9.19.2019

@bende mataram@ Bagian 199

@bende mataram@
Bagian 199


Selagi ia merenung-renung, pundaknya ditepuk perlahan amat lembut. Terkejut
ia melompat ke depan. Kemudian menoleh cepat sambil mempersiagakan tangan.
Berbareng dengan itu terdengarlah suara lemah lembut,


"Nuraini! Malam ini kau tidur di mana?"


Hatinya lega luar biasa, melihat siapa yang berbicara. Karena dia adalah
pujaan hatinya. Ternyata Sanjaya mengikuti dirinya dengan diam-diam tatkala
meninggalkan rumah almarhum Wayan Suage dan Made Tantre.


Sesungguhnya, demikian halnya. Kedatangan Sanjaya ke Dusun Karangtinalang,
adalah atas perintah Pangeran Bumi Gede, untuk menyelidiki benda mustika
warisan Pangeran Semono yang diimpi-impikan semenjak belasan tahun yang
lalu. Teringat, bahwa benda mustika tersebut dahulu dibawa oleh Wayan
Suage, maka Pangeran itu men-duga bahwa dengan munculnya Wayan Suage
kembali, berarti munculnya wasiat Pangeran Semono juga. Dari keterangan
sang Dewaresi, ia mendengar kabar bahwa Wayan Suage dahulu membawa benda
mustika tersebut di sekitar kali Jali. Karena itu ia segera memanggil
Sanjaya agar mengikuti ke mana perginya kawan Wayan Suage yang membawa
mayatnya. Dia menaruh harapan besar pula, bahwa Sanjaya akan berhasil
memperolehnya, mengingat anak itu adalah keturunan Wayan Suage. Siapa tahu,
bahwa sebelum Wayan Suage menghembuskan napasnya yang penghabisan sudah
membisiki tentang beradanya benda mustika Pangeran Semono kepada salah
seorang di antara mereka yang melindungi dirinya. Ontuk diwariskan kepada
anaknya. Maka dengan sungguh-sungguh ia berkata kepada anak angkatnya.


"Tanpa benda wasiat Pangeran Semono, ayahmu ini takkan berhasil menaiki
tahta kera-jaan. Sebaliknya apabila engkau berhasil membawa pulang benda
mustika tersebut akan memudahkan ayahmu naik tahta. Dan itu berarti
kebahagiaanmu pula. Engkau akan kuangkat menjadi patih. Dengan demikian,
ayah dan anak tercatat oleh sejarah sebagai pembangun kerajaan baru."


Sanjaya tahu bahwa ayahnya sedang merebut tahta kerajaan dengan diam-diam.
Karena dengan giatnya mengumpulkan pendekar-pendekar pilihan dari seluruh
wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur agar menjadi pembantunya yang setia.
Maka dia mendengarkan tiap kata ayahnya dengan sungguh-sungguh.


"Benda wasiat Pangeran Semono dulu dibawa lari ke sekitar lembah Sungai
Jali. Kurunglah lembah itu untuk satu pancingan. Apabila salah seorang dari
mereka muncul di sekitar lembah, janganlah beragu lagi. Teruslah bertekun
dan bertindaklah mengimbangi keadaan. Rebutlah kembali hak-milikmu. Kalau
kau berhasil, dunia ini berada dalam genggafnanmu," kata Pangeran Bumi Gede.


Sanjaya girang mendengar ucapan ayahnya. Ia percaya ayahnya sangat cerdik
dan pandai. Ia tahu pula, di belakang ayahnya berdiri Patih Danurejo II dan
kompeni.


Demikianlah maka dia mulai membagi pekerjaan, ia mengikuti perjalanan
ayahnya pulang ke Bumi Gede sampai di persimpangan Ambarawa. Sedang Yuyu
Rumpung dengan Sawungrana diperintahkan untuk mengambil jalan pegunungan.
Dia ditugaskan untuk menjejak dan menyelidiki di mana mayat Wayan Suage
dikebumikan.


Sanjaya sendiri, kemudian membawa empat orang pendekar dan empat puluh
tentara berkuda, la mengambil jalan lewat Magelang atas petunjuk-petunjuk
ayahnya. Kemudian mengurung Dusun Karangtinalang, setelah memperoleh
laporan Yuyu Rumpung bahwa pendekar itu telah




berjumpa dengan Sangaji dan Titisari. Tetapi, ternyata ia tak berhasil.
Seluruh dusun sudah diaduknya. Sangaji dan Titisari tetap tak dapat
diketemukan.


Beberapa hari kemudian, datang suatu laporan bahwa para pendekar melihat
berkele-batnya sesosok bayangan yang mencurigakan. Sekaligus terbangunlah
kecurigaannya. Ia menduga, tentang salah seorang kawan yang dulu melindungi
Wayan Suage. Mendadak saja muncullah Nuraini di luar dugaannya. Betapa dia
takkan girang. Dengan diketemukan Nuraini, akan terbukalah tabir yang
menggelapkan penyelidikannya. Maka ia tak mau membiarkan burung itu
terlepas dari intaiannya. Begitu Nuraini hilang meloncati jendela, terus
saja ia menguntitnya.


"Kau mau apa?" Nuraini membalas per-tanyaannya dengan jantung berdegupan.
Sanjaya seperti menyesali diri, berkata dengan hati-hati.


"Satu minggu aku berada di sini, dan sama sekali tak kuketahui bahwa itu
adalah rumah kita. Mestinya aku memberi kabar kepadamu. Tapi di mana engkau
berada selama ini belum kuketahi pula. Ah, tentunya kamu tersiksa dalam
satu minggu ini. Di mana kamu terpaksa menumpang tidur?"


"Bukankah sudah kukatakan, bahwa malam ini aku hendak menginap di rumah
sahabatku?" "Siapa sahabatmu itu?"


Nuraini tak lekas menjawab pertanyaan itu. la sibuk menimbang-nimbang. Dia
tahu, kekasihnya bermusuhan dengan Sangaji, mengingat pertengkarannya
dahulu di arena adu nasib di Pekalongan. Apabila mendengar Sangaji berada
di sekitar dusun itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi karena sudah terlanjur berbicara tentang seorang sahabat, mau tak
mau ia harus menerangkan. Clntung dia cerdik. Maka cepat-cepat ia memberi
keterangan.


"Semenjak kanak-kanak, aku tinggal di dusun ini. Seluruh dusun ini adalah
sahabatku. Mengapa engkau mengurus siapakah sahabatku."


Sanjaya adalah pemuda yang licik dan licin. Meskipun menaruh curiga pada
Nuraini, ia bisa berlagak tak menghiraukannya lagi. Dengan lembut, ia
menarik lengan Nuraini dan diajaknya duduk di atas tanggul jalan.


"Nuraini, aku hendak berbicara kepadamu."


Nuraini menjatuhkan diri ke sampingnya. Hatinya berdetak-detak. Maklumlah,
hatinya memang sudah runtuh terhadap pemuda itu.


"Tahukah kamu mengapa aku datang ke dusun ini?" Sanjaya berkata lagi. "Hm,
bukankah dusun ini adalah tempat kelahiranmu?" tukas Nuraini.


"Ah, ya." Sanjaya seperti tersadar. Kemudian berkata lagi. "Sebenarnya aku
sedang bertaruh." "Bertaruh?"


"Di dalam keluarga kami, bertaruh merupakan suatu kegembiraan yang tak
ternilai harganya. Di dalam pertaruhan itu, seseorang akan diajar memiliki
sifat-sifat kejantanan dan kecerdasan otak yang cemerlang."


"Eh, mengapa begitu?" Nuraini heran.


"Kelak, kamu bakal mengerti sendiri apabila telah memasuki keluarga kami."


Betapa girang gadis itu tatkala mendengar impian yang mendatang begitu
empuk dan sedap, tak terperikan. Lantas saja ia berpikir, kiranya dia
mencintai aku hanya saja ia terhalang oleh peraturan-peraturan tertentu.
Maka berkatalah dia dengan napas tersekat-sekat.


"Ayah-angkatku adalah ayahmu sejati. Apakah benar-benar kau menganggap
dirimu seorang anak pangeran? Ah, sayang!"


"Mengapa?" Sanjaya terkejut seperti tersengat lebah. Memang, berkat
kelicinannya ia sudah dapat menebak hati Nuraini. Apabila bisa membawa
diri, pastilah dia berhasil mengorek keterangan dari mulut Nuraini di
manakah Sangaji kini berada. Dengan jalan mengemukakan




keadaan keluarganya, dia bermaksud hendak menanamkan pengaruh
kewibawaannya. Dipercaya, apabila Nuraini telah jatuh hatinya benar-benar
pasti akan patuh pada setiap kehendaknya. Tak tahunya gadis itu mendadak
berpaham jauh berlainan.


"Sampai saat ini, kukira kau seorang yang pandai dan gagah. Aku membohongi
diriku sendiri, bahwasanya engkau ikut pangeran itu semata-mata dengan
perhitungan tertentu. Pastilah sebentar lagi, engkau akan kembali ke dusun
tempat kelahiranmu. Dugaanku ternyata dikuatkan oleh munculnya tiba-tiba di
dusun tempat engkau dilahirkan dan ditimang-timang ayahmu sejati semasa
kanak-kanak," kata Nuraini.


Sanjaya terdiam mendengar ujar Nuraini yang terucapkan dengan nada
tertekan-tekan. Itulah suatu tanda bahwa dia lagi berbicara dengan hatinya.
Dan betapa palsu hati Sanjaya, ia jadi terharu juga.


"Rupanya kamu lebih mengetahui keadaanku semasa kanak-kanak, daripada aku
sendiri," ia mengalah.


"Ayahmu sendiri yang membicarakan dirimu," sahut Nuraini. Kemudian gadis
itu mengungkapkan riwayat keluarga Sanjaya menurut tutur-kata almarhum
Wayan Suage. la bercerita dengan penuh semangat dan tak terputuskan, sampai
tahu-tahu fajar terasa menguak di timur.


Sebagai seorang yang cerdas, tahulah Sanjaya bahwa maksud gadis bercerita
begitu bertele-tele adalah untuk menarik dirinya ke pihaknya. Ia dianjurkan
pula, agar meninggalkan kehidupan bangsawannya dan kembali kekehidupan
asal-usul. Dengan demikian tataran dirinya akan sama derajat dan sama
martabat. Tapi betapa dia dapat dipengaruhi demikian gampang. Hati dan
darah pemuda itu sudah tertanam dalam, di dataran keluarga bangsawan.
Apalagi setelah menjenguk Dusun Karangtinalang. Keadaannya terlalu lengang
dan sunyi mati. Bagaimana ia dapat hidup di dusun demikian. Apa pula
mata-pencaharian-nya untuk hidupnya di kemudian hari. Kenang-kenangannya
semasa kanak-kanak dahulu terlalu tipis, sehingga tak kuasa menanamkan
bibit pembawaan. Tetapi ia dapat berlaku cerdik dan licin. Dengan sabar ia
mendengarkan tutur kata gadis itu.


Nuraini sendiri tak menginsapi keadaan Sanjaya. Hatinya penuh nyanyian
kasih yang murni, sehingga ia mengukur Sanjaya seperti mengukur bajunya
sendiri.


"Sanjaya!" Katanya setengah berbisik. "Ayahmu dahulu terpaksa kubakar
jenazahnya di tengah jalan. Tetapi abunya akan kutanam di sini."


"Ah!" Sanjaya terkejut. Hatinya tergetar juga. Tetapi maklumlah, sebenarnya
tentang sepak terjang Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki
Tunjungbiru, Sangaji, Titisari dan Nuraini sewaktu membakar mayat Wayan
Suage sudah diintip belaka oleh Yuyu Rumpung dan kemudian dilaporkan
sewaktu dia tiba di Dusun Karangtinalang.


Nuraini mengira, Sanjaya belum mengetahui peristiwa itu. Maka dia terus
mengabarkan. Kemudian dikabarkan pula bahwa para pendekar itu akan segera
menyusul Wirapati dan dia yang berangkat dahulu ke Karangtinalang.


"Kak Sangaji berada pula di sekitar dusun ini," kata Nuraini. "Sangaji?
Siapa dia?" Sanjaya berpura-pura tolol.


"Ah," tiba-tiba Nuraini terperanjat. Ia insyaf akan ketelanjurannya. Tetapi
sadar bahwa tiada gunanya untuk menyesali diri, maka dia berkata dengan
setengah berdoa.


"Dialah anak sahabat almarhum ayahmu. Itulah pemuda yang dahulu muncul di
arena adu nasib. Kaupun pernah berhantam. Bukankah menggelikan? Sebenarnya
engkau harus meneruskan tali persahabatan orangtua-mu."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar