9.03.2019

@bende mataram@ Bagian 173

@bende mataram@
Bagian 173


Titisari segera balik ke gubuk. Berapa saat lagi, ia datang kembali seraya
berkata, "Karena kamu berani berkata, maka Paman Gagak Seta memutuskan
begini, kau tetap belajar kenal dengan pukulan kawanku ini ditambah mulai
detik sekarang, jangan mengusik kami berdua. Jika melanggar dua larangan
itu, nyawamu akan dicabut dari sedikit demi sedikit. Nah, jawablah tanpa
kata-kata! Suaramu terlalu berisik."


Yuyu Rumpung tahu arti kata mencabut nyawa sedikit demi sedikit. Yakni
hukum picis, biasanya orang yang kena hukum picis, tubuhnya diikat pada
suatu pohon. Lantas kulitnya dirusak. Setelah itu dikupas. Kemudian anggota
tubuhnya dipagasi satu demi satu. Isi perut dan jantungnya akan dikeluarkan
dan baru ditikam sampai mati. Karena itu, tubuhnya bertambah menggigil.
Kejadian itu menunjukkan, betapa berwibawa nama Gagak Seta di depan
matanya. Padahal dia termasuk salah seorang pendekar sakti undangan
Pangeran Bumi Gede.


"Nah, bagaimana?" gertak Titisari seraya mengacungkan tongkat Gagak Seta.


Tanpa berani melepaskan sepatah kata, Yuyu Rumpung memanggut-manggut sambil
mencium tanah.


"Bagus!" seru Titisari girang. Segera ia mengedipi Sangaji, agar melepaskan
satu jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Tapi Sangaji berbimbang-bimbang. Anak
muda yang jujur hati itu, kemudian lari memasuki gubuk, berkata kepada
Gagak Seta, "Paman! Ampuni dia!"


"Apa kau bilang! Ampuni?" bentak Gagak Seta. Selama bergaul beberapa hari
itu, belum pernah Sangaji mendengar dan melihat Gagak


Seta membentak begitu garang. Biasanya orang tua itu, gemar bersenda-gurau
dan melucu. Karena itu, hatinya terkesiap dan samar-samar tahulah dia
mengapa Yuyu Rumpung bisa ketakutan setengah mati terhadapnya. Pastilah
orang tua itu, di saat-saat tertentu bisa berbuat kejam luar biasa.


"Ya... aku memintakan ampun baginya," ujar Sangaji. "Karena memukul orang
tanpa perlawanan adalah suatu perbuatan pengecut."


"Hm, kau tahu apa perkara pengecut dan tidak. Perkara perbuatan ksatria dan
tidak. Dia orang jahat! Sekiranya tidak ada aku, bagaimana bisa dia
membiarkan kamu hidup utuh? Pastilah tubuhmu akan dicincang dan dijadikan
bergedel. Nah, lakukan perintahku! Kau nanti tahu, siapakah dia sebenarnya."


Diingatkan akan perangai Yuyu Rumpung, mau tak mau Sangaji harus
mengangguk. Memang, orang itu kejam luar biasa. Hampir saja dia mampus
tatkala kena tindih di halaman kadipaten Pekalongan dahulu. Teringat akan
perlakuan orang itu terhadap Panembahan Tirtomoyo, hatinya menjadi
mendongkol pula. Karena itu, meskipun hukuman Gagak Seta terasa kurang
berkesan perwira baginya, setidak-tidaknya apa yang dikatakan tentang dasar
watak Yuyu Rumpung sebagian besar meyakinkan hatinya.


Perlahan-lahan dia mendekati Yuyu Rumpung yang sudah berdiri tegak menunggu
hukuman. Benar-benar orang tua itu tak berani berkutik. Tapi matanya
melototi penuh kegusaran kepada Sangaji dan Titisari. Kartawirya pun yang
berada di luar gelang-gang, tak dapat berbuat sesuatu untuk meringankan
hukuman guru besarnya. Cekatik dan Maling, terpaksalah dia menyaksikan
pelaksanaan hukuman itu.


"Hai manusia mencari gebuk!" kata Titisari girang. "Kamu sudah melukai
Panembahan




Tirtomoyo, kakek kawanku itu. Kecuali itu, sudah untuk sekian lamanya
menguber-uber dan mengusik ketenteramannya. Dosamu sudah terlalu besar. Apa
lagi berani menghina dan menantang Paman Gagak Seta. Kalau saja, kepalamu
masih bisa menancap di atas lehermu, sudah merupakan suatu karunia besar."


Yuyu Rumpung tak berani membalas. Hanya, kedua matanya melotot begitu hebat
seakan-akan mau copot. Hatinya geram bukan main seumpama tidak ada Gagak
Seta, entah apa yang akan dilakukan untuk men-cingcang kedua muda-mudi itu.


Titisari kemudian memberi isyarat kepada Sangaji.


"Sekarang hukuman akan dilakukan. Awas, jangan berani kamu mengelak. Paman
Gagak Seta mengintip dari balik dinding."


Terhadap Gagak Seta, Yuyu Rumpung sudah takluk sampai ke bulu-bulunya. Tapi
terhadap Sangaji, bagaimana dia bisa mengaku kalah? Meskipun demikian, tak
berani dia membantah. Mau tak mau dia harus menerima semua perlakuan
Sangaji dan Titisari.


Waktu itu, Sangaji sudah meliukkan tubuh. Tadi, dia hendak menggunakan
sebagian tenaganya saja. Tapi karena mendengar ancaman Titisari bahwasanya
Gagak Seta mengintip dari balik dinding, terpaksa ia menggunakan seluruh
tenaganya. Lututnya lantas saja menekuk dan terlepaslah pukulannya. Dan
hebat akibatnya. Tubuh Yuyu Rumpung nampak bergo-yang-goyang, la seperti
kebal dari pukulan Kumayan Jati. Ia tersenyum menunggu kepu-tusan. Mendadak
saja, dia Iontak darah dan tubuhnya jadi sempoyongan. Dengan begitu,
perlakuannya terhadap Panembahan Tirtomoyo telah terbalas. Titisari jadi
girang. Dengan bertolak pinggang ia lantas berkata, "Itulah hukumanmu yang
setimpal. Sekarang, enyah dan jangan lagi berani mencoba mengganggu kami
berdua."


Dengan memaksakan diri, Yuyu Rumpung membungkuk ke arah gubuk sambil
berkata, "Terima kasih atas kemurahan Paduka..."


Setelah itu melototi Sangaji dan Titisari. Kemudian berjalan tertatih-tatih
meninggalkan gelanggang bersama keempat muridnya yang sudah bangkit.


Titisari kagum kepada daya tenaga pukulan Sangaji yang bisa merontokkan
jantung Yuyu Rumpung. Ia memuji dan girang menyaksikan kemajuannya. Tetapi
tatkala menghadap Gagak Seta, orang tua itu nampak bersungut-sungut.


"Mestinya, kamu harus bisa merontokkan tulang-belulangnya," katanya
menyesali. "Tapi jika dibandingkan dengan tenaga pukulanmu kemarin,
sekarang nampak ada kemajuannya."


Mereka bertiga kemudian menghadapi hidangan. Tadi Titisari sudah selesai
memasak hidangan-hidangan yang direncanakan untuk hari itu, kini tinggal
sisa-sisanya belaka, kare-na sebagian besar sudah disikat habis oleh Gagak
Seta. Tetapi kedua muda-mudi itu tak mengambil pusing, sebab hidangan itu
memang sengaja diperuntukkan baginya. Kalau Gagak Seta bisa terus menerus
tertawan oleh suatu hidangan-hidangan tertentu, dapat diharapkan sudi
berada bersama mereka lebih lama lagi. Artinya, mau tak mau ilmu Gagak Seta
bisa dikorek sedikit demi sedikit.


"Paman!" ujar Titisari. "Yuyu Rumpung si binatang botak tadi terkejut
setengah mati, tatkala aku menyebutkan hukuman seperti Gombong. Mengapa?"


"Tentu saja," sahut Gagak Seta sambil tertawa. Kalau kera buduk itu berani
membantah, aku akan memperlakukannya seperti tatkala di Gombong. Peristiwa
itu terjadi kira-kira pada lima belas tahun yang lalu. Kera buduk itu
percaya kepada suatu kepercayaan, bahwa seorang laki-laki bisa
mempertahankan kemudaannya, jika sekali-kali merusak kesucian gadis-gadis
belasan tahun..."


"Apanya yang dirusak?" Titisari minta keterangan.


Titisari adalah seorang gadis yang polos. Umurnya lagi menginjak delapan
belasan tahun.




Belum banyak ia hidup dalam masyarakat, karena baru untuk pertama kalinya
ini dia hidup berpisah dari orangtua. Semenjak kanak-kanak, ia hidup di
samping orang tuanya jauh di seberang lautan. Sama sekali, ia tak mengenal
arti pergaulan antara pemuda dan pemudi. Dia hanya mendengar kabar, bahwa
pada suatu kali orang mesti kawin. Di Karimun Jawa pun seringkali dia
melihat penduduk setempat saling kawin dan kemudian mempunyai anak. Mengapa
semuanya itu terjadi, otaknya yang masih kanak-kanak belum sampai
mempersoalkan. Dalam sehari-harinya, ia hanya menekuni pelajaran-pelajaran
dan pendidikan dari ayahnya. Tatkala ibunya meninggal gara-gara perbuatan
Abu dan Abas, hatinya lantas menjadi gelisah. Ayahnya tidak lagi seramah
dahulu. Dia, hanya nampak uring-uringan dan menghajar semua pegawainya.
Terhadap dirinya, tak lagi ayahnya menaruh perhatian. Karena merasa sebal,
lantas ia minggat. Pada saat itulah dia mulai mengenal arti penghidupan
sebenarnya. Pengalaman-pengalamannya cukup pahit karena dia harus berjuang
sendiri mencari sesuap nasi. Mula-mula dia mengan-dalkan harta benda yang
dibekalnya. Setelah habis, mulailah dia menanggung sengsara. Kemudian
bertemulah dia dengan Sangaji. Ia senang bergaul dengan pemuda itu. Di luar
kesadarannya sendiri, ia merasakan suatu kesedapan rasa yang manis luar
biasa. Perasaan naluriahnya lantas tumbuh tanpa diketahui sendiri. Rasanya
ia enggan berpisah dengan pemuda itu biar seujung rambut pun.


Tatkala berpisah beberapa hari dengan Sangaji, hatinya terasa menjadi sepi.
Maka berpikirlah dia tentang pengertian suami-isteri. Menurut jalan
pikirannya, seorang isteri takkan pisah lagi dari suaminya. Karena tak
ingin berpisah lagi dari Sangaji, ia merasa dirinya menjadi isterinya.
Dengan sendirinya Sangaji adalah suaminya. Selebihnya dia masih gelap.


Gagak Seta terdiam sejenak, ketika mendengar pertanyaan Titisari. Sulit ia
menjawabnya. "Kelak saja, jika kamu pulang kembali ke rumah tanyalah hal
itu kepada ibumu."


"Ibu sudah lama meninggal," sahut Titisari.


"Oh..." Gagak Seta terdiam lagi. Kemudian seperti memutuskan, "Baiklah...
jika demikian, beberapa tahun lagi kamu akan mengerti. Suatu kali, kalau
aku menghadiri perayaan perkawinanmu... pastilah kamu akan mengerti tanpa
penerangan lagi..."


Muka Titisari jadi merah dadu. Bukan disebabkan soal khayal perhubungan
suami-isteri, tapi karena arti perkawinan itu sendiri. Ia malu terhadap
Sangaji, karena orang tua itu seolah-olah membongkar kehendak hatinya.


"Baiklah, jika Paman tak sudi menerangkan," katanya.


Gagak Seta menjadi lega hati mendengar ujarnya. Lantas meneruskan ceriteranya.


"Pokoknya, si kera buduk itu mempunyai 45 gadis-gadis yang diperolehnya
dari hasil penyerobotan, paksaan dan ancaman. Mereka semua hendak dikawini.
Kautahu?"


Samar-samar Titisari mulai mengerti. Mendengar Yuyu Rumpung hendak
mengawini 45 orang gadis, hatinya menggeridik. Seumpama Sangaji isterinya
sebegitu banyaknya, pastilah dia tak terpandang lagi. Dan itu bukan tujuannya.


"Ih!" serunya. "Bagaimana mengurusnya?"


"Bukan diurusnya lagi. Hanya dikumpulkan belaka. Mereka tersiksa lahir
batinnya. Coba bayangkan, seumpama Sangaji mempunyai isteri sekian
banyaknya, bagaimana perasaan-mu?"


Titisari terkejut. Terasa suatu kepahitan menggigit hatinya. Tanpa merasa,
air matanya jadi berlinang.


"Aku mendengar kabar itu," Gagak Seta meneruskan. "Mula-mula kuanggap
sebagai dongeng. Ketika benar-benar terjadi, dia segera kubekuk dan kuhajar
sampai kepalanya botak. Setelah itu dia kusuruh telanjang. Kedua lengannya
kuikat erat dengan tongkat itu. Kemudian kupaksa mengantarkangadis-gadis
itu pulang kembali ke kampung halamannya dengan telanjang bulat.


Bisa kaubayangkan bagaimana hatinya tersiksa oleh hukuman itu..."


Gagak Seta tertawa gelak terkenang oleh peristiwa itu. Ujarnya lagi,
"Hatiku belum puas juga. Tubuhnya lantas kusiram air gula dan kuborehi )
daging mentah. Setelah itu, ku-kerumunkan pula segenggam semut merah dan
serangga. Sudah barang tentu, dia mencak-mencak ribut tak keruan. Sebab
seluruh tubuhnya lantas saja menjadi gatal kena gigit semut merah dan panas
diserang serangga..."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar