@bende mataram@
Bagian 171
Sangaji terperanjat, la kenal suara itu. Cepat ia mengintip. Dan benar
juga. Dia adalah Yuyu Rumpung yang sedang berjalan melintasi hutan dengan
diiringkan empat orang muridnya. Keempat murid Yuyu Rumpung itupun, telah
dikenalnya, Yakni: Kartawirya, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek, Setan
Kobar dan Maling. Melihat mereka, Sangaji mengeluh. Maklumlah dia seorang
diri dan berada agak jauh dari pondokan. Dan terhadap Yuyu Rumpung ia segan
bukan main. Maka cepat-cepat ia melompat menerjang gerombolan belukar dan
lari sekuat-
kuatnya.
Tetapi Yuyu Rumpung bukan anak kemarin sore. Begitu melihat Sangaji lari
seorang diri, lantas saja dia membentak.
"Bangsat! Kamu mau lari kemana?" setelah membentak demikian, terus saja dia
lari mengejar. Kini dia telah sembuh benar seperti sediakala. Karena itu
tidak lagi ia segan-segan seperti dulu. Kecuali itu, terhadap Sangaji
bencinya setengah mati. Pertama-tama gagal menangkapnya sewaktu berada di
kadipaten Pekalongan dan di alun-alun kena hajar kedua gurunya juga.
Kemudian masih mendapat rintangan dari Gagak Seta, sewaktu menyergap di
guanya. Sekarang, dia mendapat kesempatan bagus. Keruan saja, lantas
memburu mati-matian.
Keempat muridnya bukan pula orang sem-barangan. Merekapun mempunyai dendam.
Teringatlah mereka, bagaimana kawan pemuda itu menggantungnya di pohon dan
mem-permain-mainkannya di tengah lapangan di depan orang banyak. Itulah
sebabnya, seperti saling berjanji mereka serentak mengejar dan hendak
menghajarnya sampai mampus.
Sangaji terus saja lari. Ia sadar akan bahaya. Tapi ketika sudah melintasi
tebing kali, pondok tempat Gagak Seta beristirahat sudah dekat. Pastilah
Gagak Seta akan mendengar suara perkelahiannya. Ia berharap akan mendapat
bantuan.
"Bangsat! Jangkrik! Babi!" Maki Yuyu Rumpung kalang kabut. "Kamu mau
minggat ke mana?"
Jarak antara Yuyu Rumpung dan Sangaji sudah dekat. Maka dengan terpaksa,
Sangaji sekaligus berhenti. Cepat ia berputar dan menekuk lutut sedikit.
Itulah gaya lontaran pukulan Kumayan Jati ilmu sakti Gagak Seta.
Kartawirya, Cekatik, Setan Kobar, dan Maling, sama sekali tak mengira,
bahwa Sangaji akan berhenti dengan tiba-tiba, meskipun itulah yang mereka
harapkan. Karena itu, mereka terus saja nyelonong. Pada saat itu, pukulan
Sangaji tiba. Hebat akibatnya, Setan Kobar, Maling dan Cekatik mencoba
menangkis. Justru itulah letak sasaran yang dikehendaki Ilmu Kumayan Jati.
Maka begitu menangkis, mereka terpental sepuluh langkah dan kedua lengan
mereka patah sekaligus. Mereka jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Yuyu Rumpung kaget bukan kepalang. Untung tadi, dia sempat menghindari.
Meskipun demikian, lengannya terasa panas juga. Sewaktu diperiksa, kulitnya
lecet.
Sangaji pun heran bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, bahwa Ilmu
Kumayan Jati begitu hebat. Padahal ia hanya menggunakan lima bagian
tenaganya. Sebentar ia ter-cengang-cengang. Ketika telah sadar kembali,
segera ia meneruskan berlari cepat-cepat.
"Awas! Bocah itu mempunyai ilmu siluman."
Teriak Yuyu Rumpung setinggi langit. "Kartawirya rawat saudara-saudaramu.
Biar kupegatnya sendiri, jahanam itu."
Kartawirya tadi berada di pinggir sebelah utara. Ia hanya kena sambar angin
pukulan Sangaji karena itu selamatlah dia, meskipun lengannya pegal bukan main.
Dalam pada itu, Yuyu Rumpung telah berhasil mencegat larinya Sangaji.
Seperti binatang galak, lantas saja ia menghadang dengan jurus yang mematikan.
Sangaji terperanjat, tanpa berpikir lagi, terus saja ia menekuk lutut dan
mengirimkan pukulan Ilmu Kumayan Jati lagi.
Yuyu Rumpung kaget. Selama merantau nampir seluruh kepulauan Jawa, belum
pernah ia melihat pukulan aneh semacam itu. ^telihat siku-siku gerakannya
nampak berbahaya, ia tak berani sembrono. Cepat ia berguling ke tanah.
Inilah pengalamannya yang pertama bertanding melawan seseorang sampai
Dergulingan. Tapi mau tak mau, ia harus ne-buat begitu jika ingin selamat.
Melihat pukulan meleset, Sangaji segera sa£ar. Cepat ia berputar dan
meneruskan nya. Tapi Yuyu Rumpung dengan sigap terus melompat, berdiri
sambil mengejar.
"Titisari! Titisari!" teriak Sangaji ketakutan.
"Tolong panggil Paman Gagak Seta. Aku dirampok orang."
Yuyu Rumpung terkesiap mendengar Sangaji menyebut nama keramat itu, tapi
kemudian ia berpikir, eh masa Gagak Seta terus menerus berada di antara
mereka. Dia laksana angin yang sebentar datang dan pergi. Hm..., apa kamu
mau menggertakku? Mendapat pikiran demikian, lantas saja dia menggertak.
"Bangsat cilik! Kau jangan jual lagak!"
Titisari mendengar seruan Sangaji. Ia melongok dari pintu gubuk. Ketika
melihat Yuyu Rumpung datang menguber-uber Sangaji, timbullah watak
nakalnya. Pikirnya, Paman Gagak Seta lagi tidur mendengkur. Biarlah aku
menguji ilmu Ratna Dumilah. Kemudian berteriak membalas seruan Sangaji:
"Aji! Janganlah takut lawanlah dulu, nanti kubantu."
Sangaji cemas, mengapa Titisari tidak minta bantuan Gagak Seta. Sebaliknya
Yuyu Rumpung girang dan bertambah yakin, kalau Gagak Seta sesungguhnya
tidak ada di antara mereka. Dengan tertawa lebar dia membentak.
"Hurdah! Hurdah! Kalian Kelinci-kelinci muda, ayolah kemari. Kalian mau
menggertakku, jangan harap!"
Habis membentak demikian, tenis saja Yuyu Rumpung merangsak cepat. Sangaji
menjadi gugup. Maklumlah, dia kenal dan tahu kegagahan lawannya. Tanpa
berpikir lagi, tiba-tiba tubuhnya berputar dan meliuk. Itulah jurus kedua
ilmu Kumayan Jati. Terus tangannya menyodok.
Yuyu Rumpung sudah mendapat pengalaman. Tapi ia ingin mencoba kekuatan
pukulan pemuda itu. Maka ia hanya minggir satu langkah. Mendadak saja ia
merasakan arus angin sekuat batang balik menyodok dadanya. Gugup ia
memiringkan tubuh. Tetapi tak urung lengannya kena sambar dan panas bukan
main. Tentu saja ia jadi keheran-heranan. Pikirnya, baru beberapa hari aku
berpisah dengan bocah ini, mengapa ilmunya berubah begini hebat.
Sangaji melihat lawannya mengelak, lantas saja mengulangi serangannya. Tapi
kali ini Yuyu Rumpung tak berani lagi mencoba-coba. Dengan meloncat ke
samping, ia mendamprat sambil merendahkan.
"Huh bangsat kecil! Kamu hanya mempunyai satu jurus pukulan, jangan harap
kau bisa menaklukanku."
Sangaji seorang pemuda yang jujur. Ia tak tahu, kalau Yuyu Rumpung agak
jera dan hati-hati, ia ingin benar mengetahui kekuatannya. Tanpa curiga dia
menyahut.
"Aku mempunyai tiga jurus. Meskipun demikian, kau tak mampu menangkis dan
berani mengadu tenaga." Setelah berkata demikian terus menyerang dengan
jurus ketiga.
Yuyu Rumpung terkesiap. Tapi ia ingin melihat ketiga jurus lawannya. Begitu
melihat Sangaji berputar-putar melepaskan serangan, cepat ia melompat dan
berhasil. Dengan pukulan ini, lantas saja ia mengenal ketiga jurus Sangaji.
Yang pertama tatkala di tepi hutan, kemudian yang kedua dan ketiga yang
baru dilontarkan. Diam-diam ia bergirang. Pikirnya, asal cepat-cepat
menjaga diri masakan bisa kena pukulan. Mendapat pikiran demikian, tanpa
ragu-ragu lagi ia merangsak.
Sangaji jadi kerepotan. Berulang-ulang kali ia kena hajar, tetapi selalu
saja kena dielakkan. Lengannya lambat-laun jadi pegal juga. Meskipun
demikian, seleret cahaya terlintas dalam benaknya sebagai suatu
pengalamannya yang berharga untuk kemudian hari. Yakni mulai meresap
peringatannya tentang maksud Gagak Seta membuat sasaran pukulan sedemikian
rupa sampai tak bisa bergerak. Mendapat peringatan demikian, sadarlah dia
akan arti jurus-jurus Ilmu sakti Kumayan Jati yang berjumlah 24 jurus.
Pikirnya, sambil berkelahi aku baru mendapat tiga jurus. Seumpama
seperempat bagian saja dari semua jurus Ilmu Kumayan Jati
sudah kukua-sai, Yuyu Rumpung bukan lagi lawanku yang berarti.
Titisari tatkala itu menonton dari luar gelanggang. Ingin dia mengetahui,
sampai di mana kemajuan Sangaji. Begitu lambat-laun melihat Sangaji
terdesak segera ia berseru, "Aji! Ming-gir! Biar aku yang melawan."
Berbareng dengan seninya, ia melompat memasuki gelanggang perkelahian.
Tubuhnya gesit dan melayang seperti seekor burung bangau. Begitu kakinya
mendarat, lantas saja tin-junya bekerja. Di luar dugaan, kedua kakinya ikut
pula merangsak cepat luar biasa. Itulah salah satu jurus Ilmu Ratna Dumilah.
Yuyu Rumpung kaget. Cepat-cepat ia berkisar dan mundur beberapa langkah.
Inilah hebat, sebab selamanya, belum pernah ia kena desak mundur lawannya
dalam satu gebrakan saja. Sebaliknya Sangaji jadi bergirang hati. Diam-diam
ia bersyukur melihat kehebatan gadisnya. Maka ia melompat keluar gelanggang
dan menjadi penontonnya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar