10.30.2019

@bende mataram@ Bagian 252

@bende mataram@
Bagian 252


"Guru! Terimalah hormatku..."


Dari jauh ia mendengar suara Gagak Seta tertawa panjang makin lama makin
menjauh. Kemudian lenyap seperti awan.


Mau tak mau Sangaji jadi tertegun-tegun memikirkan peristiwa itu. Apakah
maksud gurunya membawa dia berlari-lari seperti orang gila? Perlahan-lahan
ia menyiratkan pandang? Di sebelah timur laut, berdiri gun-dukan tanah
terbuka. Di puncaknya berdiri dua batang pohon berhadap-hadapan. Kedua
pohon itu gundul tak berdaun. Di malam hari nampak bagaikan tangan-tangan
panjang hendak mencakar langit. Di sebelah barat, tergelar petak-petak yang
disekati sawah ladang. Nampaknya aman damai seperti desa tak berbambu. Di
sana terdengar air gemericik. Terang sekali suatu pancuran yang seringkali
dipergunakan penghuni-penghuni dusun mengairi sawahnya. Tetapi termasuk
wilayah manakah pemandangan itu, tak dapat ia menduga-duga. Maklumlah,
selama hidupnya baru kali itulah menginjak daerah sebelah tenggara wilayah
kerajaan Yogyakarta.


Perlahan-lahan ia menghempaskan diri di atas tanah. Napasnya yang tadi
menyekat dada, telah dapat dikuasai kembali, la mulai bisa berpikir dengan
tenang, meskipun demikian masih saja tak sanggup meme-cahkan teka-teki itu.


"Kalau Guru tahu aku berada di atas makam raja, mestinya tahu pula apa
sebabnya. Masakan Guru dengan sengaja hendak memisahkan aku dari Titisari?"
la meyakinkan dirinya.


"Di belakang peristiwa ini pasti ada maksudnya. Hm... aku disuruhnya
mengaso dan menyimpan tenaga. Apakah aku bakal menghadapi suatu bahaya?"


Teringat akan pesan itu ia memaksa diri menghilangkan corat-coret benaknya
yang ramai mengerumuni otaknya. Untunglah dia pernah memperoleh ajaran
bersemadi dari Ki Tunjungbiru tatkala masih berada di Jakarta. Maka, tak
lama kemudian ia malah jatuh ter-tidur tak setahunya sendiri.


Waktu itu bulan mulai cerah benar. Angin malam membuai lembut puncak-puncak
rumpun bambu sehingga berbunyi bergemere-sak. Dingin alam mulai terasa
meresapi tulang belulang. Meskipun angin demikian belum kuasa menyakiti
tubuh Sangaji, tetapi mampu memaksanya untuk meringkaskan diri. Tiba-tiba,
sewaktu dia hendak bergeliat meringkaskan badan, pendengarannya yang tajam
menangkap suatu bunyi dengung yang mencurigakan. Kaget ia melompat bangun.
Dan di angkasa terlihatlah deretan ribuan tabuan, berdengungan hampir
menutupi cerah bulan.


Sekaligus teringatlah dia kepada sang Dewaresi yang dahulu membawa-bawa
barisan tahuannya ke mana saja ia pergi. Tak usah ia takut kepada bisa-bisa
tabuan itu, karena pernah meminum getah sakti pohon Dewadaru. Tetapi
datangnya barisan tabuan itu, membuat dia harus berwaspada.


Ih! Apakah ini maksud Guru membawa aku ke mari? pikirnya.


Cepat ia memasuki hutan rumpun bambu. Ternyata di antara mahkota daunnya,
terde-ngar suara dengung pula. Apabila diamati ternyata terdapat beberapa
gerombol tabuan yang melengket di mana-mana.


Rupanya sudah semenjak lama tabuan ini berada di sini. Kalau begitu,
pemiliknya sudah lama pula berada tak jauh dari sini. Ah! Benar-benar Guru
mempunyai maksud tertentu untukku. Tadi ia memesan agar aku mengaso dan
menyimpan tenaga. Baiklah kulakukan dahulu, mumpung belum kasep, pikir
Sangaji lagi.


Meskipun masih samar-samar, tapi hati Sangaji tak lagi disibukkan oleh
suatu teka-teki. Cepat-cepat ia duduk bersila menghimpun tenaga muminya.
Kemudian semua ilmu ajaran Jaga Saradenta, Wirapati, Gagak Seta dan Kyai
Kasan Kesambi ditekuni kembali. Setelah itu,




mulailah dia mengatur tata napas ilmu sakti Kumayan Jati dan ilmu kebal
Bayu Sejati ajaran Ki Tunjungbiru. Kedua unsur ilmu yang bertentangan
sifatnya itu masih saja saling berbenturan. Ia belum berhasil melebur
menjadi satu, meskipun telah dicobanya berkali-kali.


Selagi ia berkutat mengatur tata napas kedua ilmu sakti tersebut,
sekonyong-konyong terdengarlah dengung tabuan kian sibuk. Ternyata
gerombolan tabuan yang agaknya lagi beristirahat di ranting-ranting pohon
bubar berderai seperti tergebu. Dan binatang-binatang berbisa itu terbang
kaget ke angkasa. Kemudian membentuk barisan berlingkar-lingkaran terus
terbang ke arah barat laut.


"Barisan tabuhan ini bukan main banyak-nya. Apakah Kebo Bangah ada di
sini?" Sangaji mencoba menebak-nebak. Dahulu ia pernah menyaksikan barisan
tabuhan sang Dewaresi. Meskipun sudah luar biasa, namun masih kalah jauh
apabila ia dibandingkan de-ngan saat itu.


Memperoleh pikiran demikian, cepat ia me-loncat ke belakang rumpun bambu
yang agak terlindung. Kemudian dengan hati-hati ia mengikuti barisan
tabuhan itu. Syukurlah, penggembala-penggembala tabuhan itu ber-kepandaian
lumrah berlaku, sehingga mereka tak mengetahui dirinya.


Jalan yang ditempuh berliku-liku. Ternyata makin lama makin mendekati
gundukan tanah tinggi yang tadi nampak berdiri di sebelah timur. Terang
sekali barisan tabuhan itu mendekati dari arah barat laut. Setibanya di
tempat itu, barisan tabuhan itu lantas bubar berderai.
Penggembala-penggembalanya menggebunya ke arah utara. Sebentar saja
suaranya telah tersirap dan menghilang di antara pohon-pohon yang berdiri
berderetan jauh di sana.


Hati-hati Sangaji mendekati sebongkah batu dan bersembunyi di baliknya.
Kemudian ia merangkak maju. la menyusup melalui arah selatan dan
bersembunyi di belakang semak-semak dekat pohon gundul. Dari sini ia
menebarkan penglihatannya. Betapa kaget-nya, ia melihat beberapa orang
berdiri tegak di atas batu-batu. Dan di antara mereka nampak Titisari
berada di dekat seorang laki-laki tegap perkasa. Dialah Adipati Surengpati.
Hanya kini ia tak mengenakan topeng seperti dahulu.


"Eh! Kebo Bangah atau Arya Senggala atau siapa lagi namamu, engkau menahan
aku di sini pasti ada perhitungannya," kata Adipati Surengpati.


Seorang laki-laki berperawakan bagaikan raksasa, tertawa terkekeh-kekeh
mende-ngarkan ucapan Adipati Surengpati. Bunyi tertawanya seperti gembreng
pecah dan menyakiti pendengaran. Dialah Kebo Bangah, paman sang Dewaresi,
yang termasuk salah seorang tokoh sakti.


"Saudara Surengpati! Janganlah khawatir aku akan merugikan engkau,"
sahutnya. Suaranya parau dan sumbang, tetapi memiliki daya kekuatan aneh.
Selamanya aku Kebo Bangah tak pernah menyakiti orang.


"Hm... kau seorang berbisa, masakan aku tak tahu?"


"Bagus! Bagus!" sahut Kebo Bangah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Agaknya,
senang ia memperoleh gelar sebagai seorang berbisa. Dan diam-diam Sangaji
bercekat hatinya.


Benar-benar Kebo Bangah berada di sini. Dan Titisari mengapa tiba-tiba
berada di samping ayahnya? Apakah dia kena tangkap sewaktu menyambangi
makam ibunya? pikirnya sibuk. Teringat akan pekerti gurunya Gagak Seta
membawanya ke mari, maka bertambah jelaslah maksudnya. Diam-diam ia
bersyukur kepadanya. Pikirnya, rupanya guru telah mengerti beradanya mereka
di sini. Lalu membawa aku ke mari.


Kini ia memusatkan seluruh perhatiannya. Ditebarkan matanya dan
mengamat-amati mereka yang berada di situ. Adipati Surengpati berdiri di
atas batu disamping Titisari. Di hadapannya kira-kira berjarak sepuluh
langkah, berdiri Kebo Bangah yang berperawakan bagaikan raksasa. Karena
malam hari, meskipun bulan bersinar cerah, tiada begitu jelas raut mukanya,
la hanya nampak berkumis tebal, jenggotnya tebal pula. Pandangnya tajam dan
sebentar-bentar tertawa


terkekeh-kekeh melebihi orang gila.


Di belakang Kebo Bangah, berdiri sang Dewaresi yang mengenakan pakaian
putih. Kemudian beberapa pengiringnya bersikap tegak seperti
pengawal-pengawal kerajaan. Mereka semua mengesankan suasana
ke-agung-agungan. Pakaiannya serba putih pula dan berseragam.


Tatkala Kebo Bangah habis berbicara, tiba-tiba sang Dewaresi maju ke depan
dan membungkuk hormat. Kemudian berkata mengejutkan hati Sangaji.


"Menantumu Dewaresi perkenankan meng-haturkan sembah kepada ayahhanda
mertua Adipati Surengpati."


Menantu? Hati Sangaji kebat-kebit. Me-nantu? Kapankah sang Dewaresi menjadi
menantu Adipati Surengpati? Menurut Titisari, Adipati Surengpati tak
berputera lagi selain Titisari seorang. Apakah dia lagi membahasakan diri
sebagai calon suami Titisari?


la melihat Adipati Surengpati menegakkan kepala. Agaknya ia tak begitu
senang men-dengar ucapan sang Dewaresi. Meskipun demikian, tangannya
diangkat tinggi seakan-akan hendak memberi salam. Mendadak saja terus
dikibaskan. Dan sang Dewaresi terpental mundur dan hampir jatuh terbalik.
Untung Kebo Bangah dengan tertawa terkekeh-kekeh menolong dirinya dengan
mengibaskan tangannya pula dari belakang punggung, sehingga ia dapat
berdiri tegak kembali dan sekaligus terlontarkan pada tempatnya semula.


"Hi ha ha ha, bagus! Bagus saudara Surengpati." Kebo Bangah tertawa lebar.
"Rupanya engkau menaksir-naksir perlu calon menantumu apakah sepadan
berjajar dengan puterimu. Bagus! Bagus!"


Dengan tenang Adipati Surengpati men-jawab, "Dia pernah menghina muridku
Pringgasakti dengan barisan tabuhannya. Kali ini inginlah aku menguji
sampai di mana kepandaiaannya."


Mendengar kata-kata Adipati Surengpati, Kebo Bangah menaikkan nada
tertawanya. Suaranya luar biasa menyakitkan telinga Sangaji.


"Nah, bagaimana menurut pendapatmu saudara Surengpati. Apakah dia pantas
men-jadi menantu putrimu?" ia berhenti sebentar mengamat-amati Titisari.
"Saudara Sureng-pati! Benar-benar engkau pintar menciptakan seorang anak.
Begini cantik molek. Pantas keponakanku ini mendadak saja berubah jadi
gendeng."


Setelah berkata demikian, Kebo Bangah merogoh ke dalam saku bajunya.
Kemudian mengeluarkan sebuah kotak yang memental-kan sinar berkilauan di
tengah malam bulan gede. Bahwasanya kotak itu memantulkan cahaya di malam
hari, pastilah terbuat dari bahan logam yang berharga. Apabila bukan emas,
setidak-tidaknya suatu kotak yang di-hiasi permata.


"Anakku!" katanya kepada Titisari. "Ayah-mu seorang kaya raya. Pastilah
engkau tiada silau melihat kotak emasku dan permata-per-mata yang menghiasi
sisinya. Tetapi di dalamnya aku mempunyai semacam permainan.


Cobalah buka sendiri. Engkau akan melihat segebung jarum emas bertatahkan
permata intan. Dahulu aku pernah mengimpikan wasiat Bende Mataram yang
paling ampuh, yakni jala Korowelang. Konon kabarnya jala itu mempunyai
bandul-bandul jarum sakti. Barang siapa kena bandul jarum itu, meskipun
kebal dari segala, akan lumpuh tak berkutik. Hm... selama hidupku belum
pernah aku melihat jala sakti tersebut. Tapi aku mempunyai otak dan khayal.
Nah, kuciptakan bandul-bandul itu. Di kemudian hari, apabila aku berhasil
menemukan bahan sakti untuk membuat jala, pastilah bandul jarum ini akan
kusematkan pada tiap benang jaring. Sekarang terimalah sebagai pembayaran
emas kawin keponakanku..."


Kebo Bangah kemudian maju mengang-surkan barang berharga itu. Hati Sangaji
bergetar bukan main. Katanya dalam hati, Titisari! Apakah engkau menerima
juga ge-bungan jarum emas itu sebagai pembayaran emas kawin?


Dia terkejut berbareng kecewa, tatkala meli-hat Titisari mengulurkan tangan
menyambut kotak




tersebut. Dengan lembut Titisari mem-perdengarkan suara tertawanya.
Kemudian berkata penuh girang.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar