9.05.2019

@bende mataram@ Bagian 176

@bende mataram@
Bagian 176


"Beberapa sahabatku telah mengganggu Tuan. Atas kekurangajaran beberapa
sahabatku, perkenankan aku meminta maaf," katanya. Kemudian beralih kepada
Titisari, "Hai... Nona pun berada di sini. Mengapa meninggalkan Pekalongan
tanpa pamit?"


Titisari kenal akan perangai sang Dewaresi tatkala di serambi kadipaten.
Maka ia tak menghiraukan ucapannya. Sambil menoleh kepada Gagak Seta ia
berkata mengadu.


"Paman Gagak Seta, inilah dia telur busuknya. Baiklah Paman menghajar
padanya, biar kapok."


Gagak Seta mengangguk. Kemudian dengan pandang tajam ia mendamprat sang
Dewaresi.


"Gdara memang milik manusia seluruh dunia. Aku tahu. Tapi mengapa kamu
begini serakah, sampai dengan sewenang-wenang membiarkan binatang piaraanmu
menggang-gu orang? Bersandar kepada pengaruh siapa, kamu sampai berani
mengangkangi udara seolah-olah milikmu seorang?"


"Tabuan ini datang dari jauh. Mereka sudah terbang melintasi wilayah negara
berhari-hari lamanya. Mungkin mereka sudah lapar dan haus, sehingga susah
dikendalikan lagi," sang Dewaresi membela.


"Hm!" dengus Gagak Seta. "Sudah berapa kali kamu mencelakai orang?"


"Kami melintaskan binatang-binatang itu di udara bebas yang jauh dari
pedusunan. Belum pernah kami mencelakakan orang."


"Eh—kau bilang apa? Bukankah kamu ini Dewaresi!"


"Benar," sahut sang Dewaresi heran. Pandangnya beralih kepada Titisari.
Lantasberkata, "Rupanya Nona ini yang memberitahukan namaku kepada Tuan."


"Hai telur busuk!" damprat Titisari. "Kau bilang, aku menyebutkan namamu
kepada Paman Gagak Seta. Siapa sudi menyebutkan namamu? Duh!"


Sang Dewaresi tiada tersinggung hatinya oleh dampratan Titisari. Bahkan dia
nampak tersenyum. Tanpa memperdulikan Titisari, ia berkata kepada Gagak Seta.


"Sebenarnya siapakah Tuan yang terhormat?"


Tapi sebelum Gagak Seta menjawab, kembali Titisari mendamprat sengit.


"Bukankah kamu sudah mendengar, aku menyebutkan namanya? Kamu telur busuk
memang banyak bertingkah, ldih!"


Kembali sang Dewaresi tersenyum sambil mengerlingkan mata. Lakunya seperti
kerbau nggayemi mendengar lengking suara Titisari. Diam-diam Titisari jadi
dengki kepadanya.


"Bukankah kamu anaknya Kebo Bangah?" Gagak Seta bertanya kepada sang Dewaresi.


Belum lagi sang Dewaresi menyahut, mendadak saja kelima penggembala tabuan
jadi gusar. Serentak mereka memaki.


"Hai... kau laki-laki bangsat! Bagaimana kau berani menyebut nama junjungan
kami dengan begitu saja."


Gagak Seta tertawa terbahak-bahak sambil mendongakkan kepala. Berkata
meyakinkan.


"Orang lain memang harus membungkuk hormat terlebih dahulu sebelum
memanggil namanya. Orang lain memang harus menyertai sebutan paduka yang
mulia sebelum memanggil namanya. Orang lain harus memanggilnya dengan nama
aslinya, Aria Bangah atau sebutan Gede Singgela. Tapi aku, boleh memanggil
bangsat itu dengan Kebo Bangah. Memang dia seekor kerbau. Kalian mau apa?"


Mendadak saja sekali menekan tongkatnya, Gagak Seta melesat ke arah kelima
orang itu. Kemudian menghadiahi mereka tamparan plak-plok-plak-plok serta
melepas sambungan geraham. Dan pada detik itu pula, ia telah melesat
kembali ke tempatnya semula.


"Hai, Paman Gagak Seta!" teriak Titisari girang. "Paman belum mengajar
kepandaian ini kepadaku," Titisari benar-benar bersikap dingin terhadap
mereka, sehingga tak menghiraukan peristiwa penamparan itu. Keruan mereka
yang kena tampar Gagak Seta, mukanya menjadi matang biru.


Sang Dewaresi terperanjat menyaksikan kegesitan Gagak Seta, cepat-cepat ia
menolong bawahannya, agar terbebas dari rasa sakit.


"Hm, jadi kamu kemenakan bangsat Kebo Bangah?" Gagak Seta berkata dingin.
"Sudah dua puluh tahun lebih, aku tak berjumpa dengan pamanmu. Apakah dia
belum mampus?"


Panas hatinya sang Dewaresi, mendengar nama pamannya diperlakukan demikian.
Tetapi sadar kalau Gagak Seta bukan orang sembarangan dan rupanya sudah
mengenal pamannya, mau tak mau ia harus menelan hinaan itu. Dengan terpaksa
ia membungkuk hormat seraya berkata, "Paman pernah berkata kepadaku, bahwa
sebelum sahabat-sahabatnya meninggal terlebih dahulu, dia belum mau kembali
ke alam baka..."


Gagak Seta tertawa gelak. Mendamprat, "Otakmu palsu seperti pamanmu. Kamu
pandai memakiku dengan jalan memutar. Bagus! Aku hanya hendak minta
penjelasan, mengapa kamu membawa binatang piaraan-mu menyeberang ke daerah
Kasultanan?"


Sang Dewaresi menyiratkan pandang kepada Titisari dan Sangaji. Melihat
lengan dan kaki Sangaji penuh dengan tabuan, sesaat ia terhenyak. Pikirnya,
lengan dan kaki bocah ini penuh rentep dengan tabuan Kelingking. Mengapa
tidak mampus? Jangan lagi begini banyak, seekor tabuan Kelingking sudah
dapat menyita nyawa seseorang. Memang selain bisa tabuan Kelingking
berbahaya luar biasa, sesungguhnya jenis tabuan itu sudah ditaburi racun
berbahaya pula.


Binatang-binatang itu direndam terlebih dahulu ke dalam getah buah Ingas
yang liurnya bisa membusukkan daging. Karena itu, seseorang yang kena
disengat tabuan Kelingking, akan mati dengan daging membusuk.


Sang Dewaresi jadi sibuk menebak-nebak. Mau dia percaya, kalau Sangaji
memiliki ilmu sakti penolak bisa. Tetapi ilmu apakah itu? Menurut pamannya,
di dunia ini tiada obat pemusnah




racun Ingas dan bisa sengat kecuali yang dimiliki keluarganya. Dasar ia
berotak terang, maka tak mau dia berlaku gegabah. Dengan mengimbangi
gelagat, terpaksa ia membungkuk hormat lagi menyahut pertanyaan Gagak Seta.


"Biasanya kami selalu tinggal di daerah Jawa Barat. Kali ini kami melancong
ke wilayah Jawa Tengah. Karena iseng, kami membawa tabuan kami."


"Kenapa?"


"Bunga-bunga sari yang dibutuhkan tabuan kami, dewasa ini nyaris ludes..."
Gagak Seta tertawa mendongak.


"Kamu bisa mengecoh siapa saja, tapi janganlah terhadapku..."


"Memang betul, Paman," sambung Titisari. "Telur busuk ini datang ke Jawa
Tengah, karena memenuhi panggilan seseorang, la menghadiri rapat rahasia di
serambi kadipaten Pekalongan. Bukankah begitu."


Sebenarnya sang Dewaresi mendongkol mendengar ujar Titisari, tetapi dia
bisa membawa diri. Dengan tersenyum manis, ia membalas dengan membungkuk
hormat.


"Hm—memang keponakan dan Paman, sama-sama busuk," kata Gagak Seta. "Kamu
bisa malang-melintang di daerahmu tanpa ada yang mengusik. Tapi jangan
mencoba-coba edan-edanan di sini. Jika Gagak Seta masih bernapas, janganlah
bermimpi di siang hari bolong. Tapi karena memandang pamanmu, kali ini kamu
kubebaskan. Nah, enyahlah dari sini!"


Merah-padam muka sang Dewaresi direndahkan demikian rupa. Gntuk melawan
Gagak Seta, terang ia merasa takkan menang. Hendak menerima hinaan itu
alangkah sakit. Maka dengan cerdik ia membalas.


"Jika demikian, kami mohon diri. Karena Tuan memandang Paman, baiklah pula
kami akan menghadap Paman dan menyampaikan semua ucapan Tuan. Andaikata
dalam beberapa tahun ini Tuan masih sehat wal'afiat, alangkah besar hati
kami apabila Tuan sudi berkunjung ke pondok kami. Kami menjamin bahwa Tuan
takkan menemukan suatu bahaya apa pun juga."


Gagak Seta tertawa lebar. Katanya sambil menaikkan alis, "Benar-benar
mulutmu licin seperti pamanmu. Tetapi aku tak mempunyai kebiasaan berjanji
kepada seseorang. Hanya kutegaskan di sini, bahwa pamanmu tak takut
kepadaku—aku pun tak takut padanya. Dua puluh tahun yang lalu, aku dan
pamanmu pernah bertempur beberapa kali. Hasilnya setali tiga uang! Karena
itu apa guna kini mengadu kekuatan lagi. Akhirnya sama juga..." ia berhenti
mengesankan. Mendadak berubah menjadi bengis, "Eh—kamu masih menunggu apa
lagi? Nah, enyahlah dari sini!"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar