9.19.2019

@bende mataram@ Bagian 198

@bende mataram@
Bagian 198


Mendengar suara kekasihnya, tersadarlah Sangaji. Cepat ia menghentikan
langkahnya, nafasnya tersengal-sengal. Semangatnya terasa terbang, la tahu,
apabila kekasihnya cemas melihat suatu dasar alasan yang kuat, takkan
mencegah sepak terjangnya dengan sunguh-




sungguh. Tetapi hatinya masih penasaran terhadap kekejian dan kepalsuan
lawan, ingin ia menggempur sekali mati, agar bisa bersama-sama memasuki
liang kubur. Sayangnya, terasa lemas tak berdaya. Tetapi di luar dugaan,
terjalinlah suatu keajaiban yang tak pernah terpikirkan.


Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Yakni,
pukulan keras dan lembek. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia telah
melontarkan pukulan lembek.


Maklumlah, enam pokok pukulan yang merupakan jurus ilmu sakti Kumayan Jati
belum diwariskan kepadanya.


Ternyata pukulan lembek itu berdasarkan suatu himpunan tenaga yang
terpusat. Kemudian dilepaskan dengan perlahan, seperti seseorang yang
menahan napas tatkala tersengal-sengal. Sangaji menaruh dendam besar kepada
Pringgasakti. Semangatnya berkobar-kobar untuk menggempur mati. Tetapi
kemudian untuk melontarkan pukulan penuh dendam itu dengan titik-balik
tenaga, gagal karena tenaganya seolah-olah lenyap. Justru itulah letak
rahasia pukulan lembek. Begitu pukulan itu dilepaskan dengan asal-asalan,
mendadak saja Pringgasakti memekik kaget. Pundaknya tiba-tiba terhajar
tanpa sepengetahuannya. Lantas saja ia jatuh terjungkal.


Titisari dan Wirapati melihat, tatkala Sangaji melepaskan suara pukulan. Di
saat itu mereka hendak menyerang Pringgasakti. Mendadak saja, mereka merasa
seperti disibakkan oleh suatu gumpalan awan bergulungan. Cepat mereka
meloncat ke samping. Berbareng dengan itu, mereka melihat Pringgasakti
kaget sampai berjingkrak. Inilah suatu kejadian di luar dugaan mereka.


Sebentar Titisari tercengang-cengang, mendadak saja suatu ingatan menusuk
benaknya. Cepat ia menghampiri Sangaji dan memeluknya sewaktu akan roboh.
Bisiknya setengah girang.


"Engkau kena racun, tetapi masih bisa memukul dari jauh. Pastilah itu jasa
getah saktimu. Cepat, pusatkan seluruh perhatianmu untuk menghimpun tenaga
getah sakti! Berusahalah mendesak racun iblis itu ke ujung jari. Kemudian
lontarkan pukulan semacam tadi."


Saat itu, mata Sangaji sudah benar-benar menjadi kabur. Pendengarannya
berubah lemah pula. Ia seperti kena obat bius yang segera meluluhkan semua
tenaganya. Tapi ingatannya masih bisa bekerja. Begitu mendengar bisik
Titisari, cepat-cepat ia menyedot napas ajaran tata napas Ki Tunjungbiru.
Benar juga! Tiba-tiba suatu hawa hangat bergolak di dalam perutnya.


Kemudian bergulungan mengitari pusat. Itulah cara menghimpun tenaga ajaran
Ki Tunjungbiru yang menurut Gagak Seta bernama ilmu Bayu Sejati. Setelah
itu, perlahan-lahan ia menyalurkan gumpalan hawa hangat ke dadanya. Dari
sana terus menyalur ke lengannya. Hampir saja dia berhasil, tetapi
tiba-tiba ia mendengar kesiur angin. Dan itulah kesiur angin tenaga pukulan
Pringgasakti.


Iblis itu gusar bukan kepalang kena pukulan yang luput dari pengamatannya.
Selama hidupnya, belum pernah ia mengalami kejadian demikian. Waktu itu ia
benar-benar terjungkal sampai mencium tanah. Seluruh tubuhnya menggigil,
karena menahan rasa nyeri. Dengan menggerung keras, ia bangkit dan terus
menyerang dengan menutup mata. Tetapi di tengah jalan, ia dirintangi
Wirapati. Terpaksa ia menyibakkan penghalang itu. Dengan demikian, tenaga
serangannya agak berkurang. Belum lagi ia bisa menyibakkan benar-benar
terdengar pulalah suatu serangan dahsyat dari samping. Itulah serangan
Bagus Kempong murid ketiga Kyai Kasan Kesambi. Kaget ia memiringkan tubuh
dengan bergulingan. Dan benar-benar hebat iblis itu. Meskipun ia kena
serang begitu cepat danganas, namun masih saja tangan bisa mencengkeram ke
arah Sangaji. Hanya saja, ia menjadi kaget. Kelima jarinya menjadi panas
dan pedih. Selain itu, gatal pula. Cepat ia menarik dan memeriksanya.
Ternyata kelima jarinya kena duri tajam baju Titisari, yang melindungi dada
dan punggung.


"Wuhaaaa!" jeritnya tinggi karena mendongkol.




Pendekar-pendekar lainnya yang tadi mengkerubut Wirapati dan Bagus Kempong,
ternyata tiada bergerak dari tempatnya. Meskipun Manyarsewu dan Cocak Hijau
beradat berangasan, mereka termasuk tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung
tinggi sifat ksatria. Mereka benci melihat Pringgasakti berhati keji dan
palsu dengan meracun lawan. Sawungrana dan Abdulrasim pun diam-diam ikut
mengumpat kepalsuan itu pula. Dengan demikian, Wirapati dan Bagus Kempong
bisa melawan Pringgasakti dengan perhatian penuh.


Oleh perlindungan Wirapati dan Bagus Kempong yang cukup tangguh, Sangaji
jadi tak terganggu lagi. Pemuda itu terus memusatkan seluruh tenaga getah
sakti. Beberapa saat kemudian, berhasillah dia mendesak racun jahat
Pringgasakti sampai ke ujung jari. Kini ia melihat, ujung jarinya
meng-uapkan asap tipis. Kiranya dengan cara de-mikianlah, mengapa tangan
Pringgasakti nampak selalu berasap. Ternyata yang berasap itu adalah
semacam asap tipis, tergolong salah satu ilmu karang ) yang sudah lama
hilang dari percaturan manusia.


Titisari bergembira melihat kekasihnya berhasil mendesak racun yang merayap
ke dalam tubuhnya. Wajahnya sudah kembali menjadi merah segar! Dengan
luapan hati, ia bertanya.


"Bagaimana?"


"Aku berhasil," sahut Sangaji dengan tersenyum bersyukur. "Rasa runyam
dalam tubuhku, begini lenyap dengan cepat. Rupanya racun ini bisa bekerja
dengan cepat dan hilang pula dengan cepat."


"Tapi mengapa masih berasap?"


"Benar-benar aneh sifat racun ini. Serasa ada sebuah gelembung sebesar
bongkah batu melekat di ujung jari."


Titisari diam sejenak. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pengalaman sebulan
yang lalu di dalam gua. Sangaji berhasil menggempur dinding gua dengan
sekali gempuran. Maka ia berkata dengan penuh harapan.


"Aji! Kau berhasil mendesak racun itu sampai ke ujung jari. Hanya saja,
engkau belum berhasil membebaskan dan melontarkan. Mengapa?"


Sangaji mencoba melontarkan gelembung asap yang melekat di ujung jari.
Tetapi ia tak berhasil, mencoba lagi, dan tetap tak berhasil juga.
Akhirnya, dia menggelengkan kepala, karena tak tahu apa yang harus dilakukan.


"Bagaimana caramu mendesak racun berasap itu?" tanya Titisari cemas.
"Dengan ilmu tata napas Ki Tunjungbiru."


"Hai, bukankah menurut Paman Gagak Seta, bernama Bayu Sejati?" Sangaji
mengangguk.


"Kau dahulu pernah menggempur dinding gua dengan mengadukkan tata-napas
Bayu Sejati dan Kumayan Jati. Mengapa sekarang tak kaucoba?"


Memang Sangaji sudah mempunyai pikiran demikian. Hanya saja, ia masih
gentar memperoleh pengalamannya dahulu. Bukankah dia hampir tak dapat
bernapas. Kini dalam tubuhnya mengalir pula hawa beracun. Tanpa petunjuk
Gagak Seta, ia bisa mengalami bahaya. Sedangkan dahulu saja, tubuhnya
hampir pecah. Karena itu, ia menjawab, "Aku tak berani. Racun masih melekat
pada jalan darah."


Titisari jadi kecewa. Harapan untuk dapat memukul roboh Pringgasakti dengan
suatu pukulan ajaib, meredup. Mendadak ia berkata lagi, "Tapi kau tadi bisa
melontarkan pukulan dari jauh. Mengapa?"


Diingatkan tentang pukulan yang baru saja dilontarkan tadi, terbangunlah
semangat Sangaji. Terus saja ia menghimpun tenaga sambil menyahut, "Tadi
aku menggunakan tata-napas Kumayan Jati tatkala memukulkan, tenagaku
terhalang."


"Tapi hasilnya bagus. Cobalah!" Titisari memberi semangat.


Betapa lemah seorang pemuda. Tapi apabila diberi semangat oleh kekasihnya,
akan terbangun pula keberaniannya. Maka ia segera berdiri. Cepat ia
menyalurkan gelombang tata-napas Gagak Seta. Seperti diketahui, sifatnya
galak dan mendesak dengan sekuat tenaga. Alangkah girang hatinya, karena
gelembung asap beracun itu terasa tersembul ke luar. Kini terasa tinggal
sejalur benang belaka yang masih melekat pada ujung jari.


"Guru minggir!" teriaknya.


Berbareng dengan teriakannya, dilontarkan-lah gelembung asap beracun itu
berbareng dengan pukulan lembek ilmu sakti Kumayan Jati.


Mendengar seruan Sangaji, Wirapati dan Bagus Kempong dengan berbareng
melompat ke samping. Mereka ingat, Sangaji bisa memukul Pringgasakti dari
jarak jauh. Maka berbareng dengan loncatannya, suatu gumpalan angin halus
terlontar bergulungan. Pringgasakti sedang repot menghadapi serangan
Wirapati dan Bagus Kempong yang cepat dan berbahaya. Dia pun tak mengira,
Sangaji bisa pulih kembali begitu cepat. Tahu-tahu dadanya jadi sesak, la
merendah dan terhajarlah pundaknya. Tanpa bersuara lagi, ia roboh
terguling. Secepat kilat Wirapati menghampiri dan menyabetkan pedangnya.


"Guru! Ampuni dia!" teriak Sangaji, sambil menangkis pedang Wirapati dengan
pukulan lembek pula. Wirapati segera meloncat mundur dan berdiri
berdampingan dengan kakaknya seperguruan yang tangguh.


Waktu itu, Pringgasakti sudah tertatih-tatih bangun lagi. Ia nampak agak
sempoyongan, tetapi masih mau melawan. Sangaji jadi perasa. Berkatalah anak
muda itu, "Hari ini, baiklah kita akhiri saja permusuhan kita. Kami tak
akan meghukum kau yang berlaku curang. Nah, pergilah dengan selamat!"


"Hm!" dengus Pringgasakti. "Kau hebat benar. Kau bisa membebaskan diri dari
racunku, malahan dapat pula mengembalikan."


Setelah berkata demikian, ia merogoh sebungkus ramuan obat dari sakunya.
Lekas-lekas ia menelannya dan segera menyalurkan napas untuk mengusir asap
racunnya sendiri.


Sekonyong-konyong, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah orang yang
mengenakan jubah abu-abu dan bertopeng hantu. Tahu-tahu, punggung
Pringgasakti kena tercengkeram dan terus diangkat tinggi-tinggi, berbareng
dengan itu, terus melesat sambil menggondol Pringgasakti.


Peristiwa itu benar-benar mengagetkan dan mengagumkan semua yang melihat.
Pringgasakti adalah seorang iblis sakti. Tetapi dengan mudah, hantu
berjubah abu-abu itu dapat menerkamnya demikian rupa sehingga tak berdaya
sama sekali. Tenaganya luar biasa kuat dan tangkas melebihi manusia wajar.
Keruan saja, makin direnungkan makin menakjubkan hati, sampai-sampai
pendekar Majarsewu dan Cocak Hijau yang biasanya mengagungkan kepandaiannya
sendiri, berdiri terlongoh.


Wirapati, Bagus Kempong, Sangaji dan Titisari saling berpandang. Dalam hati
mereka masing-masing timbulah suatu keinginan memperoleh keterangan tentang
hantu itu. Sadar bahwa mereka benar-benar gelap mengenai hantu itu, maka
sasaran mereka kini mengarah kepada para pendekar. Tetapi pendekar-pendekar
ini pun setali tiga uang seperti keadaan mereka. Karena itu, akhirnya
mengalamatkan teka teki hatinya kepada Sanjaya. Maklumlah, mereka kenal
Pringgasakti sebagai gurunya. Tetapi Pringgasakti tadi, tiada kenal pula
dengan asal-usul hantu itu. Bahkan ia mencoba menangkapnya, namun selalu gagal.


Sebaliknya Titisari yang ingatannya tajam, berpikir lain melihat Sanjaya,
teringatlah ia pada Nuraini. Antara pemuda itu dan Pringgasakti tadi
terjadilah suatu percakapan samar-samar mengenai Nuraini. Nampaknya dalam
hal ini, Nuraini memegang peranan pula.


Sesungguhnya munculnya Pringgasakti dengan tiba-tiba itu adalah jasa
Nuraini. Malam itu, setelah melompat ke luar jendela, terus saja ia hendak
pulang ke pondok. Hatinya girang bukan




main. Apabila teringat akan dekapan Sanjaya mukanya merah dan terasa panas.
Tetapi mulutnya dengan tak disadarinya, selalu menyungging senyum
menggigit. Ontunglah, waktu itu malam hari. Keadaan wajahnya terlindung
kepekatan malam. Selain itu, dusun sangat sunyi. Seumpama keadaan demikian
terjadi pada siang hari, pastilah dia akan disangka orang gendeng.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar