@bende mataram@
Bagian 225
Tetapi Kasan dan Kusen bersikap dingin seolah-olah tiada mendengarkan. Yang
berna-ma Kasan lantas saja mengeluarkan daftar barang hantaran dan
dipersembahkan kepada Gagak Handaka dengan kata-kata kaku.
"Yang mengutus kami berdua perkenankan menghaturkan selamat atas kedatangan
ksa-tria Wirapati dan dengan ini menghaturkan bingkisan tak berharga kepada
anak muridnya yang bernama Sangaji. Kami semua berharap sangat memperoleh
petunjuk-petunjuknya yang berharga."
Mendengar kata-kata ulangan yang ditekan-kan, Gagak Handaka meninggikan
alisnya. Terang sekali kedatangan mereka bukan untuk gurunya, tetapi untuk
Wirapati dan Sangaji. Wirapati baru beberapa hari datang ke padepokan.
Mengapa mereka telah mengetahui? Bahkan mereka mengenal nama murid
Wirapati. Sekaligus timbulah kecurigaannya. Jangan-jangan mereka datang
untuk memperoleh keterangan tentang pusaka Bende Mataram. Tetapi sebagai
tuan rumah dengan menekan perasaannya sendiri, ia berkata mencoba.
"Sebenarnya, Tuan-tuan sekalian utusan siapa?"
"Periksalah barang bingkisan ini dahulu," Kasan menyahut tak memedulikan.
Tak senang hati Gagak Handaka melihat sikap tamunya. Tetapi tatkala melihat
barang bingkisan yang ditebarkan di atas meja ia menjadi terkejut. Ternyata
barang bingkisan itu berjumlah kurang lebih 150 macam. Dan semuanya terdiri
dari emas, intan atau berlian. Barang-barang demikian bukan main tinggi
harganya pada dewasa itu. Agaknya yang mengutus mereka, sengaja memilihkan
barang-barang yang berharga untuk sesuatu maksud tertentu.
Gagak Handaka benar-benar jadi sibuk. Segera ia berkata kepada
Suryaningrat, "Coba panggillah kakakmu Wirapati! Bukankah bingkisan ini
untuknya?"
Mendengar ujar Gagak Handaka, tiba-tiba saja Kasan dan Kusen terus saja
membungkuk sambil berkata, "Tak usah tergesa-gesa. Kami akan pergi dahulu.
Kelak saja pada hari ulang tahun guru Tuan, kami akan datang kembali untuk
menerima petunjuk-petunjuk."
Setelah berkata demikian, mereka mengun-durkan diri. Dan sekalian
orang-orangnya terus saja mengiringkan.
"Hai Tuan!" seru Suryaningrat. "Apakah artinya ini?"
"Hm, bukankah sudah jelas?" sahut Kasan tanpa menoleh. Diperlakukan
demikian, Suryaningrat merasa tersinggung. Segera ia hendak mengejar,
tetapi Gagak Handaka mencegah cepat.
"Biarlah mereka pergi. Kita usut hal ini de-ngan perlahan-lahan," katanya.
Kemudian ia memanggil beberapa cantrik untuk mengurus bingkisan tersebut.
Dan bersama-sama de-ngan Suryaningrat ia bergegas menghadap gurunya. Terus
saja ia melaporkan tentang rombongan tamu yang mencurigakan. Kemu-dian
terpaksa ia mengutarakan semua pe-ngalamannya menjaga pertapaan selama
gurunya bersemadi.
"Guru!" ia mulai. "Orang-orang yang men-coba memperoleh keterangan tentang
pem-bunuhan orang-orang Banyumas dua belas tahun yang lalu, ternyata
mempunyai maksud lain yang jauh lebih penting. Yakni, hendak mencoba
mencari jejak pusaka Bende Ma-taram. Ternyata pusaka tersebut benar-benar
ada. Karena peristiwa pusaka itu pulalah, maka adinda Wirapati sampai
meninggalkan perguruan selama ini."
Habis berkata demikian, segera ia menoleh kepada Wirapati. Dan mau tak mau
Wirapati segera menuturkan riwayat perjalanannya dengan sejujur-jujurnya.
"E-hm," tukas Kyai Kasan Kesambi. "Meskipun pusaka yang kaukatakan itu
belum tentu pusaka Bende Mataram tetapi pastilah kita bakal kebanjiran
tamu. Kalian bakal jadi sibuk..."
Ulasan Kyai Kasan Kesambi ternyata benar. Semenjak hari itu, secara
berturut-turut pade-pokan Gunung Damar kebanjiran tamu tak diundang. Mereka
datang dengan dalih meng-hantarkan barang bingkisan untuk hari ulang tahun
Kyai Kasan Kesambi. Ada pula yang terang-terangan menerangkan, bahwa
keda-tangannya hendak bertemu dengan Wirapati dan Sangaji.
"Guru!" kata Sangaji kepada Wirapati pada suatu hari. "Terang sekali
kedatangan mereka adalah untukku, karena kesalahanku dahulu membuka rahasia
pesan almarhum Paman Wayan Suage di tengah lapangan terbuka. Tak kukira,
bahwa kehadiranku ke mari akan membuat susah Eyang Guru dan sekalian paman.
Bagaimana baiknya... apakah aku harus mengambil pusaka warisan itu dahulu
dan kemudian kuserahkan kepada Eyang-Guru? Bukankah Eyang Guru belum yakin,
bahwa kedua pusaka tersebut adalah pusaka Bende Mataram? Dengan kedua
pusaka ada pada tangan Eyang Guru, terserahlah eyang-guru hendak
mengadili..." la berhenti sejenak menunggu pertimbangan gurunya.
Waktu itu Wirapati sedang mengaduk kapur dinding. Hari itu ia hendak
mengapur dinding bersama dengan Suryaningrat, agar pade-pokan kelihatan
bersih. Dan begitu mendengar ujar muridnya, seolah-olah ia memperoleh
ilham. Katanya kemudian, "aha, bagus penda-patmu. Sekiranya kedua pusaka
itu telah berada di sini, kita sekalian bisa menentukan sikap. Jika bukan
pusaka Bende Mataram maka selesailah persoalannya. Apabila memang
benar-benar pusaka Bende Mataram masakan eyang gurumu akan membiarkan
pusaka tersebut terampas dari tanganmu. Sebab, engkau adalah hak warisnya."
Sehabis berkata demikian, pandang mata Wirapati berseri-seri. "Sudahlah,
tenangkan hatimu! Aku akan membicarakan hal itu de-ngan sekalian
paman-pamanmu..."
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar Surya-ningrat berseru, "Kangmas
Wirapati! Cepatlah engkau mengaduk kapur!" Lalu dengan tertawa ia
menyambung lagi, "siapakah yang suruh Kangmas pandai mengapur dinding.
Heh, Aji! Barangkali baru hari ini kauketahui, bahwa gurumu pandai mengapur
dinding..." "Aku pun akan mencoba-coba belajar me-ngapur," sahut Sangaji.
"Tak usah. Lebih baik kau memimpin sekalian cantrik-cantrik menebang pohon
untuk kayu bakar!"
Hari itu sekalian anak murid Kyai Kasan Kesambi sibuk mengapur dinding dan
meng-atur rumah tangga. Sedangkan Sangaji de-ngan rajinnya mematahkan
beberapa pohon dengan ilmu Kumayan Jati. Hal itu membuat gempar seluruh
penduduk pertapaan, sampai-sampai Kyai Kasan Kesambi berkenan menyaksikan.
Sudah barang tentu Sangaji jadi ersipu-sipu. Maklumlah, tadi dia hanya
bermaksud sekedar melatih diri merubah tata peredaran darah sebagai titik
tenaga dorong, setelah memperoleh penyempurnaan dari eyang gurunya dahulu hari.
Pada malam harinya, Wirapati segera be-runding dengan sekalian
saudara-saudara se-perguruannya hendak mengambil kedua pusa-ka warisan
Bende Mataram. Sebenarnya mereka tidak menyetujui sebelum memperoleh izin
gurunya. Tetapi mengingat suasana bertambah hari bertambah gawat, mereka
jadi menyetujui. Bahkan mereka berharap, agar kedua pusaka keramat itu
kelak bisa merupakan hadiah ulang tahun gurunya yang ke-83.
Dengan dalih hendak mengatur penyambut-an tamu di gunung, Wirapati mohon
restu dari Kyai Kasan Kesambi. Kemudian berangkatlah dia turun gunung
dengan diantarkan sekalian saudara seperguruannya. Selagi mereka
ber-pisahan di kaki gunung, mendadak datanglah Sangaji dengan berkata
nyaring. "Paman! Apakah artinya ini?"
Sangaji menyerahkan sebuah lencana terbuat dari perak dan sehelai
panji-panji kecil, kepada Gagak Handaka. Tatkala Gagak Handaka memeriksa
lencana dan panji-panji itu, kedua alisnya
terus saja terangkat. Keningnya berkerut-kerut dan terloncatlah perkataannya.
"Hai, bukankah ini lencana tanda pengenal utusan Kanjeng Pangeran Arya
Blitar? Blitar bukan dekat. Ini adalah suatu kehormatan tak kecil artinya."
"Sebaiknya apabila Kanjeng Pangeran Arya Blitar datang, Guru sendiri kelak
yang harus menyambut," sambung Ranggajaya. Mereka kemudian cepat-cepat
memberi laporan kepa-da Kyai Kasan Kesambi.
Seminggu kemudian tepat pada hari ulang tahun Kyai Kasan Kesambi datanglah
Kanjeng Pangeran Arya Blitar dengan dua belas pengiringnya.
"Ksatria sakti itu kabarnya tak pernah menginjak daerah Jawa Tengah.
Mengapa dia bisa mengetahui hari ulang tahun seorang pendeta tak berarti?"
kata Kyai Kasan Kesambi menebak-nebak setelah memperoleh laporan datangnya
tamu agung. Segera ia memanggil Gagak Handaka, Ranggajaya dan Bagus Kempong
dan membawa mereka ke paseban. Ia nampak gopoh, sehingga tak melihat
ketidak-hadiran muridnya yang keempat Wirapati.
Maka terlihatlah seorang laki-laki gagah berpakaian hitam. Lengan dan
celananya pan-ang dengan ditutupi kain pembebat bagaikan dodot. Nyata
sekali bahan pakaiannya terbuat dari kain sutra yang mahal harganya. Dia
berdiri gagah. Wajahnya sabar, tenang dan berwibawa, tidaklah memalukan,
apabila dia terkenal sebagai keluarga yang memusuhi pemerintah Belanda.
Namanya termasyhur di seluruh tanah air dan disegani pula. Di belakangnya
terdiri dua belas pengiringnya, yang diketuai oleh ksatria lndrajaya dan
Indrasakti. Kedua ksatria itu berasal dari Pulau Sumatera.
Berulang kali Kyai Kasan Kesambi mengu-capkan terima kasih sambil
mengangguk tanda hormat. Sedangkan Gagak Handaka segera memimpin adik-adik
seperguruannya membuat sembah berdiri. Dan dengan gopoh pula Kanjeng
Pangeran Arya Blitar membalas hormat mereka sambil berkata, "Nama Kyai
Kasan Kesambi sangat tenarnya bagaikan bintang kejora bergetar di angkasa
raya. Masa kami berani menerima hormat sang Panembahan dan sekalian anak
muridnya."
Dan baru saja mereka dipersilakan duduk, masuklah seorang pelayan yang
mengabarkan bahwa di luar padepokan terdapat lima orang tetamu. Mereka
memperkenalkan diri sebagai tokoh ksatria yang datang dari pinggang Gunung
Muria. Mereka sengaja datang hendak mengucapkan selamat ulang tahun ke-83,
Kyai Kasan Kesambi.
Pada waktu itu, nama Arya Lumbung Ami-sena dari Gunung Lawu, Arok Kudawa
Neng-pati dari Bulukerto, ksatria Watu Gunung dari Gunung Tangkubanprahu
dan Adipati Sosro-kusuma dari Pesantrenan sangat tenar, melebihi ksatria
sakti lainnya. Masing-masing memiliki anggota yang disebutnya siswa.
Kemudian selain mereka, terhitung pula sang Dewaresi dan Kyai Wuker dari
Bangil. Selanjutnya barulah anak buah Putut Pranolo dari Gunung Muria.
Demikianlah apabila dibandingkan, tataran cikal bakal siswa-siswa dari
Gunung Muria (Putut Pranolo) samalah derajat dengan Gagak Handaka. Begitu
pula tataran sang Dewaresi dan Kyai Wuker. Bahkan mereka ini pun,
tingkatannya tak melebihi Wirapati. Meskipun demikian, Kyai Kasan Kesambi
sangat ramah dan bersikap merendahkan diri. Segera dia berkata menyambut,
"Ksatria Putut Pranolo datang pula. Biarlah aku sendiri yang mempersilakan
duduk."
Putut Pranolo dengan keempat muridnya dengan tersipu-sipu membungkuk hormat
dan segera memasuki paseban. Kanjeng Pangeran Arya Blitar ikut berdiri
menghormati pula, tetapi hanyalah mengangguk kecil. Setelah itu datanglah
orang-orang dari Banyumas. Pemekaknyawa dari Tuban, Lio Bun Tan dari
Cirebon dan beberapa pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang
berturut-turut menyatakan ingin mengucapkan selamat ulang tahun.
Sebenarnya tetamu-tetamu yang datang dengan bermaksud menghaturkan selamat
hari ulang tahun, tidaklah lazim pada zaman itu. Tahun yang lalu, hari
ulang tahui Kyai Kasan Kesambi hanya dirayakan dalam lingkungan sendiri.
Siapa mengira, banwa hari ulang tahun kali ini begitu banyax dacunjungi
tetamu-tetamu dari jauh dan bahkan masih asing pula. Keruan para anak murid
Kyai Kasan Kesambi jadi repot melayani. Persediaan kursi tak cukup lagi.
Gagak Handaka dan ketiga adik seperguruannya jadi bingung. Sangaji kemudian
terpak-sa membongkar batu-batu pegunungan dan ditaruh di paseban sekedar
sebagai kursi-kursi darurat. Meskipun demikian, masih saja kurang cukup.
Maka terpaksalah tempat duduk yang disediakan hanya untuk para pemimpin
belaka. Sedangkan para siswanya harus berdiri atau duduk di atas batu-batu.
Cangkir dan piring habis pula. Terpaksa pulalah, Sangaji dan sekalian
pamannya menyediakan tempu-rung-tempurung sebagai mangkok.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar