@bende mataram@
Bagian 170
Dalam keadaan biasa, tak mungkin Titisari memperoleh jawaban. Tapi karena Gagak
Seta sudah terlalu kepencut kepada masakannya, maka tak ingin dia menyakiti
hatinya. Segera orang tua itu meloncat ke tanah sambil meraup tiga butir
batu. Kemudian ia meloncat kembali ke atas kudanya, la membagi kedua batu
kepada Titisari dan Sangaji, sedangkan dia sendiri
menggenggam sebutir.
"Batu yang digenggam bakal suamimu itu seumpama ilmu Bayu Sejati. Yang
kugenggam ini seumpama Ilmu Kumayan Jati. Dan yang kaugenggam adalah getah
sakti Dewadaru. Getah sakti Dewadaru adalah dasar tenaga murni Sangaji,
yang dahulu kucapai dengan bertapa tiga tahun lamanya. Meskipun sifatnya
berbeda, tapi dalam hal ini ada persamaannya. Yakni suatu himpunan tenaga
ajaib menurut kodrat alam."
"Apakah getah sakti Dewadaru itu, Paman?" potong Titisari. Dia belum pernah
mendengar tentang riwayat getah sakti itu. Maka Sangaji lantas saja memberi
penjelasan dan menceri-takan pengalamannya tatkala menghisap getah sakti
pohon Dewadaru di Pulau Edan. Dengan kening berkerut-kerut, Titisari
mendengarkan cerita Sangaji dengan sungguh-sungguh. Bulu kuduknya ikut
meremang, tatkala cerita Sangaji sampai pada perjuangan menghisap getah.
Tanpa disadari terlompatlah rasa kagumnya.
"Sungguh ajaib! Masa di dunia ini ada semacam pohon demikian? Aji! Kenapa
kamu tak mengajakku ke sana? Aku mau menghisap seluruh pohon sampai perutku
bulat seperti perut babi!"
Seperti diketahui, tatkala Sangaji menghisap getah pohon sakti Dewadaru,
perutnya lantas saja menjadi bulat penuh keputih-putihan dan Gagak Seta
lantas saja menyahut.
"Hai iblis cilik! Tiga puluh tahun lagi, kalau kamu sudah kehilangan
kelangsinganmu, tanpa menghisap getah Dewadaru perutmu akan segemuk babi
juga." Setelah berkata demikian, orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Dan
mau tak mau Sangaji ikut pula tertawa. Titisari lantas saja menjadi dengki.
Maklumlah, dalam benaknya tak pernah dia percaya, kalau pada suatu kali
kelangsingan dan kecantikan tubuhnya bisa larut digulung umur.
"Baik, baik!" katanya menggigit. "Biar aku kelak menjadi seekor babi, apa
pedulimu?" Kemudian cepat-cepat mengalihkan pembicaraan untuk mengelakkan
kesan yang tak enak baginya. Katanya, "Apakah pengaruh getah sakti Dewadaru
bagi muridmu itu? Bukankah tidak mengganggu?"
"E-hem." Gagak Seta mendehem, la diam sebentar menimbang-nimbang. "Ilmu
Bayu Sejati dan Ilmu Kumayan Jati bersumber sama. Meskipun berlainan sifat,
tapi pada hakikatnya bersandar pada suatu tenaga mumi seseorang. Dalam hal
ini tenaga sakti Dewadaru. Dengan demikian, sesungguhnya getah Dewadaru
merupakan bahan yang diperebutkan. Mana yang lebih kuat, dialah yang menang."
"Tapi mengapa, jika Sangaji mengendorkan dan melepaskan kedua unsur ilmu
itu, lantas menjadi lemah lunglai? Padahal getah Dewadaru masih tetap
berada di dalam tubuh."
"Dewadaru mempunyai sifat menghisap. Itulah sifatnya yang ajaib. Apabila
dia telah ditimbulkan, kemudian sandaran hisapan tiba-tiba menghilang,
apakah bukan lantas menghisap tenaga tubuh? Kau mengerti?"
Titisari yang cerdas lantas saja dapat memahami. Sebaliknya, Sangaji yang
berotak sedikit bebal belum juga dapat mengerti. Maka segera dia minta
penjelasan lagi.
"Ah tolol!" damprat Gagak Seta. "Lihat! Bayu Sejati dan Kumayan Jati saling
berebut untuk mendapatkan tenaga Dewadaru. Sebaliknya, Dewadaru juga
menghisap kedua unsur ilmu sakti itu, karena sifatnya memang menghisap apa
saja yang bersentuh. Mendadak saja kamu melepaskan kedua ilmu saktimu.
Karena Dewadaru kehilangan sumber hisapan, bukankah lantas saja menghisap
sekenanya belaka? Dengan sendirinya yang menjadi sasaran adalah tenaga
tubuhmu. Jelas?"
Baru Sangaji dapat memahami persoalannya. Sekonyong-konyong Titisari
menimbrung.
"Paman sudah tahu sifat masing-masing. Apakah tidak ada akal untuk melebur
dan menunggalkan?"
"Hm, inilah yang masih menjadi soal bagiku," jawab Gagak Seta dengan jujur.
Sekiranya ayahmu berada di sini, pastilah bukan soal sulit lagi."
Titisari menghela napas, ketika diingatkan akan kepandaian ayahnya.
Sebentar ia bere-nung-renung, kemudian berkata lagi, "Semalam Sangaji
berhasil menggempur dinding gua. Dia pun masih jatuh lunglai juga. Bukankah
yang dilontarkan adalah tenaga sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati?"
"Bukan! Bukan! Sudah kuterangkan tadi kalau pokok dasarnya ialah berpijak
pada kesaktian getah Dewadaru."
"Ah, tahulah aku!" jerit Titisari setengah girang. "Yang dilontarkan,
bukankah tenaga sakti getah Dewadaru?"
"Otakmu memang terang," puji Gagak Seta. "Karena itu, aku menganjurkan
kepada bakal suamimu agar menggunakan salah satu ilmu sakti saja untuk
menghemat tenaga saktinya. Di kemudian hari jika sudah berhasil dilebur,
itu lain halnya.
Jika Kumayan Jati dan Bayu Sejati berhasil dilebur ke dalam getah sakti
Dewadaru, alangkah dahsyat hasilnya. Aku pun barangkali takkan tahan
pukulannya."
"Kenapa?"
"Sebab Dewadaru bukan lagi menjadi bahan, tetapi merupakan gudang
penghimpun tenaga sakti Bayu Sejati dan Kumayan Jati sekaligus," jawab
Gagak Seta sungguh-sungguh. "Itulah pula sebabnya, aku menganjurkan agar
bakal suamimu memupuk daya sakti Ilmu Kumayan Jati terlebih dahulu. Karena
Kumayan Jati, pada hakikatnya menghimpun tenaga murni. Sedangkan
jurus-jurusnya adalah ilmu pelontaran dan perangsangnya."
Tanpa merasa, mereka telah memasuki lembah Gunung Sumbing sebelah selatan.
Dusun Kidang dan Arca sudah dilalui. Kini sudah mendekati Dusun Butuh.
Mereka kemudian mencari sebuah gubuk yang berada di luar desa. Di sanalah
mereka hendak berhenti dan beristirahat. Kebetulan sekali, gubuk itu
menghadap ke barat laut. Pemandangannya sangat indah. Di sana berdiri
pegunungan Butak dan Prahu yang samar-samar merupakan latar belakang
kemegahan Gunung Sundara. Kali Bregota yang bermata air di kaki Gunung
Sumbing, terjun berdesakan melintasi batu-batu alam yang mencongakkan diri
di persada bumi. Seleret petak hutan terhampar sepanjang tebingnya. Dan
dengan sendirinya, angin yang turun dari pinggang gunung terhisap bening
sebelum sampai ke lembah. Terasa hawanya segar-bugar menyegarkan pernapasan.
Sangaji lantas saja memasuki tepi hutan hendak berlatih. Ilmu Kumayan Jati
hendak ditekuninya sungguh-sungguh. Ia telah mem-bekal tiga jurus pukulan
sakti. Tapi kali ini, dia tidak lagi membutuhkan sasaran batang pohon.
Maksudnya hendak memahirkan rahasia lika-liku jurusnya. Baru saja ia
berlatih lima puluh kali, keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Tetapi diam-diam ia bergirang hati, karena terasa kedua lengan dan kakinya
menjadi kokoh kuat. Ia kemudian beristirahat di bawah rindang pohon sambil
mensiasati letak rahasia ilmu sakti itu.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara langkah berderapan. Terdengar suara
seseorang. "Guru! Kami kira sudah mendekati tempat tujuan."
Sejurus kemudian terdengar jawaban. "Matamu awas juga. Hm, meskipun aku
belum puas menyaksikan ilmu larimu, tetapi jika dibandingkan dengan dulu
ada kemajuannya juga."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar