10.30.2019

@bende mataram@ Bagian 253

@bende mataram@
Bagian 253


"Terima kasih!"


Setelah berkata demikian, sambil mengang-surkan tangan ia mengerling kepada
sang Dewaresi. Keruan saja, sang Dewaresi yang telah tergila-gila semenjak
bertemu di pendapa kadipaten Pekalongan serasa copot hatinya. Dadanya
mendadak saja menjadi sesak, karena jantungnya berdebar terlalu keras. Di
dalam hati ia bersyukur, melihat gadis itu menerima pemberian emas kawin
pamannya. Pikirnya, ayahnya telah berkenan menyerahkan dia kepadaku.
Masakan dia berani menolak pemberian emas kawin. Hm... tahulah aku
sekarang. Sikapnya yang selalu galak terhadapku, alihkan hanya merupakan
suatu gaya khas seseorang gadis belaka... Dalam detik-detik itu, dia telah
memimpikan malam pengantin. Maklumlah, dia adalah seorang laki-laki yang
sudah terlalu sering memperoleh pengalaman. Terhadap seorang gadis, tahulah
dia apa yang harus dilakukan pada malam-malam itu, seperti terhadap Nuraini.


Tetapi sekonyong-konyong tengah ia memimpikan malam indah itu nampaklah
suatu sinar beterbangan menyerang dirinya.


"Waduh! Celaka!" jeritnya kaget.


Sekilas pandang tahulah dia, bahwa sinar yang menyerangnya berkeredepan itu
adalah perbuatan Titisari. Ternyata setelah membuka kotak pemberian dengan
cekat Titisari meraup gebungan jarum emas itu dan disambitkan kepadanya.


Untunglah, sang Dewaresi pernah diserang demikian dengan biji sawo. Karena
itu, dalam gugupnya cepat ia menjejak tanah dan mele-sat ke udara. Meskipun
demikian, jarum emas pemberian pamannya berjumlah bukan hanya satu. Tetapi
merupakan segebung jarum yang berjumlah paling tidak dua puluh lima batang.


"Titisari! Apa yang kaulakukan ini?" bentak Adipati Surengpati sambil
mengibaskan ta-ngan. Oleh kibasan itu, jarum-jarum itu tersa-pu bersih.
Seumpama tidak, meskipun sang Dewaresi sudah melesat ke udara tiada
ter-tolong lagi.


Karena dirintangi Adipati Surengpati mak-sud Titisari hendak membinasakan
sang Dewaresi gagal berantakan. Gadis itu lantas saja menangis sedih.


"Ayah! Lebih baik bunuhlah aku! Selama hidupku tak bakal aku kawin dengan
bangsat itu!"


Hebat adalah sikapnya Kebo Bangah. Orang itu menyaksikan peristiwa demikian
seperti lagi menonton sandiwara belaka. Ia malah lantas saja tertawa
terkekeh-kekeh, menyaksikan Adipati Surengpati menggerembengi anaknya
perempuan. Terhadap keponakannya yang baru saja terlepas dari lubang jarum,
ia bersikap dingin seakan-akan tiada menaruh perhatian.


"Saudara Surengpati!" katanya dengan suara parau. "Janganlah salah paham!
Puterimu lagi menguji anakku. Mengapa engkau menggerembengi begitu
sungguh-sungguh?"


Waktu itu sang Dewaresi telah berdiri lagi di atas batu. Dadanya sebelah
kiri terasa sakit. Maka tahulah dia, bahwa ia masih juga kena sambaran
jarum Titisari. Tetapi di depan seo-rang gadis ayu, betapa dia mau
memerintah. Dasar hatinya angkuh pula, maka meskipun nyeri bukan main bisa
dia bertahan diri. Malahan wajahnya nampak tersenyum, se-olah-olah tak
pernah terjadi sesuatu.


Dalam pada itu Kebo Bangah berkata lagi kepada Adipati Surengpati. "Saudara
dahulu hari kita pernah mengadu kekuatan dan mengukur kepandaian.
Barangkali sudah dua-puluhan tahun yang lalu. Sekarang, hatiku girang,
karena tak terduga kita berdua sudah mengikat tali kekeluargaan. Engkau
memperkenankan anakku memperisteri puterimu. Selanjutnya, aku akan tunduk
dan patuh kepada semua perintahmu."


"Hm," dengus Adipati Surengpati angkuh. "Siapakah yang berani main perintah
terhadap manusia berbisa seperti tampangmu. Dua puluh tahun kita tak pernah
bertemu. Pastilah ilmu




kepandaianmu kini sudah jauh melebihi diriku, sampai-sampai berani bersikap
merendah. Eh, cobalah perlihatkan macam kepan-daianmu di hadapanku. Aku
ingin melihat."


Terang sekali maksud Adipati Surengpati. la memaksa Kebo Bangah agar
memisahkan antara tali kekeluargaan dan ilmu kepandaian. Dua puluh tahun
yang lalu, mereka pernah mengadu kepandaian. Kesudahannya satu-satu, di
antara mereka tiada yang kalah atau menang. Karena itu, mereka berdua
saling berlomba menekuni ilmunya agar di kemudian hari bisa merebut
kemenangan. Dasar Adipati Surengpati berkepala besar pula, maka ia tak
senang mendengar ucapan Kebo Bangah.


Sebaliknya kesan Titisari adalah lain. Dasar hatinya masih kekanak-kanakan,
maka begitu mendengar ucapan ayahnya ia segera menyetujui. Lantas saja
tangisnya hilang tak keruan perginya. Ditegakkan kepalanya. Wajahnya terus
saja kelihatan manis luar biasa. Dengan mata bersinar-sinar ia menatap Kebo
Bangah. Dalam hatinya ia berharap pendekar itu memperlihatkan
kepandaiannya. Dengan demikian ia akan bisa menyaksikan kepandaian salah
seorang tokoh sakti yang sudah sekian lama mengeram dalam ingatannya,
berkat tutur kata ayahnya yang sering membicarakan keunggulan tujuh tokoh
sakti pada zaman itu.


Kebo Bangah nampak membawa tongkat bercat merah, kira-kira sedepa
panjangnya. Tongkat itu berduri. Dan ia mengenalnya sebagai tongkat duri
batang rukem yang mengandung bisa alam luar biasa. Barangsiapa kena
tergores duri itu meskipun ia kebal dari senjata tajam, akan mati
keracunan. Apalagi Kebo Bangah, memelihara tongkat itu sebagai jiwanya
sendiri. Bertahun-tahun lamanya, tongkat tersebut direndamnya dalam kubang
racun ular dan binatang-binatang beracun lainnya. Sebagai obat pemunahnya,
pasti saja dia memiliki. Tetapi menurut kabar, tatkala ia mencoba kehebatan
tongkat rukemnya, sudah meminta korban 475 orang yang mati keracunan. Dan
di antara mereka tak seorangpun diberi obat pemunahnya. Oleh perbuatannya
itu terkenallah dia sebagai si bisa dari Gunung Serandil.


"Saudara Surengpati!" katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Dua puluh
tahun yang lalu, ilmu kepandaianku tak bisa dija-jarkan dengan ilmu
kepandaianmu. Sekarang sudah dua puluh tahun lewat, pastilah ilmumu makin
bertambah tinggi. Betapa bisa aku mengejar ilmu kepandaianmu. Aku usul
begini sekarang kita sudah menjadi sanak. Marilah kita pulang ke
Karimunjawa saja. Di sana aku berniat berguru kepadamu. Nah, bagaimana
pendapatmu?"


Tatkala sang Dewaresi bertemu pandang untuk yang pertama kalinya dengan
Titisari di pendapa kadipaten Pekalongan segera ia meminta pertolongan
pamannya untuk mela-mar gadis itu. Kebo Bangah segera mengi-rimkan beberapa
orang sebagai utusan mewakili dirinya meminang Titisari. Memper-oleh
lamaran itu, Adipati Surengpati sibuk menimbang-nimbang. Pikirnya, pada
zaman ini, orang yang melebihi kesaktian Kebo Bangah tiada lagi. Andaikata
ada, tidaklah begitu banyak, jika aku dan dia bisa mengikat suatu ikatan
keluarga, bukankah tiada lagi tandingku di kolong langit ini?


la tahu, anak perempuannya amat nakal. Jika sudah tiba waktunya untuk
kawin, harus memperoleh seorang suami yang seimbang. Si suami harus
memiliki ilmu yang bisa mengim-bangi. Kalau tidak, anaknya perempuan bakal
menghinanya, la segera mencari di mana Titisari berada setelah minggat dari
pulau


Karimunjawa. Secara kebetulan ia bisa menyaksikan kepandaian sang Dewaresi
tatkala berani melawan muridnya Pringgasakti. Diam-diam ia bergirang hati.
Ternyata ilmu kepandaiannya jauh di atas Titisari. Di samping itu, ia cakap
dan tiada tercela. Gerak-geriknya halus dan matang. Dan begitu memperoleh
kesan itu, segera ia membawa Titisari pulang ke Karimunjawa. Di sana ia
menerima baik lamaran Kebo Bangah.


Sebaliknya, begitu Titisari mendengar pem-bicaraan antara ayahnya dan
utusan Kebo Bangah, terus saja ia menolak dengan menge-mukakan
kebusukan-kebusukan sang Dewa-resi. Tetapi Adipati Surengpati tak meladeni,
la menganggap alasan itu sebagai lumrahnya seorang dara yang terkejut
mendengar berita lamaran untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya.




Karena itu, Titisari lantas minggat kembali. Kepada salah seorang
pengasuhnya, gadis itu menerangkan bahwa ia hendak mencari kekasihnya Sangaji.


Keruan saja, Adipati Surengpati mencak-mencak seperti seseorang terbakar
jenggotnya. Menurut hematnya, sang Dewaresi jauh lebih sempurna daripada
Sangaji yang ketolol-tololan.


Tetapi kini, begitu mendengar tata kalimat Kebo Bangah yang sebentar
merendah dan sebentar lagi tinggi hati, ia jadi curiga. Pikirnya, apakah
maksud orang ini? Apakah dia hendak memaksa aku terikat menjadi sanak
keluarganya untuk melindungi kelemahannya?


Teringatlah dia, Kebo Bangah dahulu pernah punah ilmunya tatkala melawan
Kyai Kasan Kesambi. Apakah ilmunya kini bisa pulih kembali sesungguhnya
masih merupakan suatu teka-teki besar. Teringat akan hal itu, teringat
pulalah dia kepada sepak terjang dan tabiat Kebo Bangah. Orang itu, sangat
berbisa. Mulutnya tajam, cerdik, licin, kejam dan mau menang sendiri. Dia
sendiri salah seorang tokoh sakti yang berkepala besar. Sudah selayaknya
tak sudi ia mengakui keunggulan Kebo Bangah. Maka segera ia mengeluarkan
senjata andalannya, yakni: sebuah tanduk panjang. Kemudian berkata angkuh,
"Seorang tetamu dari jauh telah memaksaku menerima perangkapan jodoh di
tengah jalan. Akupun tidak memedulikan dan kuterima maksud itu. Nah, apa
perlu kini hendak mencoba ilmu kepandaian, membutuhkan suatu tempat layak
jauh di Karimunjawa? Kalau aku sudah berani menerima suatu perangkapan
jodoh tanpa adat istiadat, masakan aku memerlukan pula adat istiadat
melayani kepandaian orang?"


Sebagai seorang yang sudah mempunyai pengalaman penuh, tahulah Kebo Bangah
arti kata Adipati Surengpati. Lantas saja ia tersenyum panjang. Menghadapi
bakal besan yang berwatak angkuh dan berkepala besar, ia bersedia mengalah
dalam beberapa hal. Sebab kalau Adipati Surengpati sampai meniup tanduknya
yang panjang, akibatnya terlalu hebat. Senjata itu bisa meniupkan beberapa
macam tenaga mantram yang susah dilawan. Maka segera ia berteriak
menyerukan aba-aba.


Beberapa pengiringnya yang semenjak tadi berdiri tegak seperti pengawal
raja, cepat menoleh dan meneruskan aba-abanya. Dan tak lama kemudian dari
balik gundukan tanah tinggi, munculah dua puluh wanita-wanita cantik yang
segera bersimpuh menghaturkan sembah kepada Adipati Surengpati.


"Saudara Surengpati!" kata Kebo Bangah nyaring. "Sekalian dayang-dayangku
ini masih tergolong gadis tulen. Aku berkata masih tergolong! Sebab kalau
kau suruh membuktikan, tak berani aku menanggung. Hihaaa...! Sekalipun
demikian, mereka cantik-cantik. Tentu saja menurut seleraku. Aku
mengumpulkan dari beberapa penjuru tanah air.


Bilanglah, aku bersusah payah juga. Nah, mereka ini akan kupersembahkan
kepadamu sebagai dayang-dayang puterimu. Tetapi apa-bila engkau hendak
merebutnya atau memak-sanya, tak berani aku menghalang-halangi."


Titisari mengamat-amati dua puluh dayang itu. Mereka berwajah tak tercela.
Meskipun hanya dipantuli cahaya rembulan, namun kulitnya nampak bersih dan
kuning. Heran ia mengapa mereka bersedia menghamba kepa-da Kebo Bangah.
Pastilah di belakang keada-annya terselip suatu kisah rahasia.


Tak disadari ia mengerling kepada sang Dewaresi sekilas pandang, ia melihat
sang Dewaresi merenungi dirinya seperti orang gen-deng. Kesannya menjemukan
dan mendeng-kikan. Maka diam-diam ia mencari akal untuk membunuhnya dengan
suatu jebakan lagi. Pikirnya, biarlah di depan Ayah, ia kuhajarnya mati.
Meskipun Ayah akan mendesak aku menikah dengannya, toh dia sudah
menelung-kupi liang kubur.


Tabiat Titisari memang liar dan berbuat menurut kehendak hatinya. Apa yang
dipikirkan lantas saja dikerjakan tanpa pertimbangan lagi. Maka sebentar
kemudian ia tersenyum manis, karena telah memperoleh pegangan.




Sebaliknya sang Dewaresi salah tangkap, la mengira memperoleh kiriman
senyuman dari gadis yang menggemaskan hatinya. Tentu saja ia sangat girang.
Dan saking girangnya lenyaplah rasa nyerinya yang menusuki dada semenjak tadi.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar