9.07.2019

@bende mataram@ Bagian 180

@bende mataram@
Bagian 180


Titisari jadi sibuk sendiri mendengar ujar Nuraini. "Inilah aneh."


Nuraini kemudian menekan pergelangan tangan Titisari sambil berkata
menguji, "Adikku. Ingin aku bertanya kepadamu. Benar-benarkah di dalam
dunia ini hanya ada seorang Sangaji belaka dalam hatimu?"


Titisari adalah seorang gadis polos. Mendapat pertanyaan demikian tanpa
segan-segan terus


mengangguk.


"Sekiranya di dunia tiba-tiba muncul seorang pemuda yang jauh lebih ganteng
dan perkasa, apakah kamu akan meninggalkan dia?" ujar Nuraini lagi.


"Aku meninggalkan dia? Hm... jangan bermimpi. Hanya saja, di kolong dunia
ini tak bakal ada seorang pemuda yang bisa melebihi Aji. Aku yakin."


Nuraini tertawa.


"Aduh! Sekiranya Kangmas Sangaji mendengar kata-katamu, bagaimana takkan
berbesar hati dia. Dan tahukah kamu adikku, kalau di dalam hatiku pun
tersimpan sebutir mutiara yang tak bisa terenggutkan lagi? Keadaan hatiku
samalah halnya dengan keadaan hatimu."


"Siapakah dia?"


"Kamu pernah melihatnya, tatkala ayah-angkatku membuka arena di lapangan
terbuka."


"Ah!" Titisari tersadar. Terus menebak, "Bukankah pemuda itu memenangkan
arena, pertandingan? Dia anak Pangeran Bumi Gede si Sanjaya. Bukankah dia?"


Nuraini mengangguk sambil menyahut, "Dia boleh menjadi anak pangeran. Dia
boleh menjadi seorang pengemis, apa peduliku? Dia boleh berhati mulia. Dia
boleh berhati buruk. Dia boleh berhati jahat, kejam dan segalanya. Dalam
hatiku, dialah mutiara hatiku seorang yang akan kubawa mati."


Suara Nuraini kian jadi pelan dan mendadak saja berubah mengharukan.
Titisari jadi mengerti perasaannya. Dengan penuh perasaan ia menangkap
pergelangan tangan Nuraini. Kemudian ia mengangsurkan tusuk rambut yang
dirampasnya.


"Maaf atas perlakuanku tadi. Ini kukembalikan."


Sinar mata Nurani berkilat-kilat tatkala menerima tusuk rambut itu. Ia
menciumnya dengan mesra. Titisari yang cerdas lantas saja dapat menebak.


"Apakah benda ini dari dia?" Nuraini mengangguk.


"la menghadiahkan benda ini kepadaku diam-diam, tatkala aku berada dalam
kamar tahanan. Katanya, "Itulah tusuk sanggul ibunya."


Titisari dapat merasakan rasa bahagia Nuraini. Lantas saja ia memeluknya.
Nuraini pun membalas memeluk pula. Dengan demikian, mereka berpadu jadi
berpeluk-pelukan. Hatinya berpadu dan seperti senasib.


"Adik," tiba-tiba Nuraini berkata lagi. "Kulihat kau tadi menggunakan
jurus-jurus ajaran Paman Gagak Seta. Benarkah itu?"


"Kaukenal dia?" Nuraini mengangguk.


"Ah," Titisari heran, kemudian meneruskan, "Memang aku menerima ilmu Paman
Gagak Seta yang bernama Ratna Dumilah dengan lengkap."


Kini Nurainilah yang menjadi heran. Ujarnya, "Kamu diwarisi ilmunya?"


Titisari segera mengisahkan riwayat pertemuannya sampai dapat mewarisi ilmu
sakti itu.


"Kamu beruntung, adikku," tungkas Nuraini. "Menurut kabar, Paman Gagak Seta
tak pernah mengajar seseorang lebih dari satu jurus. Jika beliau mewarisiku
tiga jurus, adalah suatu keuntungan belaka. Waktu itu, aku masih
kanak-kanak. Ayah sering meninggalkan aku seorang diri sehingga kerapkali
satu hari penuh aku tak bertemu dengan sesuap nasi. Rupanya dia iba
kepadaku. Aku diajari beberapa jurus Ilmu Ratna Dumilah. Tapi dasar otakku
bebal, maka aku hanya mewarisi tiga jurus belaka. Dia lantas menghilang tak
tahu rimbanya."


Titisari mendengarkan keterangan Nuraini dengan sungguh-sungguh.
Teringatlah dia,




bagaimana Nuraini dulu menghajar beberapa orang kalang-kabut dengan ketiga
jurus yang kini telah dikenalnya. Ia percaya, kalau Nuraini tidak berdusta.


Tiba-tiba saja, terdengarlah daun kering ber-gemerisik. Sesosok bayangan
berkelebat dan tahu-tahu Gagak Seta telah berada di depannya. Agak jauh di
belakangnya, berdiri Sangaji pula.


"Hai anak siluman!" damprat Gagak Seta kepada Titisari. "Jika kenakalanmu
itu kauulangi lagi terhadapnya, aku akan menamparmu sampai jera." Setelah
berkata demikian, ia melesat pergi dan lenyap dari penglihatan.


Titisari terperanjat sampai berdiri tegak. Tahulah dia bahwa selama dia
berkutat dengan Nuraini, Gagak Seta berada tak jauh daripadanya. Karena
itu, malu bukan kepalang.


"Titisari!" terdengar Sangaji agak menyesal. "Perbuatanmu tadi kena
intainya." "Mengapa kamu berdiam saja?" Titisari membalas menyesali.


"Aku didekapnya!" jawab Sangaji. "Aku diajak menyusulmu, karena dia hendak
meninggalkan kita dengan tergesa-gesa."


Titisari membungkam. Ia kenal sepak-ter-jang Gagak Seta yang aneh. Hanya
saja cara berpamit Gagak Seta kepadanya, agak luar biasa. Tapi seumpama
nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Mau tak mau dia harus
menelan kesan yang kurang sedap itu. Mendadak Sangaji berkata penuh selidik.


"Titisari! Mengapa kamu tadi mengancam Nuraini. Paman Gagak Seta kulihat
tubuhnya sampai bergemetaran."


Memperoleh pertanyaan itu, Titisari benar-benar jadi kelabakan. Maklumlah,
dia teringat akan alasan perbuatannya hendak memaksa Nuraini agar bersumpah
takkan menjadi isteri Sangaji. Tapi dasar ia cerdik, maka cepat-cepat ia
mengalihkan persoalan.


"Aji! Kemari! Kamu dicari adikmu," ujarnya sambil menjatuhkan gundu mata
kepada Nuraini.


Sangaji terhenyak. Melihat Nuraini dan teringat pula akan pesan Wayan
Suage, mukanya menjadi merah. Seperti seseorang yang merasa bersalah, ia
datang menghampiri dengan mengunci mulut. Kemudian duduk agak jauh di
sebelah kiri.


Nuraini tahu membaca hati mereka berdua. Ia tertawa perlahan-lahan, tetapi
tak berkata sepatah kata pun juga. Diam-diam Sangaji dan Titisari
berterima-kasih kepadanya oleh alasannya masing-masing.


"Kak Nuraini membawa pesan untukmu," kata Titisari memecahkan ketegangan.


Teringat akan gurunya, mendadak Sangaji jadi gopoh. Ya, bukankah sudah
lebih satu bulan dia berpisah dengan gurunya? Sekaligus hilanglah
perhatiannya terhadap laku Titisari kepada Nuraini yang belum terjawab.
Maka terloncatlah pertanyaannya.


"Apakah kamu membawa pesan guru? Dimanakah dia?"


"Paman Wirapati menunggumu sampai dua minggu di sini. Kemudian berangkat ke
timur. Seminggu kemudian dia memberi kabar padaku tentang benda warisanmu.
Dia berhasrat benar hendak menemukan. Tapi sampai sekarang, tiada kabar
beritanya. Barangkali sekarang ini dalam perjalanan pulang ke Sejiwan. Kamu
diperintahkan agar cepat-cepat menyusul. Dia akan menyongsong di kaki
Gunung Damar."


"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Sangaji. Tetapi Nuraini
menggelengkan kepala. Pemuda itu menjadi heran. "Mengapa?" dia menegas.
"Aku harus menjaga rumah." "Menjaga rumah? Apakah rumahmu..." "Bukankah
kamu dilahirkan dan dibesarkan pula di dalam rumah itu?" potong Nuraini.
Diingatkan tentang hal itu, mendadak saja tubuh Sangaji bergetar. Hatinya
terguncang. Lantas saja dia menjadi terharu.


"Kak Nuraini!" Titisari menungkas. "Dinding mempunyai telinga. Marilah kita
mencari tempat yang aman, agar bisa berbicara lebih leluasa."




Peringatan itu menyadarkan mereka berdua. Lantas saja bertiga mereka pulang
ke pondok. Di sana mereka lantas berbicara seleluasa-luasanya. Nuraini
mengabarkan tentang per-jalanan bersama Wirapati. Sedangkan Sangaji dan
Titisari mengkisahkan tentang pertemuan dengan Gagak Seta.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar