10.28.2019

@bende mataram@ Bagian 249

@bende mataram@
Bagian 249


MELIHAT Nuraini sudah bisa berbicara, Sanjaya bergirang hati. Segera ia
menghampiri dan berkata, "Adikku, mengasolah! Biarlah kucarikan air untuk
membasuh mukamu."


"Eh, dimanakah engkau mencari air?" sahut Titisari dengan tertawa kecil.
"Biarlah aku berdua mencarikan air. Aku kan lebih pantas masuk ke dusun
untuk meminjam tempat air. Ayo, Aji!"


Memang tujuan Titisari menolong Sanjaya di tengah pertempuran semalam
adalah hendak mempertemukan Nuraini kepadanya. Tak pernah diduganya, bahwa
Nuraini berada di sekitar dusun tersebut. Tadinya, ia hanya bermaksud
mengakurkan belaka.


"Aji, dengan begini Tuhan membantu aku," kata gadis itu. "Biarlah mereka
berbicara sepuas hati. Kita tak perlu mengganggu lagi."


Mendengar ujar Titisari, Sangaji bersyukur dalam hati. Ia tahu hubungan
antara Sanjaya dengan Nuraini kurang menyenangkan. Semenjak di Pekalongan,
ia berkutat agar ter-tangkap jodoh. Kedua-duanya mempunyai hubungan erat
dengan almarhum Wayan Suage. Karena itu, apabila mereka berdua bisa akur,
bukankah berarti meringankan beban penderitaan pamannya di alam baka?
Demikianlah pikir Sangaji. Hanya saja bila teringat akan pesan Wayan Suage
pada saat ajalnya, agar memperistrikan Nuraini, hatinya jadi berduka.


"Titisari," katanya perlahan, "tak pernah kusangka engkau begini baik
hati." "Masakan begitu?" sahut Titisari. "Terhadap siapa aku berbaik hati?"


"Terhadap Sanjaya. Tadinya kusangka engkau benci padanya. Tak tahunya,
engkau..." "Aku memang benci padanya," potong Titisari.


Mendengar ucapan Tiisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang. Tanyanya
kemu-dian, "Tapi mengapa engkau begini bersusah payah menolong dia dari
ancaman bahaya? Bukankah engkau berkata semalam karena hendak mempertemukan
dengan Nuraini?"


Titisari tertawa geli. Sambil menarik tangan Sangaji, ia melompat ke depan.


"Kalau Nuraini sudah akur dengan sahabat-mu yang sehati itu, bukankah
hatiku jadi ten-tram." "Tentram?" Sangaji heran.


"Ya, tentram. Dengan begitu, engkau tak perlu lagi memikirkan Nuraini
menggodamu..."


Ah! Sangaji terkejut. Tak pernah pemuda itu berpikir sejauh itu, bahwa
diam-diam Titisari menaruh cemburu juga terhadap Nuraini. Mengingat pesan
almarhum Wayan Suage, kalau ditimbang-timbang tak begitu salah. Karena itu
mau tak mau ia geli juga memi-kirkan nalar seorang perempuan.


Dalam pada itu Nuraini bersikap dingin ter-hadap Sanjaya. Dengan sengit ia
berkata, "Yang mulia Raden Mas Sanjaya! Aku meng-ucapkan syukur kepadamu.
Di kemudian hari, bukankah kebahagiaanmu bakal tak terbatas? Engkau akan
menjadi pewaris kerajaan. Dan akan di agung-agungkan orang di seluruh
jagad. Selamat!"


Mendengar kata-kata Nuraini, wajah Sanjaya berubah hebat. Tahulah dia,
bahwa Nuraini telah mendengar percakapannya de-ngan ayah angkatnya.
Pikirnya dalam hati, pantas, kudengar suara gemeresek di dalam peti. Tak
tahunya, dialah yang bersembunyi di sini...


Nuraini melihat perubahan wajah Sanjaya. Hatinya menjadi lemah. Memang
terlalu besar cinta kasihnya terhadap pemuda itu, sehingga tak sampai hati
melihat dia berpedih hati. Ia tahu juga




tentang pengkhianatan pemuda itu terhadap Sangaji danTitisari.
Terang-terang, dialah yang mengatur Pangeran Bumi Gede bisa meloloskan
diri. Tetapi, pandai bermain sandiwara begitu hampir sempurna. Alangkah
palsu hatinya. Tetapi untuk membuka rahasianya, masih juga dia tak sampai
hati. Sangaji mungkin bisa memaafkan tetapi Titisari,... hmm... dalam
gusarnya gadis itu bisa membinasakan dia.


"Kau panggil dia ayah? Hm... bagus sekali," dampratnya dengki. Ayahmu yang
sejati sudah terkubur karena perbuatan pangeran itu. Mengapa engkau bahkan
mengabdi padanya?"


Sanjaya menundukkan kepala. Dampratan Nuraini benar-benar termakan dalam
hatinya. Mau ia membalas, tapi takut terdengar Titisari.


"Kau akui bangsat itu sebagai ayahmu, masih bisa dimengerti. Mengingat
semenjak kanak-kanak engkau dirawat dan dibesarkan," damprat Nuraini lagi.
"Tapi yang memuakkan engkaupun turut menjadi gerombolan musuh negara.
Apakah engkau... engkau... ikut-ikut-an pula kemaruk kekuasaan?"


Kalimat terahir itu diucapkan dengan derun hatinya sehingga tubuhnya
menggigil. Sanjaya jadi berdebaran juga. Cepat ia menyabarkan.


"Adikku..."


"Siapa sudi kau panggil adik segala?" bentak Nuraini.


"Bagus!" Sanjaya membalas membentak. Mukanya menjadi pucat, karena tak
mengira diperlakukan demikian. Sebagai seorang anak pangeran yang
dimanjakan, ia bisa memper-oleh segala dengan gampang. Kini ia kena bentak
seorang gadis. Dan menurut pendapat-nya adalah seorang gadis lumrah—seorang
gadis kampung—seorang gadis pasaran yang hidup bergelandangan dari kota ke
kota. Meskipun demikian, teringat akan pengakuan si gadis bahwa ia berada
di tempat itu karena terengut sang Dewaresi, hatinya jadi panas juga.
Katanya kemudian, "Engkau tak sudi kupanggil adik, karena engkau telah
mempu-nyai kekasih baru. Hm, beginikah engkau memperlakukan diriku?"


"Kau... kau... kau bilang apa?"


"Bukankah engkau telah mengabdi kepada


Dewaresi? Kau bilang, Pangeran Bumi Gede adalah seorang bangsat. Apakah
Dewaresi bukan bangsat pula?" ujar Sanjaya sengit.


Mendengar ujar Sanjaya, hati Nuraini pepat. Wajahnya menjadi pucat lesi.
Seluruh tubuh-nya menggigil, karena tak tahu lagi apa yang harus dikatakan
untuk mempertahankan diri. Mendadak Sanjaya berkata lagi tak kurang sengitnya.


"Memang...aku kalah ngganteng. Ilmu kepandaiannya pun jauh melebihi aku.
Dia boleh memperlihatkan keagungannya dan kemam-puannya. Tapi aku, kau
larang bercita-cita hendak mencapai keagungan... Memang, apakah aku ini?


"Aku melarang sepak terjangmu yang sesat, demi cintaku," akhinya Nuraini
bisa berkata.


Hm...cinta kasih? Engkau telah kena tawan bangsat itu. Masakan kesucianmu
tak direnggutnya pula? Sanjaya bersakit hati sampai raut wajahnya menjadi
merah dan pucat bergantian. Tapi Nuraini pun tak kurang-kurang menderita
kepedihan dan sakit hati "Aku... aku... aku...


kehilangan kesucian?" Katanya tersekat-sekat, "Bilanglah...bahwa engkau tak
kehilangan kesucianmu!


"Kesucianku? Apakah maksudmu dengan kesucian? Selama langit belum roboh,
cintaku tetap padamu."


"Hm...engkau telah menjadi tawanan si bangsat itu bukan sekedar dua tiga
hari. Tapi beberapa minggu. Engkau dipeluk, dicium, diraba...ih! Masih
beranikah engkau mengakui putih bersih?"


Hebat penanggungan hati Nuraini, kata-kata Sanjaya seperti gelombang
menampar padanya. Tiba-tiba saja, matanya berkunang-kunang. Sekujur
badannya seperti dilolosi. Maklumlah,




semenjak bertemu di Pekalongan hatinya telah menyerahkan diri kepada pemuda
itu setiap detik ia merindukannya. Meskipun ia pernah ditawan, dihina dan
diperlakukan sebagai budak, hatinya tetap tertancap padanya. Kini, suatu
malapetaka diluar kekuatannya menimpa dirinya. Dan ia tak mampu lagi
mempertahankan diri terhadap serangan Sanjaya. Dalam lubuk hatinya ia
mengakui, bahwa dirinya telah kehilangan kesuciannya. Meskipun cinta kasih
kepada pemuda itu tak pernah pudar sedikitpun juga.


"Apakah itu yang kaumaksudkan dengan kesucian?" Nuraini mencoba. "Apakah
ada lain lagi? Coba kau bilang," bentak Sanjaya.


Benar-benar Nuraini tak bisa berkutik. Karena pepat, ia roboh tak sadarkan
diri.


Melihat Nuraini jatuh pingsan, hampir saja Sanjaya melompat hendak
menolongnya. Maklumlah, bagaimanapun juga dengan gadis itu dia pernah
bersentuh tubuh dan mempu-nyai kisahnya sendiri. Mendadak teringatlah dia
kepada sesuatu.


Nuraini kuserang habis-habisan, kalau sampai dia berputus asa, bukankah ia
bisa membalas dengan membuka rahasiaku kepada Sangaji dan Titisari?
Celakalah kalau sampai begitu.


Memperoleh pikiran demikian. Cepat ia keluar dari pintu butulan. Kemudian
bersem-bunyi dibalik rumpun bambu. Di sana ia meli-hat kuda Titisari lagi
menggerumuti rumput. Tanpa ragu-ragu ia terus melompat ke atas pelananya
dan melarikan secepat angin menuju ke timur laut.


Waktu itu, Titisari dan Sangaji sedang men-jenguk sungai hendak mengambil
air. Mendadak ia mendengar derap kuda. Cepat mereka lari ke jalan dan
terheran-heran meli-hat kepergian Sanjaya.


"Jangan-jangan mereka telah bertengkar dan Nuraini kena di...," kata
Titisari cemas. Gadis itu lantas saja balik ke lumbung dan melihat Nuraini
tergeletak di atas tanah. Gugup ia mendekati dan ketika melihat Nuraini
hanya roboh pingsan, hatinya jadi berlega.


Titisari segera mengurut-urut pernapasan Nuraini. Sebagai sesama jenis, ia
bisa berlaku dengan merdeka. Sebaliknya, Sangaji tak dapat berbuat lain
kecuali keripuhan seorang diri. Mau ia menolong, tapi tak berani
menyen-tuhnya. Salah-salah bisa kena gampar Titisari. Karena itu, ia hanya
berdiri disamping dengan hati kebat-kebit.


Sejenak kemudian. Nuraini menjenak mata. Melihat titisari. Ia membuang
muka. Kemudian menangis sedu-sedan dan berusaha mene-gakkan tubuh.


"Mengapa engkau begitu?" tanya Titisari."... apakah Sanjaya..."


Nuraini menyekat pertanyaan Titisari de-ngan menggelengkan kepala. Dengan
setengah berbisik Nuraini berkata, "Titisari! Masih ingatkah engkau,
tatkala aku kau ancam, dengan cundrik? '


"AH! APA PERLU HAL ITU DIBICARAKAN POTONG," TITISARI gugup. Mukanya menjadi
merah teringat akan peristiwa dahulu. Peristiwa penodongan itu tak pernah
diceritakan kepada Sangaji. Maklumlah, justru karena khawatir Sangaji
hendak direbut Nuraini, ia jadi mata gelap. Karena itu diam-diam hatinya
tercekat dan merasa kikuk. Ia khawatir, Nuraini akan membongkar peristiwa
itu dihadapan Sangaji. Kalau sampai begitu, bukankah memalukan sekali?


Maka cepat-cepat ia mengalihkan pem-bicaraan, "Sanjaya telah melarikan diri
dengan menggondol kudaku. Mengapa?"


Nuraini mengngguk. Ia menelan ludah. "Aku tahu... karena itu aku ingin
bertanya kepadamu, apakah engkau masih teringat tatkala engkau mengancam
aku dengan cundrik?"


"Ya! Mengapa?" terpaksa Titisari meng-iyakan.


"Masihkah cundrik itu? Bolehkah aku pinjam barang sebentar?"


"Aji! Kemari!" kata Titisari memanggil Sangaji, sambil mengangguk kepada
Nuraini.




Sanagaji mendekat. Pandangnya penuh teka-teki. "Bolehkah dia pinjam
cundriku?" Titisari minta pertibangan.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar