@bende mataram@
Bagian 195
Orang itu termasuk seorang pendekar yang tangguh. Bagaimana mungkin, bisa
dilontarkan lima belas langkah oleh seorang anak kemarin sore seperti
layang-layang putus? Sedang mereka terheran-heran dan sibuk menduga-duga,
muncullah iblis Pringgasakti dan sesosok tubuh berjubah abu-abu yang
berwajah menyeramkan. Wirapati terperanjat melihat munculnya Pringgasakti,
sampai hatinya tergetar. Sedangkan Bagus Kempong yang belum mengenal
Pringgasakti, tersentak melihat sesosok tubuh yang berwajah menyeramkan.
Wirapati terus maju menghadapi Pringgasakti. Dengan sedikit membungkuk dia
berkata, "Aku atas nama rekanku Jaga Saradenta menyambut kedatanganmu, dua
bulan yang lalu kita pernah bertemu. Mestinya engkau masih mengenal aku."
"Hm." Dengus Pringgasakti, "Apakah engkau bernama Wirapati murid Kyai Kasan
Kesambi?" "Benar."
"Kauhilang atas nama si dogol Jaga Saradenta menyambut kedatanganku? Bagus!
Memang aku lagi mencari padanya. Bukankah kematian adikku ada hubungannya
dengan dia?" Bagus
Kempong yang mendengarkan percakapan antara adik-seperguruannya dan
Pringgasakti, tiba-tiba terkejut. Sebagai salah seorang murid Kyai Kesambi,
dapatlah dia dengan cepat menebak bahwa orang itu pasti ada hubungan
tertentu dengan gurunya. Dia bergerak maju pula, siap menghadapi kemungkinan.
"Adik Wirapati! Apakah dia pernah mengenal guru kita?" tanyanya nyaring.
"Menurut kabar, dia pernah bertempur selama tujuh hari tujuh malam mengadu
kepandaian pada zaman Perang Giyanti."
"Hm-hm." Pringgasakti menggerung. Kemudian beralih mengamat-amati Sanjaya,
yang berdiri tegak dengan wajah pucat lesi. Ia terperanjat, sewaktu melihat
mulut Sanjaya berdarah pula. Tanyanya menegas, "Apakah nDoromas bertempur
dengan mereka?"
Sanjaya mengangguk. Dengan setengah berbisik dia berkata, "Bukankah engkau
sudah menerima wartaku?"
Pringgasakti memperdengarkan tertawanya. Dengan menyipitkan matanya
berkatalah dia, "Apakah dia gadismu?"
Mendengar ujar Pringgasakti, Sanjaya nampak gugup. Ia mendehem tertahan
seolah-olah minta dengan sangat kepada gurunya, agar merahasiakan tentang
gadis itu. Tetapi Titisari yang cerdas, dengan cepat dapat membaca apa yang
masih berkesan samar-samar.
"Eh, pantas! Malam itu kakakku Nuraini tiada datang lagi ke pondok. Siapa
menduga, telah mengabdikan diri kepada anak pangeran yang ganteng ini untuk
menyampaikan berita. Aji! Apakah dugaanku ini salah?" katanya nyaring.
Sangaji adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Ia tak pandai
menangkap kalimat-kalimat sindiran atau ejekan tajam. Lagi pula, pada saat
itu hatinya sedang tegang, melihat kedatangan Pringgasakti dan sosok tubuh
yang berjubah abu-abu yang tetap berdiam diri seperti tugu tak bernyawa.
Itulah sebabnya, tatkala mendengar ucapan Titisari yang ditujukan
kepadanya, ia menjadi terkejut. Gugup ia hendak menjawab, tetapi mendadak
terdengarlah Pringgasakti tertawa bergelora.
"Eh, adik kecilku. Rupanya kita selalu berjodoh untuk selalu bertemu," katanya.
"Abu! Benar-benar engkau tak memandang mata terhadap ayahku," damprat
Titisari geram.
"Kauhilang apa?" sahut Pringgasakti cepat. Hatinya tergetar juga, meskipun
gadis itu menggunakan nama ayahnya untuk menciutkan keberaniannya. Yuyu
Rumpung yang sejak tadi diterkamnya sampai tak berkutik, dilemparkan
seperti sekantung goni. Ia kena pukul ilmu sakti Kumayan Jati yang
membuatnya terlempar sampai lima belas langkah. Belum lagi bisa tegak di
atas tanah. Tahu-tahu kain lehernya kena terkam Pringgasakti dan ia terus
dijinjing seperti sekantung goni tak berharga. Dia terkatung-katung tanpa
dapat berkutik, sementara Pringgasakti berbicara. Dan baru terlempar di
atas tanah, sewaktu hati Pringgasakti tergetar oleh ucapan Titisari.
Seluruh tubuhnya menjadi luar biasa dan dengan tertatih-tatih ia mencoba
bangun, Kemudian duduk di pinggir sana bagai seorang pengemis bangkrut.
"Kauhilang apa?" terdengar Pringgasakti mendesak.
"Di depanku engkau masih saja berani mengangkat-angkat kematian adikmu.
Mengapa tak teringat akan budi ayahku?"
"Itu adalah perkaraku," bentak Pringgasakti. "Karena mengingat ayahmu,
minggirlah kau."
"Hm, enak saja bicara. Tahukah kamu, bahwa Paman Wirapati dan Paman Jaga
Saradenta adalah guru sahabatku? Jika kamu berani menghinanya, samalah
halnya engkau menghinaku dan menghina ayahku," ujar Titisari.
Mendengar ujar Titisari, Pringgasakti nampak bergelisah. Bagaimanapun juga,
ia benar-benar takut kepada ayah Titisari. Tetapi apabila bersikap mengalah
terhadap seorang gadis kecil di depan para pendekar, bagaimana mungkin?
Tiba-tiba terdengarlah Wirapati berkata
menungkas, "Anakku Titisari, biarlah hal ini kita selesaikan sendiri.
Antara aku dan dia, tiada mempunyai suatu perkara. Tetapi, apabila dia
menghina rekanku Jaga Saradenta, bagaimana aku dapat bertopang dagu?
Dahulu, aku pernah menerima janji Ki Tunjungbiru agar melupakan peristiwa
balas dendam itu. Dan aku segera menerima serta menyetujui, karena aku tak
mempunyai sesuatu perkara yang harus kuselesaikan. Jaga Saradenta pun
menyetujui juga, meskipun wataknya yang berangasan, masih saja mengantongi
dendam. Kini kudengar, iblis itu mengungkit-ungkit kematian adiknya. Inilah
suatu soal, di mana aku tak dapat berdiri di luar garis. Karena aku hadir,
pada malam kematian saudaranya. Nah, biarlah dia mencari perhitungan
kepadaku, apabila dia sengaja membuat gara-gara."
"Hohaaa... bagus! Bagus! Tuhan Maha
Pemurah. Akhirnya dugaanku menemui kebenaran." Pringgasakti menggeram
setinggi langit. "Jadi benar-benarkah adikku mati, perbuatan kalian?"
Mendengar ucapan Pringgasakti, semua yang hadir kecuali Bagus Kempong kaget
bercampur heran. Mereka semua pernah menyaksikan sepak-terjang iblis itu
yang sakti luar biasa. Mereka sibuk menduga-duga, pastilah saudaranya lebih
hebat daripadanya. Bagaimana dapat dibinasakan oleh Wirapati.
"Pringgasakti! Meskipun saudaramu terbinasa, tapi dia mati secara ksatria.
Beberapa lawannya, telah dapat ditewaskan pula. Itulah kejadian lima tahun
yang lalu," kata Wirapati dengan tenang. "Dunia ini sesungguhnya luas. Tak
dapatlah engkau sekali menjejak sudah menemukan dasarnya. Tetapi jika
engkau penasaran kepadaku, nah majulah!"
Pringgasakti tertawa dingin. Katanya angkuh, "Kau mempunyai teman, suruhlah
meng-kerubut aku."
Belum lagi Wirapati menyahut, Bagus Kempong telah berada di sampingnya.
Kakak seperguruannya, bagaimana bisa tinggal diam melihat dia hendak
bertempur menentukan mati-hidup. Justru pada saat itu, majulah Sangaji.
Pemuda itu berkata dengan tekad bulat. "Guru! Biarlah aku maju terlebih
dahulu."
Pringgasakti tertawa mendongak. Sambil meludah ke tanah, ia berkata, "Kau
bocah ingusan hendak maju pula? Bagaimana aku dapat berlawanan dengan anak
kemarin sore?"
Sangaji adalah seorang pemuda jujur. Apabila sudah diputuskan, tak
gampang-gampang merubah niatnya. Maka untuk memperkokoh kedudukannya, dia
menjawab, "Adikmu itu, sebenarnya akulah yang membunuh. Kematiannya tiada
sangkut-pautnya dengan guruku."
Mendengar ujar Sangaji, Pringgasakti terperanjat seperti tersambar geledek.
Tiba-tiba saja, dia menggerung tinggi dan meledak.
"Apa kauhilang? Apa kauhilang? Engkaulah yang membunuh adikku? Oah...
oah... oah...
bangsat kecil! Kukirimkan kepalamu ke neraka biar digerogoti anjing-anjing
iblis!"
Sebat luar biasa, ia terus menerkam. Di luar dugaannya Sangaji dapat
mengelak manis sekali dengan ilmu petak Gaga Seta. Katanya sambil meloncat,
"Tahan, biarlah kuberi keterangan terlebih dahulu. Lima tahun yang lalu,
aku masih kanak-kanak. Tetapi hal itu bukanlah berarti, bahwa aku akan
mengingkari tanggung-jawab. Adikmu menerkam aku dengan tiba-tiba. Karena
gugup aku menarik pelatuk pistol. Secara kebetulan menembus pusat. Adikmu
terus terjengkang mati. Sekarang, baiklah kau memperhitungkan
hutang-piutang itu kepadaku. Aku seorang laki-laki takkan melarikan diri
mengungsi sampai ke ujung langit. Sebaliknya, engkau berjanji tak boleh
lagi menuntut kesalahan tangan ini terhadap kedua guruku. Kausanggup?"
"Benarkah kau laki-laki sejati, sehingga takkan kabur?" "Pasti tidak!"
"Baiklah. Dengan ini aku menghapus semua tuduhanku terhadap kedua gurumu.
Tapi, kau sekarang harus kubawa untuk kukorbankan kepada adikku."
"Abu," tiba-tiba Titisari menungkas. "Dia pun seorang laki-laki sejati.
Bagaimana bisa kaubawa dengan begitu saja?"
"Adik kecil! Kauhilang apa?" Pringgasakti menegas.
"Dia adalah ahli waris satu-satunya dari pen-dekar Jaga Saradenta dan
Wirapati murid Kyai Kasan Kesambi yang termasyhur," kata Titsari. "Sekarang
ini, murid Kyai Kasan Kesambi hampir mewarisi kepandaian gurunya. Lihat, di
samping pendekar Wirapati berdirilah seorang pendekar gagah. Dialah
kakak-seperguruan-nya yang bernama Bagus Kempong. Mereka berdua jika mau,
akan dapat mengambil nyawamu dengan mudah. Tetapi ternyata mereka tak
bergerak. Suatu tanda, bahwa mereka mengampuni nyawamu.... Sebaliknya
engkau tak mengenal tingginya udara. Tanpa memedulikan mereka, kau lantas
saja hendak menggondol muridnya. Bagaimana bisa begitu?"
"Cuh, bah!" Pringgasakti meludah di tanah. "Kauhilang, mereka mengampuni
aku? Eh, anak murid Kyai Kasan Kesambi! Gurumu pernah bertempur melawan aku
selama tujuh hari tujuh malam, sewaktu mudanya. Apa kalian benar-benar
sudah mewarisi ilmu gurumu? Mari-mari kita mencoba-coba!"
"Apa perlu mereka melayani kamu," potong Titisari. "Melawan muridnya
seorang diri, belum tentu engkau dapat memenangkan. Kaupercaya, tidak?"
Direndahkan demikian rupa oleh Titisari, sudah barang tentu meledaklah
amarah Pringgasakti. Dengan menggarit-garit tanah seperti laku seekor kuda,
mulutnya berkaokan setinggi udara. Kemudian membentak, "Jikalau dalam tiga
jurus tak dapat aku merubuh-kannya sampai mampus, aku membenturkan kepalaku
di sini biar hancur."
Meskipun hanya sekilas pandang, Pringgasakti pernah melihat Sangaji
bertempur melawan musuh-musuhnya, tatkala berada di lapangan hijau di
Pekalongan. Diapun pernah mendengar kabarnya. Karena itu, ia tak memandang
mata terhadap pemuda itu. Hanya saja, sama sekali tak diketahuinya, bahwa
pemuda itu sudah mewarisi sebagian besar ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada
duanya dalam dunia ini.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar