9.04.2019

@bende mataram@ Bagian 175

@bende mataram@
Bagian 175


Titisari lantas saja berdiri setengah berjongkok dengan pandang masih saja
menebak-nebak. Tak usahlah dia menunggu lama, karena pada saat itu juga
terdengarlah suara berdengung di udara. Gadis itu segera mendongak dan
melintaslah gerombolan tabuan berleret-leret seperti seekor naga. Ia
melihat Gagak Seta berdiri tegak sambil menyapukan tongkatnya. Gerombolan
tabuan yang kena hantamannya lantas saja bubar berderai. Tetapi barisan
yang menyusul, segera melayang rendah dan menyambar ber-deru-deru.


Titisari yang tadi terkejut oleh sikap Gagak Seta, kini tahu apa sebabnya.
Melihat Gagak Seta dikerumuni ribuan tabuan kumatlah hati kanak-kanaknya.
Dengan gembira, ia berloncat-loncatan sambil memekik-mekik. Waktu itu Gagak
Seta nampak sibuk. Tangan dan tongkatnya berserabutan menyerang dan
mempertahankan diri.


Sangaji yang berdiri tak jauh daripada orang tua itu, segera datang
menyusul dan menggebu tentara angkasa yang menyerang begitu bernafsu.
Titisari heran, mengapa Sangaji berani melawan tentara tabuan dengan dada
terbuka, la tak tahu, kalau anak muda itu pernah menghisap madu lebah
Tunjungbiru, yang membuat dirinya kebal dari segala bisa tabuan. Kecuali
itu, getah sakti Dewadaru yang mempunyai sifat menghisap terhadap segala,
menolong dirinya pula. Karena begitu mencium bau binatang hidup, lantas
saja bergolak hebat. Anehnya, pasukan tabuan itu seperti sadar akan bahaya.
Mendadak saja mereka bubar berderai dan terbang terbirit-birit.


Gagak Seta tercengang-cengang menyaksikan kesaktian Sangaji. Mula-mula ia
menduga anak muda itu mempunyai ilmu sakti pengusir tabuan. Teringat akan
daya sakti getah Dewadaru, batallah dia akan minta penjelasan.


"Bagus!" ia berseru gembira. "Serbulah tabuan semua ini. Jangan biarkan
mendekati kita. Aku akan menolong bakal isterimu."


Sekali meloncat, Gagak Seta sudah berada di depan Titisari. Ternyata gadis
itu, sudah hampir menjadi sasaran binatang-binatang angkasa. Agaknya,
ketika merasa gagal me-nyerang kedua sasarannya segera merubah arah kepada
sasaran yang lain. Gntunglah, begitu tentara tabuan menyerang dari angkasa,
secepat kilat Gagak Seta menyambar pinggangnya dan dibawa lari kembali ke
gubuk.


Barisan tabuan itu kemudian beterbangan mengelilingi gubuk. Terhadap
Sangaji, mereka tak berani menghampiri tapi terhadap Gagak Seta dan
Titisari mereka tak kenal takut.


Sangaji sadar akan kesaktiannya. Cepat ia menghampiri gubuk dan
mengusirnya. Melihat datangnya Sangaji, cepat-cepat barisan tabuan itu lari
menyibakkan diri. Yang masih bandel, tiba-tiba saja tersedot dan jatuh
rontok dari udara. Ratusan ekor menempel pada lengan dan kaki Sangaji.
Sedangkan yang akan rontok mengarah kepala, segera disapu bersih oleh Sangaji.


Melihat kesaktian dan ketangkasan Sangaji, Titisari bergirang bukan main.
Dia melompat-lompat kecil sambil membanggakan kawannya itu kepada Gagak
Seta yang berdiri berenung-renung. Sekonyong-konyong terdengarlah siul
panjang melengking di udara dan muncullah lima




orang laki-laki di antara belukar yang tumbuh di seberang-menye-berang
jalan. Barisan tabuan yang kacau itu kemudian seperti kena diatur kembali.
Mereka terbang berputaran. Tak lama kemudian melanjutkan perjalanannya.


Gagak Seta nampak tersinggung kehormatannya. Dengan meraup tanah, ia
menghantam udara. Dan seperti hujan, barisan tabuan rontok berantakan.
Segera lainnya hendak menuntut dendam, tapi kena dicegat Sangaji. Karena
kesaktian getah Dewadaru dan madu lebah Tunjungbiru, semua dapat diusirnya
pulang-pergi sehingga barisan angkasa kembali menjadi kacau.


"Hoeeee, bangsat iblis!" terdengar salah seorang dari mereka yang datang
menghampiri. "Kamu berani mengganggu tabuan piaraan kami, apakah sudah
bosan hidup?"


Mendengar dampratan itu, Titisari seperti mendapat napas. Memang dia
seorang gadis bermulut tajam lantas saja membalas mendamprat.


"Kau bilang apa, bangsat iblis? Kamulah yang berani mengganggu kami. Apa
kamu sudah bosan hidup?"


Mendengar Titisari mendamprat kelima orang pendatang itu, Gagak Seta
bergembira.


Segera ia membantu, "Hai! Apakah mereka bangsat iblis? Eh, bukan! Mereka
iblis kudisan dan anjing-anjing buduk."


"Eh, kenapa begitu?" sahut Titisari. "Pantas moyongnya begini galak."


Kelima orang itu gusar bukan kepalang, mendengar suatu percakapan
timbal-balik yang merendahkannya. Salah seorang yang berkulit hitam,
tiba-tiba saja meloncat sambil menyodok Titisari dengan penggadanya.
Ternyata dia bukan orang sembarangan. Karena serangannya cepat dan bertenaga.


Tetapi Gagak Seta bukan pula laki-laki mu-rahan. Begitu melihat Titisari
diserang, tongkatnya lantas saja menyekat. Dengan mengulum senyum, ia
menggagalkan serangan sambil memusnahkan pula tenaga sambaran.


Laki-laki berkulit hitam itu terperanjat bukan kepalang. Bagaimana tidak?
Serangannya mendadak saja jadi macet. Bahkan tenaga jasmaninya pun lenyap
tak karuan. Ia berusaha menarik penggadanya tetapi seperti terkait. Sadar
akan bahaya, cepat-cepat ia mengerahkan seluruh tenaganya. Tenaganya tetap
terenyahkan, la heran benar-benar.


"Hm—kamu anjing buduk, bagaimana berani bertingkah di hadapanku. Minggat!"
bentak Gagak Seta. Dengan sedikit menggetarkan tongkatnya, laki-laki itu
tiba-tiba saja terpental di udara dan terlempar sejauh sepuluh langkah.
Keempat kawannya tercengang-cengang. Mereka segera menghampiri, tetapi
benar-benar aneh. Setelah kena dipentalkan di udara, dengan menungging
laki-laki berkulit hitam itu terbanting di tanah. Dia mencoba berdiri,
tetapi kembali jatuh terbalik. Sekali lagi hendak berdiri tapi sekali lagi
pula jatuh terbalik. Akhirnya terkapar di atas tanah dengan napas
kempas-kempis.


"Kang Seto, bagaimana?" salah seorang di antara temannya menghampiri. Orang
itu kelihatan heran, terkejut dan bingung.


Mendengar teguran temannya, laki-laki berkulit hitam yang terkapar di atas
tanah itu mencoba bangkit. Tapi begitu ia bangkit, kembali tubuhnya jatuh
terjongkok. Tenaganya seperti terpunahkan. Tulang-belulangnya terasa terlolosi.


Menyaksikan bagaimana rekannya kena dijungkir-balikkan dengan sekali hentak
dan terus menanggung derita tak terpunahkan mereka tak berani lagi berlaku
gegabah terhadap Gagak Seta. Serentak mereka bersiul memanggil barisan
tahuannya dan berlindung dalam kerumunannya. Rupanya mereka telah minum
obat pemusnah bisa, sehingga tidak takut berada di antara binatang-binatang
angkasa yang berbisa itu.


"Siapa kamu?" damprat salah seorang di antara mereka yang tadi memaki Gagak
Seta, Titisari


dan Sangaji sebagai iblis. "Jika kamu laki-laki, sebutkan nama kalian!"


Gagak Seta mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak. Sama sekali
dia tak memandang mereka.


"Hai, kamu bilang apa?" tiba-tiba Titisari membalas mendamprat. "Apakah
matamu lamur, sampai aku pun kalian sebutkan laki-laki? Kamu gerombolan
orang liar, kenapa menggembala begini banyak tabuan untuk mencelakai kami?"


Selagi mereka hendak menjawab, tiba-tiba terdengarlah gemeretak roda kereta
yang ditarik dua ekor kuda. Sekalian yang berada di tempat itu, menoleh ke
arah jalan. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian putih mendongakkan
diri dari jendela kereta. Laki-laki itu kemudian memberi perintah kepada
saisnya agar menghentikan kuda penarik dengan serentak. Kemudian ia
meloncat ke tanah dan berjalan perlahan-lahan menghampiri mereka. Barisan
tabuan yang kena dimasuki, segera bubar berderai dan beterbangan
kalang-kabut. Kelima penggembala tabuan dengan gugup menyibak pula dan
mem-bungkuk hormat kepadanya.


Titisari terkejut, karena dia kenal siapakah orang itu. Dia adalah sang
Dewaresi pemimpin rombongan dari Banyumas yang pernah mengganggunya di
serambi kadipaten Pekalongan. Dia pulalah yang berani berkata keras di
depan Pangeran Bumi Gede di dalam rapat agung. Pribadinya memang berwibawa
dan berpengaruh. Gerak-geriknya gesit dan langkahnya penuh yakin.


Tatkala melihat Titisari, sebentar ia terperanjat. Kemudian cepat tenang
kembali seperti tidak mendapat sesuatu kesan. Dengan berku-lum senyum, ia
menghampiri Gagak Seta sambil membungkuk hormat.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar