan pondok.
Tampak kaki dan pembaringan jelas menyatakan bahwa semalam masih dibuat
berbaring seseorang. Hanya saja ia mempunyai rencana sendiri. Maka
berpura-puralah dia dungu terhadap Nuraini. Bertanya minta pertimbangan.


"Ya, memang begitu. Tetapi ke mana dia pergi, inilah soalnya yang sulit.
Guruku memiliki ketajaman indera melebihi orang."


"Siapa? Apakah Ki Hajar Karangpandan?" Sanjaya menggelengkan kepala.


"Apakah yang muncul dahulu di alun-alun Pekalongan?" Mendadak Nuraini teringat.


Sanjaya mengangguk. Dahinya berkerinyit. Dia lagi berpikir keras dengan
menahan kedongkolan hatinya. "Pikirnya, anak tolol itu didampingi gurunya.
Para pendekar sudah terlanjur meninggalkan dusun. Karena itu aku harus
memanggil guru. Dengan guruku seorang, semuanya akan beres. Setelah
berpikir demikian dia berkata memutuskan.


"Begini saja. Apa kau sudi menolongku?" "Demi kebaikanmu, mengapa tidak?"


Nuraini percaya bahwa Sanjaya benar-benar bermaksud baik terhadap Sangaji.


"Guruku mempunyai adat yang aneh. Dia selalu berlatih pada saat luang. Kini
dia berada di sekitar Secang. Pergilah engkau mencari padanya untuk
menyampaikan wartaku."


Sanjaya kemudian menjelaskan di mana letak Secang. Ia mengeluarkan sebuah
benda berbentuk tengkorak manusia. Setelah diangsurkan, berkatalah dia
mengesankan, "Carilah sebuah simpang jalan yang mengarah ke sebuah
gundukan. Di atas gundukan itu, engkau akan menemukan tumpukan batu. Itulah
tanda, bahwa guruku berada di sana. Taruhlah benda itu di atasnya dan
coretkan tanda mata angin di mana aku kini berada. Setelah itu
cepat-cepatlah pergi, sebelum guruku muncul."


Kemudian ia mengalungkan sapu tangan hitam bersulam seekor kuda.
"Pakailah!" katanya' lagi. "Mungkin ada gunanya."


Nuraini segera berangkat mengikuti pertun-juk itu. Ia mengarah ke timur
laut. Menjelang petang hari, sampailah dia di kota Magelang.


Magelang adalah kota kompeni Belanda pada masa itu.Tangsinya berada dekat
bukit Tidar. Gardu pengintainya merupakan menara suar yang mempunyai
penglihatan luas di seluruh penjuru. Kotanya ramai dan penuh rumah-makan
Tionghoa. Pasaran terbuka terdapat di mana-mana. Penduduknya hilir-mudik
tiada kunjung sepi, meskipun masih kalah dengan kota Yogyakarta atau Surakarta.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar