@bende mataram@
Bagian 177
Sang Dewaresi terperanjat. Pikirnya, ilmu Paman belum kuwarisi separuhnya.
Orang ini pernah bertempur dengan Paman dan tidak ada yang kalah atau
menang. Pasti bukan orang sembarangan. Dan nampaknya, ia bukan pembual
besar. Hm—kalau aku tak cepat-cepat mengundurkan diri, bisa aku
dipermainkan di depan gadis ini...
Mendapat pikiran demikian, segera dia memberi isyarat kepada kelima orang
bawahannya. Kemudian setelah mengerling kepada Titisari, ia berjalan
mengarahkan kereta kudanya.
Kelima orang hamba sang Dewaresi segera bersiul nyaring. Barisan tabuan
mendadak saja terbang menanjak udara dengan berdengung-an. Sebentar saja
telah lenyap dari pengli-hatan. Dan mereka kemudian berjalan berdampingan
dengan tersipu-sipu.
"Paman Gagak Seta!" kata Titisari nyaring. "Benarkah orang dapat menguasai
lebah!?"
Gagah Seta menyusuti keringat di sepanjang seteguk air. Maka mereka
memasuki gubuk. berlega-hati.
"Sungguh berbahaya...! Sungguh berbahaya...!"
lehernya, la menghela napas sambil meminta Setelah meneguk air, berkatalah
Gagak Seta
"Apakah yang membahayakan?" Titisari heran.
"Duduklah!" perintah Gagak Seta. Kemudian berkata menasihati, "Jika kamu
bersua dengan jahanam itu, cepat-cepatlah berlalu. Bukan terhadap ilmu
berkelahinya, tapi semata-mata karena binatang piaraannya itu. Aku sih...
tiada takut. Aku bisa berjaga diri dan mengusir pergi. Tetapi kamu... itu,
sih lain."
"Bukankah binatang piaraannya itu adalah lebah lumrah?" Titisari menungkas.
"Bukan! Bukan! Tabuan itu bernama Kelingking. Lihat! Warnanya hitam bersemu
hijau. Dan di sepanjang perutnya tergarit warna merah," sahut Gagak Seta
sambil menjumput seekor tabuan yang mati merentep pada tubuh Sangaji.
Setelah diperlihatkan kepada Titisari dia berkata lagi, "Konon kabarnya,
tabuan ini hanya hidup di suatu pegunungan di daerah Jawa Barat. Binatang
ini sudah berusia tua. Kabarnya, dulu adalah tabuan piaraan Aria Bangah,
putera sulung Raja Siliwangi. Tatkala bertempur melawan Ciung Wanara, Aria
Bangah mencoba mengerahkan tentara udaranya. Tetapi tak berhasil, karena
Ciung Wanara memiliki khasiat sakti semacam yang dimiliki Sangaji. Dengan
demikian, Aria Bangah dapat dikalahkan. Dia lari ke Jawa Tengah dan
bermukim di Gunung Dieng. Ia hidup sebagai pendeta dengan gelar Kyai Gede
Singgela. Tabuan piaraannya tetap dibawanya serta. Dan selanjutnya entah
bagaimana tiba-tiba tabuan itu bisa dikuasai bandot busuk," ia berhenti
lagi. Meneruskan, "Bandot busuk— paman Dewaresi itu—waktu mudanya bernama
Gunawan. Rupanya setelah mendapat tabuan Kelingking, dan mendengar sejarah
tabuan itu, lantas merubah namanya (nunggak semi ) dengan Aria Bangah gelar
Gede Singgela. Tapi dasarnya dia seorang bandot seperti kerbau, maka kami
tetap memanggilnya si Kebo Bangah," ia tertawa gelak.
"Apa sih bahayanya tabuan Kelingking?" tanya Titisari dengan bernafsu.
"Bisanya bagaikan seekor ular. Sekali kamu kena disengat, tak kan dapat
disembuhkan dan dipulihkan kembali jika tiada bersedia menjadi hamba si
bandot busuk itu. Karena dialah satu-satunya orang di seluruh dunia ini
yang memiliki obat pemusnahnya. Kabarnya, tabuan Kelingking direndamnya
pula dalam getah buah Ingas yang berliur racun jahat. Kauta-hu warna buah
Ingas? Bentuknya seperti sawo. Seseorang yang kena sentuh liurnya, akan
mati membusuk. Karena itu bagaimana bahayanya bisa kaubayangkan. Mungkin
kamu bisa menghindarkan diri dari sengatan dua ekor tabuan. Tapi tidak
untuk seratus atau seribu ekor yang menyerangmu sekaligus dari berbagai
jurus... Tadi kulihat Sangaji bisa melawannya.
Mula-mula aku kaget. Kemudian heran. Akhirnya aku gembira dan bersyukur.
Kupikir, andaikata mereka melawan aku bisa menghadapinya. Sedangkan
terhadap tentara tahuannya adalah bagianmu. Hanya saja... andaikata si Kebo
Bangah bandot busuk itu muncul pula, nah itulah berbahaya. Aku, sih tak
takut padanya. Tetapi kamu berdua, meskipun sudah hampir meyakinkan ilmu
saktiku yang kuberikan kepadamu, belum bisa melawannya. Sekali kamu
bertempur takkan bisa lolos dari pengamatannya..."
"Apa dia maha-sakti?" Titisari cemas.
"Apakah ayahmu belum pernah memberi tahu kepadamu, bahwa di dunia ini
selain ada Kyai Kasan Kesambi, Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber
Nyawa, Kyai Haji Lukman Hakim, ayahmu dan Gagak Seta masih ada seorang lain
bernama Kebo Bangah?"
Titisari menarik napas. Seperti terhadap diri sendiri, dia berkata
perlahan, "Pangeran Mangkubumi I, Pangeran Samber Nyawa dan Kyai Haji
Lukman Hakim sudah wafat. Kini tinggal Kyai Kasan Kesambi, Ayah, Paman
Gagak Seta dan Kebo Bangah. Siapakah di antara keempat orang yang masih
hidup itu, yang terunggul?"
"Meskipun keenam orang masih hidup lengkap, takkan mampu melawan Kyai Kasan
Kesambi." "Bagus!" Titisari girang. "Bukankah Kyai Kasan Kesambi adalah
kakek-guru Sangaji?"
"Ya," sahut Sangaji berbesar hati. "Aku adalah murid Wirapati—murid keempat
Kyai Kasan Kesambi."
"Aku sudah mengetahui. Caramu mengatur napas, caramu bergerak dan gaya
lakumu adalah gaya warisan Kyai Kasan Kesambi. Meskipun kamu telah
menghisap getah sakti Dewadaru dan menelaah ajaran napas Ki Tunjungbiru,
apakah kau kira kamu mampu mewarisi ilmu saktiku begini gampang, andaikata
kamu tak memiliki warisan ilmu Kyai Kasan Kesambi?" sahut Gagak Seta
sungguh-sungguh. "Anak! Kyai Kasan Kesambi kini sudah menjadi seorang
pertapa. Dia tak mengurusi soal keduniawian. Tapi cobalah kamu datang
menghadap padanya. Jika dia mau memberi wejangan dan wewenangan tentang
cara melebur ilmu sakti Bayu Sejati dan ilmu sakti Kumayan Jati, kamu akan
menjadi satu-satunya orang yang bakal bisa menggempur kecongkakkan Kebo
Bangah. Apa lagi, jika bakal mertuamu mau campur tangan. Karena dengan
demikian, sekaligus kamu memiliki ilmu-ilmu simpanan Surengpati, Kyai Kasan
Kesambi dan Gagak Seta. Siapa orang di seluruh dunia yang mampu menandingi
ilmu gabungan kami bertiga?"
Mendengar ujar Gagak Seta, mata Titisari bersinar-sinar penuh harapan.
Sedangkan Sangaji nampak gelisah luar biasa. Sebab, tiba-tiba saja
teringatlah dia kepada gurunya yang sudah berjalan mendahului sebulan yang
lampau.
Tiba-tiba Gagak Seta melompat berdiri dan kemudian berjalan mondar-mandir
seperti laku serigala, la termenung-menung beberapa saat lamanya. Kemudian
berkata seorang diri.
"Bandot bengkotan Kebo Bangah itu sudah berhasil memiliki Ilmu Swaradahana
untuk menaklukkan semua binatang galak dan berbisa. Inilah ketekunan yang
tidak mudah. Dewaresi bisa menghasut yang bukan-bukan kepadanya. Dan sekali
keluar dari sarangnya, pastilah Bandot bangkotan itu membawa binatang
piaraannya yang beraneka warna. Aku harus menemukan suatu senjata penangkis
untuk melawan binatang-binatangnya yang berbisa..."
Titisari jadi ikut berpikir pula.
"Paman! Di tempat kami, di kepulauan Karimun Jawa, penduduk gemar makan
ulat lebah. Aku pernah ikut salah seorang pelayan kami yang sering mencari
sarang-sarang lebah di hutan. Dia membebat kepalanya dengan kain tebal.
Kemudian dengan membawa obor dia mengusir kerumunan lebah. Dengan demikian
berhasillah dia membawa sarang lebah pulang."
"Hm, bagus!" sahut Gagak Seta, tetapi mukanya nampak suram. Ia berjalan
mondar-mandir kian cepat. "Tapi aku bukan seorang perempuan yang hanya
pandai mempertahankan diri atau hanya mengusir tabuan," katanya seperti
memaki diri sendiri.
Titisari terdiam, la tak berkata lagi. Dan membiarkan Gagak Seta sibuk
seorang diri semalam penuh. Keesokan harinya karena melihat Gagak Seta
agaknya membatalkan kepergiannya, segera ia berkemas dan berangkat memasuki
dusun berbelanja.
Waktu matahari hampir mendekati titik-te-ngah, ia datang kembali dengan
membawa dua ekor ayam dan sebuah bungkusan tebal. Beda dengan biasanya,
Gagak Sata sama sekali tak menaruh perhatian kepada dua ekor ayam yang
dibawanya. Masih saja ia duduk termenung-menung seperti seorang lagi
ber-duka. Dengan demikian, Titisari bisa memasak dengan leluasa tanpa
gangguan. Setelah selesai memasak, ia membuka bungkusannya. Kemudian
berkata kepada Sangaji.
"Aji! Kau bisa bermain dakon?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar