10.31.2019

@bende mataram@ Bagian 254

@bende mataram@
Bagian 254


Dalam pada itu, Adipati Surengpati mere-nungi para dayang seolah-olah lagi
menim-bang-nimbang. Mendadak saja, ia meniup tanduknya. Ternyata tanduk itu
merupakan sebuah terompet yang mula-mula bersuara lembut. Kemudian, entah
bagaimana caranya sekonyong-konyong berubah menjadi nada bengis.


Barisan tabuan yang lagi mengeram di pun-cak-puncak pohon, sekaligus bubar
berderai. Binatang-binatang itu berterbangan mendaki angkasa. Tatkala
berada di atas Adipati Surengpati terus saja mati berontokan bagaikan hujan.


Keruan saja, sang Dewaresi terkejut menyaksikan Adipati Surengpati. la
pernah bertemu seseorang yang memiliki ilmu semacam itu, tatkala lagi
bertempur melawan Pringgasakti. Orang itu mengenakan topeng dan bisa
bersiul panjang. Siulnya itu mampu mengusir sekalian barisan tahuannya. Dan
sama sekali tak terduga olehnya, bahwa orang bertopeng tersebut adalah
Adipati Surengpati yang kini tengah memperlihatkan salah satu kesaktiannya
yang lain lagi. Dan tatkala ia melihat para dayang pada menggigil di atas
tanah, sadarlah dia akan bahaya. Tetapi kesadarannya itu kasep juga.
Tiba-tiba tubuh-nya terasa menjadi panas dan seperti tertusuki ribuan
jarum. Tulang-tulangnya seperti ter-lolosi. Dan darahnya bergolak kacau.
Sudah barang tentu, ia kehilangan dasar untuk mempertahankan diri. Bahkan
matanya jadi berkunang-kunang. Dunia seolah-olah berputar di depannya.
Gunung-gunung pada terbalik. Tanah yang diinjaknya terasa bergoyangan. Mau
tak mau terpaksalah dia berteriak memanggil pamannya. "Paman...!"


Tetapi Kebo Bangah kala itu nampak sibuk sendiri. Orang itu tengah
mengetuk-etuk tanah seolah-olah seorang pemimpin musik lagi memperdengarkan
irama lagunya.


Karena itu, keadaan sang Dewaresi bertam-bah lama bertambah runyam. Kini
terasalah dia, betapa suatu gumpalan hawa melonjak ke atas. Gumpalan awan
itu mula-mula berputar di dalam perutnya. Kemudian dengan suatu tenaga yang
susah dibendung, terus mendaki ke atas melalui rongga dadanya. Terpaksa
pulalah ia berjongkok agar bisa mempertahankan diri. Sedangkan nasib para
dayang waktu itu, susah diceritakan penderitaannya. Mereka jatuh terkapar
di atas tanah seperti ayam tersembelih. Tangannya mencakar-cakar tanah dan
akhirnya bergulingan dengan merintih kesakitan.


Makin lama tiupan Adipati Surengpati makin tajam. Penderitaan dan
penanggungan para dayang serta sang Dewaresi, kian menjadi-jadi. Mereka
mendekap perut dan dadanya seolah-olah berkhawatir akan meledak. Dan
melihat keadaan mereka, Kebo Bangah mulai mengerenyitkan dahinya. Kini
berhentilah dia mengetuk-ngetuk tanah dengan tongkatnya. Kepalanya
didongakkan ke udara, lalu menarik napas sekuat-kuatnya sampai perutnya
menggelembung. Setelah itu dia memperdengarkan suara perutnya melalui dada.
Nadanya mengingatkan kepada salak anjing kelaparan di tengah rimba raya.


Mendengar suara itu, Titisari tertawa geli. Sebaliknya, tidaklah demikian
halnya sikap ayahnya. Adipati Surengpati nampak jadi bersungguh-sungguh,
karena tiupan tan-duknya ternyata seperti terhapus. Mendadak saja, dia
berhenti meniup sambil berkata, "Kebo Bangah! Marilah permainan ini kita
atur, agar sedap didengar dan menarik untuk penglihatan!"


"Bagus!" sahut Kebo Bangah dengan ter-tawa terkekeh-kekeh.


"Saudara Surengpati! Tiupanmu hebat bukan main. Karena itu izinkan aku
me-nyumpal telinga anakku dan dayang-dayang yang hendak kupersembahkan
kepadamu."


Setelah berkata demikian, terus saja ia memerintah sang Dewaresi dan
sekalian dayangnya untuk menutup telinga serapat-rapatnya.


"Eh, kenapa harus menutup telinga?" Titisari heran, la melemparkan pandang
kepada ayahnya




hendak minta penjelasan. Nampak Adipati Surengpati menoleh kepadanya dan
berkata menasehati.


"Kau tahu apa? Suara bakal mertuamu hebat bukan main. Kaupun harus
menyumpal telingamu!"


Tapi Titisari belum juga mengerti maksud ayahnya. Ingin ia hendak minta
keterangan lebih jelas lagi, mendadak ayahnya telah me-robek sapu tangannya
menjadi dua bagian. Kemudian disumpalkan rapat-rapat ke dalam telinganya.


Diam-diam Sangaji heran menyaksikan peristiwa itu. Hatinya jadi kian
tertarik. Karena tak mengerti akan bahaya, dia bahkan merangkak lebih mendekat.


Dalam pada itu terdengar Adipati Surengpati berkata nyaring, "Kebo Bangah!
Apabila ternyata aku tak tahan melawan tenaga saktimu, sudikah engkau
mengalah?"


"Hm! Bagaimana mungkin engkau bisa kalah? Ilmuku hanyalah ilmu pasaran
belaka. Apakah hebatnya?" sahut Kebo Bangah.


Belum lagi ia selesai berkata, Adipati Surengpati telah menyumbatkan
senjata tan-duknya ke mulut. Cepat-cepat ia bersiaga menghadapi
kemungkinannya. Dan begitu suara tanduk Adipati Surengpati mulai
me-ngalunkan nada tinggi, Kebo Bangah terus saja menyalak bagaikan anjing
kelaparan.


Sangaji yang berada di belakang rerum-putan, heran menyaksikan perangai
mereka. Selama hidupnya belum pernah sekali juga ia menyaksikan suatu
pertandingan mengadu ilmu dengan cara demikian. Bahkan mende-ngarpun belum
pernah. Maklumlah, sebagai seorang anak yang dibesarkan di Jakarta, sama
sekali dia asing tentang ceritera-ceritera kesaktian orang-orang kuno
seperti janda sakti Calon Arang, Empu Baradah, Ratu Angin-angin, Dewi Kili
Suci, Menak Koncar, Narasoma dan lain-lainnya lagi yang bisa memukul
musuhnya dari jauh dengan ilmu mantram sakti. Seperti diketahui, janda
Calon Arang, Empu Baradah dan Narasoma hidup pada zaman raja Erlangga.
Sedangkan Ratu Angin-angin dan Dewi Kili Suci terkenal pada zaman Jenggala
dan Daha. Dan Menak Koncar hidup pada zaman Majapahit. Mereka terkenal
sebagai tokoh-tokoh sakti yang memiliki ilmu mukjizat dan sarwa gaib.
Karena itu, dia berpikir, eh, apa-apaan sih mereka ini? Masakan mengadu
ilmu dengan cara begitu. Apakah bukan adu tenaga yang menentukan segalanya?


Teringatlah dia kepada tutur kata gurunya, bahwa tokoh-tokoh sakti itu
kebanyakan ber-adat aneh. Bahkan menurut ukuran pergaulan, tak jarang
mereka digolongkan dengan orang-orang setengah waras. Tetapi selagi
berpikir demikian, mendadak saja hatinya terasa ter-goncang. Darahnya terus
saja jadi bergolak, sehingga mukanya terasa panas luar biasa seperti
terselomoti bara. Kaget ia merasakan perubahan ini. Maka cepat-cepat ia
duduk bersimpuh mengatur pernapasan dan tata darahnya. Dipusatkan seluruh
perhatiannya karena kini sadarlah dia akan bahaya.


Sebenarnya, tak gampang-gampang sese-orang mampu mempertahankan diri
terhadap serangan ilmu mantram kedua tokoh sakti tersebut. Sang Dewaresi
sendiri—seumpama tak memperoleh pertolongan pamannya— akan rubuh kena
serangan ilmu mantram Adipati Surengpati. Apalagi kini, kedua tokoh sakti
itu bersama-sama melepaskan ilmunya yang saling bertentangan. Bisa
dibayangkan betapa hebatnya. Gntunglah, Sangaji telah mengantongi ilmu
sakti Bayu Sejati ke dalam perbendaharaan hatinya, berkat ajaran Ki
Tunjungbiru. Kecuali itu, seluruh tubuhnya telah diliputi kemukjizatan
getah sakti pohon Dewadaru. Itulah sebabnya, begitu ia menga-tur tata
pernapasan dan tata peredaran darah, segera ia terbebas dari guncangan.
Dengan cepat ia dapat menguasai ketenangannya kembali. Dan dalam
ketenangannya itu mulailah dia bisa merasakan irama dan nada suara tanduk
dan salak Kebo Bangah.


Heranlah dia, mengapa suatu nada suara bisa mempengaruhi ketenangan
seseorang. Malahan




bisa menusuk dan menikam jantung. Tetapi setelah diamat-amati dengan
seksama, mulailah dia mengerti. Ternyata suara mereka itu kadang-kadang
mengalun tinggi, kemudian merendah. Mendadak saja bernada sama tingginya
seakan-akan dua anak panah yang meluncur berbareng membidik sasarannya.


Masing-masing tak mau mengalah dalam per-lombaan itu. Kerap kali bahkan
saling menin-dih dan saling menikam.


Titisari yang telah tersumpal telinganya, kala itu nampak tertawa senang.
Maklumlah, dia bebas dari pengaruh nada ayahnya dan Kebo Bangah. Dengan
pandang geli ia mengamat-amati mereka berdua. Ternyata ayahnya makin lama
makin nampak bersungguh-sungguh. Kini mulai bergerak-gerak pula. Kemudian
berjalan menempati sudut-sudut tertentu bagaikan sedang berkelahi.
Sedangkan raut muka Kebo Bangah nampak kejang luar biasa, sampai
urat-uratnya menonjol ke dagingnya.


Sebagai seorang yang cerdas otaknya, tahu-lah dia bahwa ayahnya sedang
menghadapi lawan tangguh. Begitu juga, Kebo Bangah. Mereka berdua berkutat
dengan sungguh-sungguh mengadu keuletan dan ketabahan.


Sangaji yang tengah menenangkan diri, lambat-laun berani pula menyenakkan
mata sambil menajamkan pendengaran. Melihat Titisari tertawa-tawa geli, ia
gelisah luar biasa. Tapi mengingat telinganya telah tersumbat robekan sapu
tangan, hatinya agak terhibur. Karena itu, kembali ia dapat memusatkan
seluruh perhatiannya kepada mereka yang sedang bertempur.


Pemuda itu sebenarnya bukanlah seorang pemuda yang tolol dalam arti kata
sebe-narnya. Seandainya dia benar-benar tolol, masakan mampu menerima
ajaran berbagai ilmu kepandaian bermutu tinggi seperti ilmu Jaga Saradenta,
Wirapati, Ki Tunjungbiru, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi yang
di-lihatnya hanya selintasan saja. Karena itu, meskipun otaknya lambat
dalam menerima sesuatu keadaan, lambat laun ia mulai bisa memahami.
Sekarang makin terang baginya, bahwa kedua suara itu berusaha saling
mengalahkan. Kadang-kadang melompat, mengendap, menghindar, menyerang dan
menangkis dengan jurus-jurus tertentu. Karena tekunnya ia mendalami adu
kesaktian itu, mendadak saja di luar kemauannya sendiri tangannya
bergerak-gerak mengikuti sudut jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi.


"Hai, kenapa jadi begini?" ia heran. "Jurus-jurus Eyang Guru, ternyata bisa
mengimbangi jurus-jurus mereka."


Khawatir pergerakan tangannya akan keta-huan mereka, cepat-cepat ia
menguasai. Tetapi pikiran dan perasaannya terus berjalan melakukan
jurus-jurus ajaran Kyai Kasan Kesambi.Ternyata makin lama makin dimengerti
intisari sesungguhnya. Kini dengan lincah ia ikut bertempur dalam
khayalnya, seumpama dia harus menghadapi salah seorang di antara mereka.
Hanya saja, tenaga penyalurannya belum diketemukan. Sehingga andaikata
benar-benar bertempur akan gampang dirobohkan mereka.


Tatkala itu, mereka yang sedang mengadu ilmu sakti telah memasuki
babak-babak penentuan. Orat-urat mereka makin kejang. Pandang matanya tajam
luar biasa. Diam-diam Sangaji terkejut dalam hati. Pendengarannya yang
tajam kini mulai memahami intisari ilmu mereka. Kadang-kadang suara salak
Kebo Bangah terdengar merendah seakan-akan kena terundurkan. Mendadak saja
melompat merangsang dengan dahsyat. Suara tanduk Adipati Surengpati
mempunyai jurus tipu muslihatnya pula. Apabila kena serangan demikian,
nadanya terus berlengkak-lengkok seolah-olah menempel terus. Kemudian
de-ngan tiba-tiba menggigit dan menyambar de-ngan cekatan.


Pada suatu kali, suara tanduk Adipati Surengpati hampir kena tertindih dan
terasa kena terdorong ke pojok. Hati Sangaji tercekat. Memang di dalam
hatinya, ia menjagoinya. Tiba-tiba selagi suara tanduk Adipati Surengpati
berkutat hendak membebaskan diri, dari jauh terdengarlah suara siulan
pan-jang melengking tajam. Mula-mula agak samar-samar, tapi lambat laun
kian nyata dan kini mulai memasuki gelanggang. Adipati Surengpati dan Kebo


Bangah terkejut sehing-ga suara mereka berkisar mundur.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar