@bende mataram@
Bagian 178
Dia adalah gadis lincah yang tak senang kepada suatu kemurungan. Gntuk
mengisi kekosongan hati, ia mencari kesibukan lain. Tadi ia membeli
sebungkus isi sawo. Maksudnya hendak dipergunakan sebagai biji-biji
permainan dakon. Tapi kawannya—Sangaji—adalah seorang pemuda yang
dibesarkan di tangsi militer Belanda. Masa kanak-kanaknya hilang direguk
suatu nasib yang tak berketentuan. Permainan kanak-kanak, tak begitu banyak
dikenalnya. Kecuali, memancing, berketapel, berlari, berburu dan adu tinju.
"Dakon? Apa dakon itu?"
"ldih! Masa tak tahu?" Titisari setengah menyesali. "Mari kuajari."
Dengan tersenyum pahit, Sangaji menghampiri. Ia merenungi gadisnya, tatkala
membuat enam belas lobang di tanah. Kemudian mengisi tiap lobang dengan
tujuh biji isi sawo.
"Sekarang lihat dan dengarkan petunjuk-petunjukku," hendak mulai mengajar.
Mendadak saja, Gagak Seta yang duduk termenung-menung seorang diri melesat
sambil meraup semua biji isi sawo.
"Ini dia! Ketemu! Ketemu!" serunya girang. Kemudian ia lari keluar gubuk
dan dengan sekaligus menebarkan seraup biji isi sawo ke udara. "Hai!
Bukankah isi sawo ini bisa dijadikan senjata pembidik pemusnah tabuan?"
katanya nyaring.
Melihat Gagak Seta begitu girang, Sangaji dan Titisari saling memandang.
Mereka ikut pula lari keluar gubuk menyaksikan Gagak Seta membidikkan
biji-biji sawo dengan cekatan dan berwibawa.
"Ah!" seru Titisari tertahan. "Sekiranya biji-biji sawo bisa Paman jadikan
suatu senjata bidik, alangkah gampang. Aku bisa mengumpulkan biji sawo
ribuan dalam sehari."
"Kamu memang anak siluman," kata Gagak Seta. "Seandainya tidak ada kamu,
sampai kepala ubanan tak bakal aku menemukan senjata pemusnah untuk melawan
tabuan si bandot Kebo Bangah. Hai, kamu bocah berdua, ikutlah aku! Bukankah
kamu ingin kuajari ilmu membidik untuk menum-bangkan lawan dari jauh?"
Orang tua itu lantas saja menarik lengan kedua muda-mudi itu. Mereka dibawa
lari memasuki hutan. Dan di sana mereka diajar menimpuk dari jauh dan
membidik cepat.
Ilmu membidik dan menimpuk tidak hanya bersandarkan suatu tenaga jasmani
belaka. Tetapi harus menguasai tenaga napas yang teratur. Dengan demikian,
bisa mengendalikan daya tekan dan lontaran yang dikehendaki. Untuk
melahirkan ilmu itu, mereka berdua membutuhkan waktu sepuluh hari lamanya.
Tetapi Gagak Seta nampak bergirang benar. Dengan pandang berseri-seri tak
bosan-bosan ia memuji hasil penemuannya itu.
"Memang aku seorang jembel. Hm, bagaimana aku bisa membeli alat senjata
yang bukan-bukan. Sekarang aku tak perlu lagi kain penutup tubuh atau obor
gede. Cukup dengan sekali lontaran, aku bisa meruntuhkan ribuan tabuan. Si
tua bangsat Kebo Bangah pasti akan mendongkol setengah mati..."
Karena gembiranya, Sangaji diajari pula ilmu permainan petak. Mula-mula
ber-loncat-loncatan seperti kanak-kanak bermain petak. Tapi lambat laun,
terasa besar daya gunanya. Karena tiba-tiba menjadi ilmu rahasia mengenal
bidang gerak.
Untuk menguasai ilmu petak ini, Sangaji memerlukan sembilan hari lamanya.
Sebaliknya Titisari sudah dapat memahami dalam waktu hanya tiga hari saja.
Dengan demikian, nampaklah perbedaan nilai kecerdasan antara Sangaji dan
Titisari. Sesungguhnya, sampai di kemudian hari Sangaji tak dapat melawan
kecerdasan otak Titisari. Sebaliknya, Titisari di kemudian hari menemukan
suatu kesulitan karena kecerdasan otaknya sendiri. Seperti diketahui,
seseorang yang terlalu pandai tak betah menekuni suatu ajaran sampai
mencapai dasarnya, karena tak mau terikat oleh suatu pengertian tunggal
yang beku. Deru hatinya ingin menguasai ilmu-ilmu yang lain dengan cepat
dan sekaligus seperti arus air turun dari ketinggian yang segera meraba
seluruh persada bumi yang dihadapi. Itulah sebabnya, dalam hal ketabahan,
keuletan, kesempurnaan dan ketangguhan tak menang dengan Sangaji. Setelah
menerima ajaran ilmu petak, Gagak Seta hendak menurunkan pula ilmu
menggunakan tongkat. Tetapi Sangaji menolak.
"Mengapa?" Gagak Seta heran.
"Otakku terlalu bebal," katanya. "Paman sudah mengajariku begini banyak.
Ilmu Kumayan Jati saja belum dapat kukuasai dengan sempurna."
Gagak Seta terhenyak sebentar. Dengan berdiam diri ia merenungi pemuda itu.
Pikirnya, anak ini jujur, sederhana, dan berhati mulia. Hatinya tidak
serakah seperti kebanyakan. Kukira hanya
alasan yang di cari-cari saja, dia menyatakan tidak akan sanggup menerima
beberapa macam ilmu.
"Sangaji! Kamu seorang yang jujur," akhirnya dia berkata. Kemudian dengan
menggandeng Titisari ia berkata kepada gadis itu, "Ayo, kita berlatih!" Dan
dengan sekali melesat, tubuhnya hilang di balik semak-belukar dengan
menggandeng Titisari.
Pada suatu hari, Gagak Seta tidur mendengkur di bawah pohon jati. Waktu itu
matahari lagi sepenggalan tingginya, Sangaji berada tak jauh dari orang tua
itu—lagi menekuni rahasia-rahasia Ilmu Kumayan Jati.
Titisari merenungi Gagak Seta. Terasalah dalam hatinya, bahwa dalam
beberapa hari lagi orang itu akan berangkat berpisah entah ke mana.
Mengingat budinya, dia jadi terharu. Timbullah niatnya hendak membalas jasa
orang itu sekuasa-kuasanya. Maka ia hendak berbelanja. Dalam benaknya ia
sibuk merencanakan suatu resep masakan yang istimewa.
Dengan menjinjing keranjang, ia memasuki Dusun Karangtinalang. Pagi itu,
penduduknampak sibuk. Sebagai seorang gadis yang berwatak usil, lantas saja
ia sibuk me-nebak-nebak. Bukankah hari ini, hari biasa? pikirnya. Mengapa
mereka berada di jalan begini berbondong-bondong? Mendapat pikiran
demikian, segera ia mempercepat langkah. Kemudian menggabungkan diri ke
dalam kerumunan orang. Tak usahlah lama ia menunggu teka-teki itu, atau ia
melihat kereta kuda berderet-deret. Dua belas ekor kuda nampak pula
tercincang di seberang-menye-berang jalan.
"Eh, apakah ada keramaian?" ia sibuk menduga-duga.
la berhenti di depan sebuah rumah yang berhalaman luas. Rumah itu terlalu
sederhana. Dinding dan tiang-tiang gurunya terdiri dari bambu yang sudah
tua. Di tempat-tempat tertentu meskipun belum reot sudah banyak yang
keropos. Halamannya yang luas nampak tak terpelihara. Semak belukar tumbuh
dengan liarnya. Samar-samar beberapa pohon tinggi yang berdiri sebagai
pagar, kelihatan hitam semua seperti bekas kena bakar.
Rumah ini tidak ada keistimewaannya. Reyot dan tak terpelihara. Nampaknya
habis mengalami kebakaran. Mengapa mendapat perhatian begitu besar?
Titisari berpikir dalam hati. Rasa usilnya lantas saja menjadi
berkobar-kobar. Ia melongokkan kepala di antara penduduk yang berdiri
merubung jalan. Mendadak saja, ia melihat seorang gadis berjalan menyusup
di seberang sana. Dialah Nuraini—anak pungut Wayan Suage—yang berjalan
bersama Wirapati dua bulan yang lampau.
Melihat dia Titisari lantas saja membuntuti. Ternyata, Nuraini berusaha
melintasi halaman rumah itu dengan hati-hati. Begitu berhasil berada di
tepi sana, segera ia mempercepat langkah. Ia memasuki suatu tikungan dan
mulailah dia berlari-lari. Mendadak saja sesosok bayangan bekelebat di
depannya.
"Kau lagi mencuri apa?" bayangan itu menegur galak. Nuraini terperanjat
sampai raut mukanya berubah. Melihat siapa yang menghadang, hatinya jadi lega.
"Ah! Bukankah kau sahabat Kangmas Aji?" ujarnya.
"Kangmas, kangmas, kangmas," damprat Titisari tak senang. "Mengapa
memanggil kangmas?"
Sebentar Nuraini tercengang mendengar bunyi teguran itu. Kemudian menjawab,
"Karena dia putera almarhum Made Tantre. Aku sendiri anak pungut almarhum
Wayan Suage. Se-lain almarhum Made Tantre lebih tua usianya daripada
ayah-angkatku kangmas Sangaji pun beberapa tahun lebih tua daripadaku."
Titisari terdiam. Tapi kesan mukanya tetap keruh. Tiba-tiba mengalihkan
pembicaraan. "Dimanakah guru Sangaji?"
"Ah, Beliau sudah mendahului pulang ke Sejiwan. Dia sudah menunggu terlalu
lama. Mengira, Kangmas Aji mengambil jalan lain ia segera meneruskan
perjalanan."
"Inilah aneh. Mengapa kamu di tinggal seorang diri?"
Nuraini tersenyum lebar. Ia memaklumi kecurigaan Titisari. Lantas saja
memberi penjelasan.
"Pertama-tama, aku pernah hidup di dusun ini beberapa tahun lamanya. Hampir
semua penduduk mengenalku. Kedua, Paman Wirapati meninggalkan pesan untuk
Kangmas Aji, apabila dia lewat dusun ini. Ketiga, aku ingin berbicara
kepadanya tentang pesan penghabisan ayah-angkatku."
Titisari merenungi Nuraini dengan pandang tajam, la melihat gadis itu
bersanggul bentuk Jawa Barat dan mengenakan tusuk rambut dari emas yang
dihiasi pula dengan beberapa butir intan. Mendadak saja ia menyambar cepat
dan mencabut tusuk rambut itu dari sanggul.
Nuraini terperanjat. Ia sama sekali tak mengira Titisari akan
memperlakukannya demikian rupa, sehingga tusuk rambut itu bisa tercabut
dari sanggulnya. Tak peduli dia seorang gadis yang cekatan, tangkas, gesit
dan pandai berkelahi.
"Adik!" serunya menebak-nebak. "Mengapa... Mengapa?"
Tetapi Titisari sesungguhnya seorang gadis yang nakal. Perangainya
angin-anginan pula. Dia bisa menangis dan tertawa dengan berbareng.
Kadang-kadang tingkah-lakunya lembut. Mendadak sontak bisa jadi berandalan.
Dan kali itu, watak berandalannya lagi kumat, karena hatinya panas
mendengar Nuraini menyebut kangmas terhadap Sangaji. Maka ia hendak
mempermainkannya. Dengan menjulurkan lidah ia berkata nakal.
"Hai yayi Nuraini... Aku pinjam tusuk rambutmu hendak kuperiihatkan kepada
Kangmas Sangaji."
Merah muda raut muka Nuraini mendengar olok-olok Titisari. Dengan
mengendapkan rasa mendongkolnya, ia mencoba.
"Adik! Kembalikan!"
"Idih! Kembalikan? Baik, kamu boleh ambil kembali kalau mampu," sahut
Titisari. Dan setelah berkata demikian, sekonyong-konyong ia melesat pergi.
Pikirnya, kebetulan. Biar ku-ujinya ilmu petak Paman Gagak Seta dengan dia.
Hm... enak saja kamu memanggil kangmas, Aji adalah kepunyaanku. Kau tak
boleh menyebut namanya tanpa izinku..."
Nuraini tak mengetahui isi hati Titisari. Ia mengira, gadis cantik itu
hendak menggodanya barang sebentar. Tak tahunya, dia benar-benar lari
dengan cepat. Maka rasa mendongkolnya berubah menjadi panas. Sekaligus ia
menjejak tanah dan melesat mengejar.
Nuraini sebenarnya bukanlah seorang gadis sembarangan. la gesit, cekatan
dan tangkas. Seumpama Titisari belum mewarisi ilmu petak dari Gagak Seta,
pasti akan bisa dikejarnya dengan gampang. Sayang, Titisari sekarang bukan
lagi Titisari dua bulan yang lalu. Seperti kupu-kupu ia melesat ke sana ke
mari seperti kanak-kanak bermain gobak sodor. Aneh-nya, larinya cepat luar
biasa. Diam-diam Nuraini heran. Dan ketika ia mengamat-amati, hatinya tercekat.
Hai! Bukankah ini ilmu petak paman Gagak Seta? pikirnya dalam hati. Aneh!
Apakah dia muridnya? Ah, mustahil Paman Gagak Seta mengambil seorang murid.
Dan tak mungkin pula dia menjadi murid seorang aneh itu.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar