@bende mataram@
Bagian 194
"Ah, ya" Titisari meraba keningnya dan se-olah-olah tersadar. "Bukankah Ki
Hajar Ka-rangpandan menyatakan, bahwa dia menyerah kalah? Dengan begitu,
anak-angkat pangeran itu dinyatakan kalah pula. Jika demikian sama sekali
tidak pada tempatnya dia menyebut Sangaji dengan istilah tolol. Bahkan
dialah sebenarnya yang tolol sebagai jago godogan. Bukankah begitu?"
Terang sekali, Titisari menjatuhkan pamor Sanjaya di hadapan orang banyak.
Karuan saja, Sanjaya yang biasa mengagung-agungkan diri menjadi mendongkol.
Dengan mata berkilatan dia berkata, "Nona... aku bukan guruku. Guruku bukan
aku pula."
"Bagus!" potong Titisari. Kemudian menoleh kepada Wirapati seraya berkata
membakar hati. "Dialah yang menantang. Apakah kita akan membiarkan
tantangan itu tak terjawab."
Wirapati kenal akan kenakalan dan keliaran Titisari sewaktu berada di
tengah lapangan hijau di Pekalongan. Ia tahu pula, bahwa otaknya cerdas
luar biasa. Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, tak
gampang-gampang kena terbakar hatinya. Kehormatan dirinya, melarang
muridnya bertempur melawan seseorang murid tanpa kehadiran gurunya. Maka
dengan tenang dia berkata, "Sudah kukatakan, selama aku berada di sini,
tidak kuperkenankan mereka mengadu kepandaian. Aku khawatir akan
ditertawakan para saktiawan seluruh dunia ini."
"Baik. Paman bersitegang mempertahankan kehormatan diri. Tapi mengapa,
Paman sampai
terlibat dalam pertempuran melawan mereka? Paman ternyata dikerubut mereka
yang tak tahu malu. Apakah menghadapi bangsa cecurut demikian, masih perlu
Paman menginjak sendi-sendi kehormatan diri? Bih!"
Diejek sebagai bangsa cecurut, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan Cocak Hijau
yang beradat berangasan, tak dapat lagi menyabarkan diri. Serentak mereka
menyerang berbareng. Wut! Tapi benar-benar aneh. Dengan sedikit
menggeserkan kaki, Titisari luput dari hantaman mereka bertiga. Keruan saja
muka mereka berubah hebat.
"Nah, tu lihat! Bukankah mereka benar-benar bangsa cecurut?" ejek Titisari.
Wirapati dan Bagus Kempong terkesiap hatinya, tatkala gadis itu diserang
tiga pendekar dengan berbareng. Mau mereka bergerak mengulur tangan. Tapi
ternyata Titisari jauh lebih gesit daripada mereka. Maka diam-diam mereka
kagum kepada kegesitannya.
"Jahanam anak haram!" maki Yuyu Rumpung. "Jangan terburu-buru berbesar
hati, engkau bisa mengelakkan serangan kami. Hayo maju! Akulah yang
mewakili nDoromas Sanjaya."
"Ih, bandot tua ini benar-benar tak tahu malu," balas Titisari. "Aji!
Kauwakili aku menghajar botaknya yang mengkilat itu!"
Yuyu Rumpung benar-benar kuwalahan. Segera ia menarik kedua tangannya
bersiap menyerang. Waktu itu Sangaji telah memasuki gelanggang.
"Aji, mundur!" seru Wirapati yang meng-khawatirkan keselamatan muridnya.
"Bukankah sudah kupesankan padamu bahwa engkau harus menghindari dia?"
Tetapi Titisari menyahut, "Paman! Terhadap si botak bandotan ini, tak perlu
Paman membesarkan hatinya. Dia pantas dihajar! Dan biarlah Aji menghajar
mulutnya yang kotor! Bukankah Paman bertempur melawan mereka untuk
mempertahankan pusaka warisan Aji? Ternyata anak-angkat pangeran itu merasa
diri berhak mewarisi pusaka ayahnya. Idih! Terhadap ayah kandungnya tidak
mau mengakui, tetapi begitu mendengar pusakanya, mulutnya lantas ngiler.
Benar-benar berhati jahanam!"
Memang Titisari benci benar terhadap Yuyu Rumpung. Pertama-tama, ia pernah
bertempur dan pernah melihat pemuda pujaannya dikalahkan sewaktu baru
memiliki ilmu sakti Kumayan Jati tiga jurus. Dalam hatinya kini ingin
menguji ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah dimiliki Sangaji dengan lengkap.
Ia percaya, bahwa Sangaji akan dapat menaklukkan pendekar itu sampai tujuh
turunan. Kalau harapannya ini terkabulkan, bukankah Wirapati akan kagum
pula kepadanya?
Tetapi ucapan Titisari tanpa disadarinya sendiri, telah menusuk hati dua
orang. Selain Yuyu Rumpung, Sanjaya pula. Pemuda itu sekaligus menggerung
karena geramnya. Dengan meluapnya amarahnya, ia terus menerjang dengan satu
jurus serangan yang sangat berbahaya. Tangannya mencengkeram dan mengancam
kepala. Itulah jurus ilmu sesat ajaran iblis Pringgasakti.
Sangaji terkejut melihat serangan itu. Teringatlah dia bahwa dengan jurus
itu pula pergelangan tangan Wayan Suage kena dipatahkan. Dan begitu
teringat akan nasib Wayan Suage, sekaligus tergetarlah hatinya. Suatu
endapan api amarah bergolak dalam dadanya. Rasa muak dan jijik terhadap
Sanjaya sekaligus meledak dahsyat. Dan tanpa dipikir lagi, ia menyambut
serangan Sanjaya dengan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang maha kuat.
Bum! Seperti layang-layang terputus, Sanjaya terpelanting sepuluh langkah
dan jatuh terjungkal di atas tanah dengan memuntahkan darah.
Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan secepat itu.
Titisari yang tahu akan kehebatan ilmu sakti Kumayan Jati, terkejut juga.
Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji dapat memukul roboh Sanjaya hanya
dalam satu gebrakan saja.
"Monyet! Binatang!" maki Yuyu Rumpung kalang-kabut. Dia terus menyerang
dengan kedua tangannya berbareng. Tenaganya tak terperikan besarnya.
Waktu itu Sangaji sedang dalam termangu-mangu. Seperti Titisari, sama
sekali tak diduganya bahwa ilmu saktinya sudah maju demikian pesat,
sehingga dapat menumbangkan Sanjaya dalam satu gebrak, la heran berbareng
terharu. Sebab betapapun juga Sanjaya adalah teman sepermainan sewaktu
kanak-kanak. Meskipun kesan hati kanak-kanaknya sudah terlalu samar-samar,
tetapi terhadap Wayan Suage ia mempunyai kesan mendalam. Mendadak saja ia
mendengar kesiuran angin.
"Aji! Awas!" teriak Titisari terperanjat.
Syukur, Sangaji, sudah memiliki ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Dalam
keadaan terjepit, kakinya terus menjejak tanah. Dengan sedikit menggeserkan
kaki ia terhindar dari marabahaya. Kemudian ia melontarkanserangan balasan
dengan menggunakan jurus Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.
Yuyu Rumpung telah mengenal ilmu sakti pemuda itu, tatkala bertempur di
luar Dusun Karangtinalang. Teringat akan kedahsyatan ilmu itu, serta pula
menyaksikan bagaimana Sanjaya roboh dalam satu gebrakan saja terus ia
menjatuhkan diri ke tanah dengan bergulungan. Hasilnya ia benar-benar
tertipu. Ternyata pukulan Sangaji adalah pukulan biasa. Meskipun demikian,
karena Sangaji kini sudah memiliki ilmu tata-pernapasan Gagak Seta, tenaga
pukulannya berderu juga. Seumpama pukulan mendarat di dagunya belum tentu
dia bisa mempertahankan diri.
"Anakku Sangaji!" seru Wirapati. "Janganlah tergesa-gesa hendak merebut
kemenangan dengan cepat."
Mendengar suara gurunya, hati Sangaji ter-bombong ). Tekadnya menjadi
bulat, untuk memperlihatkan kemampuannya di hadapan gurunya. Maka ia
menghampiri Yuyu Rumpung yang sudah bersiaga membalas serangan.
Sangaji telah memperoleh pengalaman bertempur melawan sang Dewaresi.
Meskipun gaya ilmu serangan Yuyu Rumpung berbeda dengan sang Dewaresi,
tetapi titik tolaknya ada persamaannya. Yakni, mengutamakan kelincahan dan
kedahsyatan tenaga. Biarlah aku berhemat melepaskan tinju Kumayan Jati,
pikirnya. Dan berbekal pikiran demikian, ia melawan Yuyu Rumpung dengan
ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati yang diaduknya se-rapih mungkin. Itulah
sebabnya, maka per-tempuran nampak berimbang.
Diam-diam Wirapati bergembira dalam hati, menyaksikan kemajuan muridnya.
Ternyata tenaga Sangaji jauh berbeda dengan kemampuannya dua bulan yang
lalu. Kini, setiap pukulannya mempunyai pengaruh yang cukup menggetarkan.
Kesiur angin berderu-deru menyapu samping-menyamping. Tetapi lawan yang
dihadapinya bukanlah lawan yang empuk. Bagaimanapun juga, Yuyu Rumpung
adalah seorang pendekar sakti—mahaguru dan penasehat sang Dewaresi. Dengan
Wirapati saja, belum tentu dapat dikalahkan.
"Kau mencari mampus! Jangan salahkan aku!" ancam Yuyu Rumpung dengan gemas.
Terus saja ia merangsak maju.
"Aji! Jangan terlalu banyak memberi hati!" seru Titisari nyaring.
Mendengar seruan kekasihnya dan melihat serangan Yuyu Rumpung kian
berbahaya, Sangaji terus merubah tata-berkelahinya. Perlahan-lahan ia
meninggalkan jurus-jurus ilmu Jaga Saradenta yang mengutamakan tenaga
jasmani. Kemudian bergerak lincah, memasuki ilmu Wirapati.
Bagus! pikir Yuyu Rumpung gembira. Tahulah aku sekarang. Anak itu hanya
memiliki tenaga dahsyat. Ilmunya tiada yang istimewa. Biarlah kini
kukurungnya. Memperoleh pikiran demikian, ia meloncat ke samping dan
melibat rapat.
Titisari jadi bingung menyaksikan Sangaji terkurung rapat, la
berharap-harap, agar ke-kasihnya mengeluarkan ilmu saktinya Kuma-yan Jati.
Namun sekian lama, masih saja kekasihnya berputar-putar dengan tangkisan
dan pukulan jasmaniah belaka. Gelisah ia melemparkan
pandang kepada Wirapati yang nampak pula mengerutkan dahi. Rupanya Wirapati
mencemaskan muridnya pula. Sebagai seorang guru inginlah dia menolong
muridnya. Tetapi jiwa ksatria tidak memperkenankan. Mendadak terdengar
Sangaji berkata nyaring.
"Guru! Titisari! Ijinkanlah aku menghajar orang ini!"
Setelah berkata demikian, tangannya mulai bergerak aneh. Kemudian mengibas
udara dan terus membalas merangsak. Yuyu Rumpung melihat gerakan aneh itu.
Sebagai seorang pendekar yang sudah biasa mengagungkan kepandaian sendiri,
tak mau ia mendesak. Ia tetap bersitegang dan inilah saat yang dike-hendaki
ilmu Kumayan Jati.
Terus saja, Sangaji meliuk. Kaki kanannya menggeser cepat. Melihat gerakan
ini, Yuyu Rumpung terperanjat. Sekaligus teringatlah dia kepada daya gempur
ilmu anak muda itu. Cepat ia menarik kedua tangannya dan disilangkan untuk
melindungi dada. Kemudian sikunya ditekuknya pula, untuk membarengi
menyodok. Inilah cara pertahanan berbareng melontarkan serangan. Biasanya,
dengan gerakan ini dia bisa menumbangkan lawan dengan sekali sodokan.
Tetapi kali ini, dia bukan menghadapi lawan yang berilmu lumrah. Inilah
kesalahan yang tak terampunkan. Maka tiba-tiba saja, tubuhnya bergetar.
Sangaji telah melepaskan satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang keras.
Belum lagi Yuyu Rumpung mempersiagakan serangan balasan, sekali lagi
Sangaji melontarkan pukulan yang aneh. Pundaknya kena terhajar. Rongga
dadanya lantas saja menjadi sesak dan tubuhnya tiba-tiba terus terlempar
sejauh lima belas langkah.
Semua orang menjadi kaget kembali, hingga mereka memperdengarkan rasa
herannya. Justru pada saat itu, terjadilah suatu keanehan lain. Mendadak
nampaklah sesosok bayangan berkelebat dengan menerkam kain leher Yuyu
Rumpung. Bayangan itu kemudian berdiri dengan tegak. Ternyata dia adalah
seorang laki-laki berkulit hitam mengkilat, bibirnya tebal berkepala gede.
Roman wajahnya terkesan dingin beku. Dia tersenyum pahit dengan pandang
mata berkilat-kilat. Semua yang melihat mereka menjadi terperanjat setengah
mati, karena orang itu adalah iblis Pringgasakti.
"Guru!" seru Sanjaya bergembira dan terus saja menyongsong kedatangan
Pringgasakti dengan terhuyung-huyung. Ia hendak datang bersembah, mendadak
ia mundur selangkah, karena di belakang gurunya nampak sesosok tubuh lain
yang mengenakan jubah panjang warna abu-abu. Perawakan sesosok tubuh itu,
tinggi semampai. Dan wajahnya benar-benar mengerikan dan menggigilkan hati.
Barang-siapa sekali melihat wajahnya, takkan sudi melihat wajahnya untuk
yang kedua kalinya.
Waktu itu, Wirapati dan Bagus Kempong sedang saling memandang. Mereka
heran, menyaksikan Sangaji dapat menumbangkan lawan dengan sekali pukul.
Tadi mereka berdua sudah mengadu kekuatan dengan Yuyu Rumpung.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar