9.18.2019

@bende mataram@ Bagian 196

@bende mataram@
Bagian 196


"Bagus! Semua orang di sini menjadi saksinya. Tapi tiga jurus sebenarnya
terlalu sedikit. Aku beri kesempatan sampai sepuluh jurus," kata Titisari.


"Tidak," sahut Sangaji. "Akan kulawan dia sampai delapan belas jurus."


"Kauhilang apa? Delapan belas jurus?" Pringgasakti heran, kemudian tertawa
panjang merendahkan. Katanya lagi, "Baiklah, kau cari mampus."


"E-hm, kau jangan tergesa-gesa berbesar kepala," tegur Titisari. "Lebih
baik, semua kawan-kawanmu, suruhlah menjadi saksinya. Juga pengawalmu itu,
suruhlah menghitung tiap jurusnya."


"Pengawal?" Pringgasakti heran. "Siapakah yang mengawal aku? Aku datang
seorang diri. Selama hidupku, tak pernah aku memelihara pengawal."


"Habis, siapakah yang berdiri di belakangmu itu? Dia mengenakan jubah
abu-abu dan bertopeng iblis."


Cepat luar biasa, Pringgasakti memutar tubuh sambil mencengkeram. Orang
yang mengenakan jubah abu-abu itu, tetap berdiri bagaikan tugu. Tetapi
benar-benar aneh. Entah bagaimana caranya mengelak, tahu-tahu dia lolos
dari cengkeraman Pringgasakti. Wajahnya tak berubah. Tetap kejang dan
mengerikan penglihatan.


Pringgasakti terkejut. Dengan muka berubah ia minta penjelasan. "Kausiapa?
Apa yang kaukehendaki, sehingga selalu mengikuti aku?"


Suara iblis itu terdengar agak bergetar. Terang sekali, bahwa jantungnya
lagi berdegup keras. Tetapi orang berjubah abu-abu itu seperti tak
menghiraukan. Dia tetap diam tak bergerak.


Pringgasakti kemudian menubruk dengan sebat. Tapi untuk kedua kalinya, dia
gagal. Ia




mengulangi lagi dan kembali gagal pula. Nampaknya, orang itu sama sekali
tak bergerak. Hanya saja, anehnya tak dapat kena serangan. Sudah barang
tentu semua orang menjadi kaget heran. Tanpa merasa, mereka terus mengikuti
gerak-gerik orang berjubah abu-abu itu, yang bergerak mundur melintasi
lapangan. Akhirnya, tegak kembali di antara deretan barisan pohon yang
merupakan sepetak hutan bersemak belukar.


"Engkaukah yang meniup seruling menolong aku?" tanya Pringgasakti menegas.
Dan semua yang mendengar pertanyaan Pringgasakti terheran-heran belaka.


"Orang itu menolong Pringgasakti?" pikir mereka.


Belum lagi habis keheranan mereka, menjuruslah suatu kejadian yang tiada
nalar. Mendadak saja orang berjubah abu-abu itu bergerak, tahu-tahu melesat
lenyap menerobos semak belukar. Dengan menggerung Pringgasakti memburunya.
Tetapi meskipun Pringgasakti sebat luar biasa, ternyata yang diubernya tak
dapat dikejarnya. Orang berjubah abu-abu itu benar-benar seperti hantu
melenyapkan diri di siang hari bolong.


"Abu!" teriak Titisari, "Orang itu lenyap tak keruan."


Dengan berjumpalitan Pringgasakti mendarat di tempatnya semula di bawah
sebatang pohon agak rindang. Ia berdiri terheran-heran sambil mulut
berkomat-kamit, "Benar-benar hebat. Aku tak mampu mengejarnya."


"Ya, kau tak mampu. Masakan engkau tak dapat mengejarnya?" Titisari
membakar hatinya. "Kejarlah dia! Dan jangan kau main raksasa ganas di sini."


Pringgasakti terhenyak sejenak. Wajahnya berubah-ubah. Nampaknya dalam
hatinya sedang berkecamuk suatu perjuangan yang hanya diketahuinya sendiri.
Mendadak saja, dia mendongak sambil menggeram.


"Huahaaa... bocah! Siapa namamu yang membunuh adikku?"


Dengan tak mengenal takut. Sangaji menjawab, "Aku bernama Sangaji."


"Bagus! Bersiaplah menerima mautmu," ancam Pringgasakti. Tubuhnya nampak
menggigil, sedang kedua belah tangannya tiba-tiba membersitkan segumpal
asap tipis. Itulah suatu ilmu sesat yang terkenal dengan nama ilmu hitam
janda Calon Arang yang sudah lama lenyap dari persada bumi. Barangsiapa
yang kena tersentuh, akan terbakar kering seperti ayam terpanggang. Tetapi
ternyata dia tak bergerak. Hatinya penuh kebimbangan.


"Apakah engkau sudah bersiaga?" gertaknya. Ucapannya berkesan lebih di
alamatkan kepada dirinya sendiri yang berada dalam kebimbangan. Terasalah
di sini, bahwa keagungan gurunya yang diancamkan Titisari kepadanya, nampak
berpengaruh pula.


"Ya, aku siap!" sahut Sangaji. Dan pemuda itu telah bersiaga menjaga diri
dengan ilmu sakti Kumayan Jati.


Mendengar Sangaji sudah bersiaga, secepat kilat Pringgasakti menyerang
dengan tiada ragu-ragu lagi. Tangan kanannya berkelebat dan menyusullah
tangan kirinya dengan jari mencengkeram seketika itu juga, angin berke-siur
dengan menebarkan gulungan asap tipis.


Titisari dan Wirapati terperanjat sampai memperdengarkan seruan cemasnya.
Bagus Kempong yang berpribadi setenang air telaga tercekat pula hatinya.
Mukanya berubah menjadi pucat.


Tetapi di luar dugaan, Sangaji dapat mengelak dengan tepat sambil
melontarkan tangan kirinya. Itulah jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang kedua
belas. Pinggasakti kaget. Ia mendengar kesiur angin berderu. Cepat-cepat ia
menghindar. Namun, kasep juga. Memang ilmu sakti Kumajan Jati, adalah suatu
ilmu yang tiada duanya di dunia. Dahulu, sewaktu Pringgasakti bertempur
melawan Kyai Kesambi, ilmu itu belum terlahir. Karena itu, ilmu sakti
Kumayan Jati masih asing bagi Pringgasakti. Tiba-tiba saja pundaknya kena
terhajar dan ia terpental tiga langkah. Tetapi Pringgasakti bukanlah
seorang pendekar lumrah. Ia terkenal sakti luar biasa. Namanya menggetarkan
dunia semenjak puluhan tahun yang lalu. Meskipun pundaknya terhajar,




tubuhnya kuat bagaikan sebatang pohon baja. Ia hanya tergoyang selin-tasan,
mendadak saja memental balik dengan menusukkan suatu serangan maut. Inilah
suatu kejadian yang tak terduga- duga.


Sangaji terperanjat bukan kepalang. Cepat-cepat ia hendak menangkis dengan
jurus ilmu sakti Kumayan Jati keenam. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Ia
kalah cepat. Tiba-tiba saja lengan kirinya telah kena tercengkeram tangan
Pringgaskti yang berasap. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, sampai ia memekik
karena kesakitan. Ontunglah, dalam tubuhnya mengalirlah suatu getah sakti
pohon Dewadaru yang tanpa disadarinya sendiri, lantas saja bergolak
melindungi kulit dagingnya. Itulah sebabnya, ia masih bisa mempertahankan
diri terhadap cengkeraman tangan Pringgasakti yang berasap.


Pada detik-detik berbahaya tangan kanannya terus saja bergerak. Jari
telunjuk dan tengah berputar menusuk dada. Itulah gerak tipu jurus ke-tujuh
ilmu sakti Kumayan Jati. Barangsiapa yang kena tertusuk kedua jari itu,
pasti akan tertembus, meskipun andaikata berperisai baja. Mestinya tangan
kiri harus membantu menyodok. Tetapi sayang, lengan kirinya sudah
tercengkeram lawan. Maka ia hanya bergerak secara untung-untungan belaka.


Sebaliknya, Pringgasakti cukup awas dan berwaspada. Begitu ia mendengar
kesiur angin yang mendesis, tahulah dia bahwa lawan lagi menggunakan suatu
jurus ilmu sakti yang masih asing baginya. Meskipun demikian, tak mau dia
melepaskan cengkeramannya. Ia hanya mengelak dengan endapan tubuh. Tetapi,
gerakan dua jari Sangaji, sebenarnya adalah suatu gerakan tipu daya.
Mendadak saja berubah menjadi tinju dan menghantam pundaknya yang sebelah.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati berpokok kepada tenaga dahsyat
yang membutuhkan sasaran benturan tak bergoyang. Gagak Seta dahulu pernah
memberi contoh, bagaimana dengan mudah bisa mematahkan sebatang pohon
sepelukan orang. Meskipun Sangaji belum bisa mewarisi daya tenaga ilmu
sakti Kumayan Jati secara keseluruhannya, tetapi setidak-tidaknya tujuh
bagian sudah dimiliki. Maka begitu pundak Pringgasakti kena hajar,
menjeritlah iblis itu kesakitan. Tangan kirinya yang dibuatnya mencengkeram
lengan Sangaji tergetar dan menjadi lemas. Ia hendak bertahan
sekuat-kuatnya. Di luar dugaan, ilmu sakti Kumayan Jati mempunyai kodrat
aneh luar biasa. Makin lawan bertahan, makin menjadilah kesaktiannya.
Pringgasakti lantas saja kena terangkat naik dan dilemparkan jungkir-balik.


Sangaji sendiri sewaktu menyerang lawan, ia membarengi dengan merenggutkan
lengan kirinya. Itulah sebabnya, begitu Pringgasakti kena dipentalkan, ia
terjengkang pula ke belakang oleh dorongan tenaganya sendiri. Dengan
demikian, kedua orang itu terhuyung-huyung berbareng dan bersama-sama pula
menubruk pohon yang berdiri di sekitarnya.


Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar mereka cukup besar dan kokoh. Meskipun
demikian, ternyata tak tahan menerima tubrukan mereka. Dahan-dahannya patah
bergemeretak. Dan mahkota daunnya runtuh berhamburan seperti sebuah tembok
dinding tumbang berpuing.


Semua yang menyaksikan kejadian itu, kaget sambil berteriak kagum. Bagus
Kempong saling berpandangan dengan Wirapati. Mereka heran berbareng girang.


"Darimanakah muridmu memperoleh ilmu itu?" Bagus Kempong minta ketegasan
kepada Wirapati dengan berbisik. Wirapati mengerling kepada Titisari.
Pendekar itu mengira, Titisari-lah yang mengajari ilmu itu.


Pringgasakti yang sudah dapat berdiri tegak menyerang Sangaji kembali.
Iblis itu kini, tak berani lagi meremehkan ) lawannya. Dengan angin
menderu-deru, ia menyambar dengan ganas. Hatinya gregetan dan penuh
penasaran. Namun Sangaji dapat menjaga diri dengan rapat. Dengan demikian
kedua orang itu bertempur dengan mengeluarkan kepandaiannya masing-masing.
Pringgasakti mengeluarkan ilmu ajaran Adipati Surengpati yang diandalkan.
Sedangkan Sangaji bertempur dengan menggunakan ilmu Kumayan Jati, ajaran
Gagak Seta. Secara tak resmi, masing-masing kini mewakili keharuman nama
gurunya masing-masing.


Sangaji sudah berhasil mempertahankan diri selama delapan belas jurus.
Bahkan kini, dia bisa




mencampur adukkan dengan sari-sari ilmu Jaga Saradenta, ilmu Wirapati dan
ilmu petak Gagak Seta. Lima puluh jurus sudah lewat dengan cepatnya.
Meskipun demikian, Pringgasakti belum berhasil mengalahkan. Bahkan untuk
mendesak mundur saja, tak mampu.


Titisari menonton pertempuran itu sambil tersenyum-senyum bangga. Mukanya
yang cantik bertambah molek. Sedangkan Wirapati dan Bagus Kempong berdiri
terheran-heran. Di pihak lain Sanjaya nampak pucat lesi. Dalam hatinya
timbullah suatu pengakuan, bahwa dia kini bukan lagi tandingannya Sangaji
yang disebutnya sebagai pemuda tolol.


Manyarsewu dan Cocak Hijau yang memandang rendah kepandaian Sangaji, jadi
kecelik. Mereka benar-benar kagum dan tergetarlah hatinya. Abdulrasim dan
Sawungrana yang belum kenal akan kepandaian Sangaji, merasa bersyukur bahwa
mereka belum sampai mengadu tenaga. Seumpama merekalah yang harus melawan
pemuda itu, belum tentu bisa bertahan dalam tiga jurus belaka. Sebaliknya,
Yuyu Rumpung yang tadi kena ditumbangkan seperti pohon keropos, jadi
terhibur melihat Pringgasakti tak dapat berbuat sesuatu ter-hadap Sangaji.
Dengan demikian ia tak usah merasa malu.


"Wirapati," bisik Bagus Kemong, "Muridmu bukan main hebatnya."


Wirapati membalas pujian itu, dengan mengangguk... Seluruh perhatiannya
terpusat pada gerak-gerik mereka yang bertempur.


"Pringgasakti benar-benar hebat," pikirnya.


"Pantaslah, dia bisa bertahan menghadapi Guru selama 7 hari 7 malam... Tapi
kini, Sangaji ternyata bisa mempertahankan diri."


Tiba-tiba terdengar Bagus Kempong berkata lagi, "Wirapati! Harus kuakui,
bahwa aku belum tentu dapat melawan musuh guru kita dalam sepuluh jurus
saja. Hm, tapi muridmu itu, bagaimana dia bisa begini hebat? Dengan cara
bagaimanakah engkau bisa menyulapnya menjadi Dewa Surapati?"


Titisari yang mendengar bisik Bagus Kempong girang bukan main. Serentak ia
berseru nyaring kepada Pringgasakti.


"Abu! Sekarang sudah enam puluh jurus lebih. Bukankah kamu harus menyerah
kalah?"


Mendengar seman Titisari, Pringgasakti mendongkol hatinya. Pikirnya,
celaka! Hampir seabad usiaku dalam dunia ini. Dan semenjak kanak-kanak aku
belajar sesuatu ilmu. Tetapi aku tak sanggup mengalahkan bocah ini.
Seumpama aku belum mengenal ilmu Adipati Surengpati, sudah semenjak tadi
aku ditumbangkan. Memperoleh pikiran demikian tekadnya lantas menjadi
bulat. Biar langit runtuh, tak mau dia mundur selangkah pun. Maka seruan
Titisari tak didengarkan lagi. Ia memusatkan seluruh perhatiannya dan
kemudian menyerang Sangaji lebih dahsyat lagi. Sambaran tangannya membawa
angin berderu-deru. Tangannya berserabutan. Kakinya berputar-putar
menendang ke seluruh penjuru. Bertempur dengan penuh nafsu sebenarnya
merupakan pantangan utama bagi setiap pendekar. Karena itu akan kehilangan
keseimbangan, keselarasan dan pengamatan. Sepak terjangnya lantas jadi ngawur.


Di pihak sana, Sangaji memperhebat kewas-padaannya. Pemuda itu kecuali
memiliki getah sakti Dewadaru, sudah menelan ilmu petak Gagak Seta.
Gerak-geriknya cekatan, lincah dan tangkas. Napasnya tetap teratur dan
seolah-olah tiada mengenal lelah.


Tak lama kemudian, seratus jurus telah lewat. Setelah itu, Pringgasakti
mulai bisa berpikir, la menenangkan diri, dengan membesarkan hatinya sendiri.


Enam puluh tahun yang lalu, pernah aku bertempur tiada henti selama 7 hari
7 malam. Masakan aku kalah dengan bocah ingusan ini. Biarlah kuamat-amati
dahulu corak ilmunya. Apabila tenaganya mulai habis, aku akan menyerang
dengan sekali tumbang, katanya dalam hati.


Dengan berbekal pikiran ini, ia mulai mem-perhatikan gerak-gerik ilmu
Sangaji yangberbahaya




ternyata bermacam ragam. Pada saat-saat tertentu ia menjadi berbahaya,
apabila pukulan yang aneh mulai membidik sasaran. Dan tubuhnya senantiasa
tergetar, jika kena hantaman. Memperoleh penglihatan ini, cepat-cepat ia
meloncat mundur. Ia telah memperoleh warisan sepertiga bagian ilmu meninju
udara dari Adipati Surengpati. Maka ia segera merubah tata berkelahinya
dari jarak jauh. Maksudnya hendak membuat Sangaji letih.


Memang ilmu sakti Kumayan Jati membutuhkan jarak pendek, apabila hendak
memperlihatkan kedahsyatannya. Tetapi sebenarnya apabila Sangaji sudah bisa
mewarisi enam jurus terakhir yang merupakan bombar-demen ), dia takkan
menemui sesuatu kesulitan. Sasaran jauh atau dekat, tidak merupakan soal
lagi. Gagak Seta pernah membuktikan bahwa dia bisa menumbangkan pohon dari
jarak jauh. Hanya sayang, jurus terakhir belum diturunkan kepada pemuda itu.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar