@bende mataram@
Bagian 197
Sepertii diketahui, jurus ilmu sakti Kumayan Jati berjumlah dua puluh
empat. Sangaji baru mewarisi delapan belas jurus pukulan. Kecuali itu,
latihannya belum masak pula. Kedahsyatannya bagaimanapun juga, masih belum
dapat menempati taraf yang dikehendaki. Itulah sebabnya, lambat-laun
tenaganya kian surut. Kelincahannya mulai nampak berkurang.
Dalam pada itu, matahari mulai condong ke barat. Pantulan sinar angkasa
agak melemah. Angin meniup berputaran dari utara ke barat. Mereka yang
bertempur masih belum mau mengalah. Tapi Sangaji benar-benar mulai nampak
kendor. Sedangkan Pringgasakti yang sudah berpengalaman, makin lama makin
nampak menghimpun tenaga terakhir.
Titisari jadi gelisah, menyaksikan kekasihnya makin kehilangan tenaga.
Segera ia berseru nyaring lagi kepada Pringgasakti,
"Abu! Dua ratus jurus sudah lewat! Apakah kau tetap membandel tak kenal malu?"
Pringgasakti berlagak bisu-tuli. Ia menyerang Sangaji dengan jurus berantai
yang tiada memberi kesempatan lawan untuk bernapas. Melihat kebandelannya,
Titisari akhirnya jadi bingung juga. Mendadak timbullah pikirannya, la
berteriak kepada Sangaji, "Aji! Lihat!"
Kemudian ia meloncat-loncat kecil sambil menghampiri pohon. Waktu itu
Sangaji segera mengerling kepadanya. Melihat Titisari berlompat-lompatan
kecil, tahulah dia menebak maksudnya. Maka segera ia merubah
tata-berkelahinya. Kini dia menitik-beratkan perkelahiannya kepada
tata-ilmu petak Gagak Seta sambil sekali-kali menghantam dengan ilmu sakti
Kumayan Jati.
Pringgasakti jadi penasaran. Ternyata Sangaji kini tak mau lagi berusaha
mendekati padanya dengan melontarkan serangan dari jauh. Dia bahkan makin
menghindari dengan gerak-gerik menjauh. Karena itu, terpaksalah
Pringgasakti yang berganti menghampiri. Tapi terus saja, Sangaji mundur
berputaran. Yang menjengkelkan ialah, apabila Pringgasakti menubruk maju,
pemuda itu terus menangkis dengan salah satu jurus ilmu saktinya.
Pringgasakti jadi mendongkol. Hatinya dengki benar kepada Titisari. Dengan
menggerung ia menubruk lagi. Sangaji meloncat mundur dan berdiri tegak di
bawah pohon. Begitu tubrukan Pringgasakti tiba, ia berpura-pura menangkis.
Mendadak saja, meloncat gesit dan hilang di balik pohon. Keruan saja,
Pringgasakti menubruk batang pohon. Oleh hebatnya tenaga gempurannya, pohon
itu sampai berderak patah. Dan pada saat itu, Sangaji membarengi dengan
pukulan sakti Kumayan Jati, Pringgasakti kaget, namun sudah kasep.
Pundaknya kena terhajar dan ia jatuh bergulungan di atas tanah.
Memperoleh pengalaman pahit itu, bukan main gusar hati iblis itu. Terus
saja ia menghimpun tenaganya. Rasa nyeri tak diindahkan lagi. Dengan sebat
ia melompat bangun dan terus memburu. Waktu itu Sangaji belum memperbaiki
tempat kedudukannya. Ia terperanjat, karena tak mengira musuh begitu gesit.
Dengan untung-untungan ia melompat ke samping. Tak urung lengan bajunya
kena tercengkeram hingga sobek memanjang. Syukur, kulitnya tak tergarit.
Bagaimanapun juga, pemuda itu menjadi gentar. Meskipun demikian, ia tetap
melawan.
Dengan meliukkan tubuh ia menyerang. Setelah itu, dia berkisar dan lari
berloncatan mendekati sebatang pohon lagi.
Tatkala itu, Pringgasakti sudah berputar bagaikan seekor harimau ganas yang
luput menubruk mangsa. Ia menggerung tinggi dan siap menubruk kembali.
Terdengar Sangaji berseru, "Aki Pringgasakti! Kepandaianku tak dapat
menandingi kepandaianmu. Kasihanilah diriku."
Terang, anak muda itu memberi hati kepada Pringgasakti. Kecuali itu,
memberi pamor pula. Sebenarnya, ia tak kalah menghadapi iblis itu. Dengan
cara bertempur begini ia akan memperoleh kemenangan. Tapi keluhuran budinya
mengajak dirinya lebih baik mengalah terhadap seseorang yang berusia tua.
Mendengar kerendahan hati Sangaji, mau tak mau Pringgasakti menyahut,
"Jikalau kita mengadu kepandaian, mestinya aku harus menyatakan kalah
setelah aku tak berhasil menumbangkan engkau dalam tiga jurus. Tapi
sekarang, soalnya adalah lain. Aku bukan lagi mengadu ilmu kepandaian.
Tetapi aku hendak menuntut balas. Karena itu salah seorang harus mampus."
Sehabis mengucapkan kalimat itu, ia terus menyerang saling menyusul.
Tangannya kembali berserabutan dengan disertai tendangan kaki yang
mengeluarkan deru angin. Tetapi Sangaji dapat juga mengelakkan dengan ilmu
petaknya yang lincah. Ia melompat ke sana ke mari dengan selalu mendekati
pohon.
Makin lama hati Pringgasakti makin gemas. Pada akhirnya, ia menyerang
dengan dua tangan berbareng. Hebat akibatnya. Waktu itu Sangaji berada di
bawah sebatang pohon sebesar sepelukan tangan anak berumur sepuluh tahun.
Cepat ia bergeser sambil melontarkan pukulan. Maka dengan suara
bege-meretak, pohon itu tumbang kena serangan Pringgasakti yang dahsyat.
Semua yang berada di situ adalah pen-dekar-pendekar terkenal. Meskipun
demikian, mereka terkejut menyaksikan kedahsyatan serangan Pringgasakti.
Berbareng mereka melompat ke samping menghindari tumbangnya pohon itu.
Celakalah nasib Yuyu Rumpung. Pendekar yang masih merem-me-lek menahan rasa
nyerinya itu, tak dapat bergerak dengan cepat. Kakinya segera kena
himpitan, sehingga ia menjerit-jerit seperti seekor babi kena sembelih.
Manyarsewu dan Cocak Hijau segera menolongnya.
Sanjaya yang berada tak jauh dari tempat itu, hendak mempergunakan
kekacauan itu dengan melarikan diri. Ia sudah memutar tubuh. Tahu-tahu
punggungnya menjadi kaku. Tubuhnya tak dapat digerakkan lagi, sehingga
terpaksalah dia berdiri seperti tugu. Siapa yang menghukum dia demikian,
tak tahulah kita.
Pringgasakti sendiri, kala itu lagi memperhatikan Sangaji semata. Kakek itu
benar-benar kagum dan dengan diam-diam memuji ilmu kepandaiannya. Pikirnya,
hebat benar anak ini. Dahulu seusia dia, aku belum memiliki ilmu yang
dimilikinya sekarang. Kelak, apabila dia sudah sebaya dengan aku ini, belum
tentu dewa-dewa kayangan dapat mengalahkan. Ia akan malang-melintang tanpa
tandingan. Ah, lebih baik kutumpasnya sekarang, agar kelak tidak menjadi
penyakit berbahaya.
Ia terus menyambar dengan menyerang lebih gesit lagi. Kali ini Sangaji
benar-benar terdesak. Tenaganya telah separuh terkuras. Meskipun masih
gesit, namun menghadapi serangan Pringgasakti yang melanda saling menyusul,
ia merasa kuwalahan juga. Kedua kaki iblis itu ternyata dapat bergerak
saling berganti. Kadang-kadang di tengah jalan berhenti dengan tiba-tiba
untuk digantinya dengan kibasan tangan dan cengkeraman jari.
"Awas!" seru Wirapati. Guru itu, benar-benar mulai merasa gelisah. Ia
menyayangkan, apabila muridnya terpaksa memperoleh bahaya yang tak dapat
dielakkan. Sedangkan dia sendiri merasa tak mampu menolong.
Dalam keadaan bahaya, Sangaji masih bisa bergerak dengan gesit. Dengan
tangan kirinya ia
membendung serangan. Kemudian tangan kanannya menyedot dengan jurus ilmu
sakti Kumayan Jati ke tujuh belas. Hanya sayang, tenaganya sudah banyak
berkurang. Begitu tenaganya terbentur, ia terpental mundur tiga langkah.
Pringgasakti pun tak terkecuali. Ia ter-paksa pula mundur terhuyung tiga
langkah. Tetapi ia bergembira. Sebab, tahulah dia bahwa tenaga lawannya
sudah berkurang.
Maka dengan berani, ia terus mengembangkan kelima jarinya. Cepat ia memutar
jari kelingking dan menggurat telapak tangan Sangaji dengan kuku jari
penunjuk. Kemudian melompat mundur dengan tertawa berdongak.
Sangaji terperanjat. Insaflah dia, bahwa baru saja ia mendapat bahaya.
Gugup ia memeriksa tangan. Darah hitam bersemu hijau merembes keluar dari
telapak tangan. Seluruh tubuhnya lantas menjadi panas. Itulah akibat luka
guratan Pringgasakti yang beracun. Seketika itu juga, ia hanya terkejut. Ia
mengeluh kepada Titisari,
"Titisari, aku kena racun..." Habis berkata demikian, terus saja ia
melompat merangsak Pringgasakti.
Aku harus merebut obat pemunahnya, pikirnya.
Tetapi Pringgasakti adalah seorang iblis yang licin. Tak mau lagi ia
melayani, la hanya mengelak dengan berloncatan dan lari berputaran.
Titisari dan Wirapati kaget sekali mendengar suara keluhan Sangaji. Dari
kaget, mereka menjadi gusar. Ternyata Pringgasakti berhati palsu, keji dan
biadab. Itulah sesuatu hal yang tak pernah mereka duga. Maklumlah, mereka
adalah keturunan ksatria sejati. Meracun lawan tatkala sedang mengadu
kepandaian adalah tabu.
"Abu!" teriak Titisari. "Kau sudah kalah, mengapa meracun? Benar-benar kau
iblis seperti kata orang. Pantaslah kamu sampai hati mengkhianati ayahku.
Hayo, keluarkan obat pemunahnya."
Pringgasakti berlagak tak mendengar ujar Titisari. Masih saja ia lari
berputar-putaran dengan tertawa bergelak-gelak. Ia girang benar, melihat
Sangaji terus mengubernya tanpa berhenti. Pikirnya dalam hati, makin
mengeluarkan tenaga makin dekatlah saat mampusmu. Racunku akan bekerja
dengan hebat. O, terima kasih kau janda Calon Arang yang sudi mewariskan
ilmu racunmu kepada anak turunanmu. Siapa menyangka, bahwa dengan ilmu
kepandaianmu aku berhasil membalaskan dendam, adikku?
Janda Calon Arang seorang sakti aliran sesat pada zaman Erlangga. la
beragama Durga dan malang melintang tiada lawannya. Dalam menekuni ilmunya,
seringkali dia mengadakan percobaan-percobaan dengan meracuni penduduk
sekitarnya. Bahkan lambat-laun menyerang ibukota dan berani memusuhi raja.
Tapi ia dikalahkan oleh seorang sakti lainnya bernama Empu Baradah.
Dengan matinya janda yang kejam itu, lenyap pula ilmunya dari percaturan
orang. Tak tahunya setelah melalui tujuh abad, muncullah Pringgasakti
sebagai tokoh sakti yang mengejanal ilmu jahat itu. Siapa gurunya, sejarah
tak dapat membuka tabirnya.
Sesungguhnya, setelah berputar-putar beberapa saat lamanya, mata Sangaji
mulai terasa menjadi kabur. Kepalanya pusing, benaknya seperti kena tusuk
ribuan jarum. Tubuhnya lantas saja menjadi panas. Belum selintasan sudah
menggigil bagai seseorang menderita sakit demam. Itulah suatu tanda bahwa
racun Pringgasakti mulai bekerja
Titisarir cemas melihat keadaan kekasihnya. Ternyata wajah Sangaji berubah
menjadi pucat lesu. Semangatnya merembes seperti air.
"Aji mundurr!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar