10.29.2019

@bende mataram@ Bagian 251

@bende mataram@
Bagian 251


"Eh, kenapa kau mesti berpikir sampai begitu," kata Titisari dengan tertawa
riang. "Sehari kita boleh bergaul lebih lama, kita per-gunakan saat itu
sebaik-baiknya."


Terang sekali maksud gadis itu. Dalam rasa putus asa ia mencoba hendak
mengulur waktu. Dan hati Sangaji yang perasa kian menjadi terharu. Maka tak
sampai hati ia menolak.


Mereka terus saja menuju ke Imogiri dengan melalui Desa Tunjungan, Krajan,
Randu-gunting dan Kalasan. Di Kalasan mereka membeli seekor kuda, karena
kuda Titisari telah dilarikan Sanjaya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke
Imogiri. Kini perjalanan mereka jauh lebih cepat. Sebelum matahari
mendekati cakrawala, sampailah mereka di makam keluarga raja Imogiri.


Keadaan makam keluarga raja di Imogiri pada dewasa itu tidaklah sejernih
kini. Kesannya sangat gawat, angker dan berper-bawa. Makam itu sendiri
berada di atas gundukan tinggi, diapit-apit bukit yang berbentuk memanjang,
pohon-pohon besar memayungi tempat-tempat tertentu. Desa yang berada di
seberang menyeberang jalan belumlah serapat sekarang. Seluruhnya hampir
tertutup hutan bambu yang menyekat batu-batu alam yang berkesan maha
perkasa dan angkuh.


Peraturan menjenguk makam keluarga raja, sangat keras pula. Seorang
pengantar tak diperkenankan mendekati pintu gerbang ter-lalu dekat. Karena
Sangaji bukan keturunan raja, maka ia seperti tersekati tembok tinggi.
Tatkala Titisari diizinkan memasuki makam, terpaksalah ia menunggu jauh di
luar gerbang seperti anak keserakat.


Ia mendongkol kenapa mesti diperlakukan demikian. Pikirnya, bukankah
manusia ini berketurunan sama dan berderajat sama pula? Raja berhidung satu
aku pun berhidung satu. Raja bermata dua, aku pun bermata dua. Raja
bermulut satu, aku pun bermulut satu.Terasa sekali dalam hatinya, betapa
orang-orang besar ini membuat susah orang-orang kecil belaka yang tak
berkelas. Tetapi ia tak mempunyai kekuasaan untuk menentang
peraturan-peraturan yang memisahkan antara manusia dan manusia. Maka mau
tak mau ia harus tunduk kepada suatu keharusan itu.


Karena kesal ia mundar-mandir di luar tembok. Kudanya kemudian dititipkan
kepada salah seorang penduduk kampung. Ia menge-mukakan kekesalan hatinya.


"Naik bukit sana saja, Gus," kata orang itu. "Dari sana bisa melihat
seluruh makam."


Girang Sangaji mendengar saran itu. Cepat ia merogoh uang untuk makanan
kudanya, kemudian lari mendaki bukit sebelah tenggara. Maka benar juga kata
orang itu. Dari atas bukit ia bisa menjenguk makam sepuas-puasnya. Hanya
saja Titisari tak terlihat olehnya.


Barangkali dia lagi mendekati makam ibu-nya, pikirnya menghibur diri.
Biarlah dia menengok makam ibunya sepuas-puasnya.


Masakan aku tak mengetahui, manakala ia sudah rampung.


Kemudian beralihlah dia menyelidiki bukit. Di sana sini banyak tumbuh pohon
jambu. Rumput alam tebal menutupi buminya. Maka duduklah ia menghempaskan diri.


Senang ia duduk di atas rumput tebal itu. Hanya saja hatinya terlalu
kosong. Untuk iseng, ia mengingat-ingat kembali pada jurus-jurus ajaran
Kyai Kasan Kesambi yang ternyata dahsyat tak terkira. Teringat akan jurus
itu, teringatlah pula ia kepada gurunya. Hatinya terus saja bergolak hebat.
Tak terasa ia melakukan setiap perubahan jurusnya dengan sungguh-sungguh.


Tatkala matahari telah tenggelam di barat, ia berhenti beristirahat.
Kembali ia mengamat-amati makam. Keadaannya sunyi lengang. Namun Titisari
tak nampak batang hidungnya.


Kini rasa dahaga dan lapar mulai menggoda. Teringat kepandaian Titisari
memasak, liurnya terus saja cerocosan.


Tiba-tiba dia teringat buah-buah jambu yang bergelantungan dengan merdeka.
Karena rasa lapar makin lama makin menggigit perutnya, tak berpikir panjang
lagi terus saja memanjat dan


menggerumuti jambu sampai perutnya terasa jadi kenyang.


Dari atas pohon ia mencoba mengamat-amati kembali pintu gerbang yang kini
sudah nampak samar-samar. Masih saja sunyi sepi.


Hai! Ke manakah Titisari? Apakah dia mesti menginap? pikirnya
menebak-menebak. Hatinya mulai curiga. Mendadak saja terasalah kesiur angin
meraba lengannya. Tak setahunya sendiri, bulu romanya menggelidik. Kemudian
terdengar suara lamat-lamat, tapi terang.


"Hm...! Begitulah caramu hendak menuntut dendam gurumu?"


Keruan saja, Sangaji terkejut bukan main. Cepat ia menoleh, tetapi
sekelumit bayangan manusia tiada sama sekali, la jadi keheran-heranan.


Sangaji adalah seorang pemuda yang memperoleh didikan barat dalam masa
per-tumbuhannya mencapai jenjang kedewasaan, perkara hantu, iblis, setan
atau demit masih tipis baginya. Karena itu, suara yang didengarnya tadi
tidaklah cepat-cepat mengingatkannya kepada dunia makhluk halus. Meskipun
ia kini berada di atas sebuah bukit yang melingkupi makam besar di waktu
malam hari.


Segera ia meloncat turun ke tanah dengan hati penasaran. Pikirnya, masakan
telingakusalah tangkap? Ia celingukan ' menyelidiki sekitarnya. Keadaannya
sunyi senyap seperti sediakala.


Dia mengingatkan aku kepada penuntutan dendam guruku. Siapa dia? pikirnya
berteka-teki. Pastilah dia mengetahui tentang keadaan pertapaan Gunung
Damar. Tetapi terang suara tadi bukanlah suara Paman Gagak Handaka,
Ranggajaya, Bagus Kempong dan Surya-ningrat. Hm... apakah peristiwa keji
itu kini telah menjadi pembicaraan umum?


Selagi ia sibuk menduga-duga dari arah kiri terdengar suara orang mengeluh
berat. Kaget ia menoleh. Juga kali ini tiada tanda-tanda adanya seseorang.
Akhirnya dia berkata nyaring, "Agaknya Tuan mengenal diriku, sebaliknya aku
tidak. Apakah Tuan berkebe-ratan menampakkan diri kepadaku?" Sangaji
menunggu, tetapi tiada jawaban. Lalu ia berkata lagi, "Baiklah... sekiranya
Tuan tak sudi menampakkan diri, maukah menyebut nama Tuan?"


Kembali lagi tiada jawaban, seolah-olah kata-katanya tiada berharga
sepeserpun juga untuk dilayani. Karena itu, betapa sabar Sangaji ia adalah
seorang pemuda yang gam-pang tersinggung kehormatannya. Dengan mengeraskan
diri, ia mulai menyelidiki mah-kota pohon-pohonan. Mendadak terdengar suara
dari arah selatan.


"Seorang laki-laki, masakan merengek-rengek seperti perempuan?"


Sadarlah Sangaji, bahwa ia lagi berhadapan dengan seseorang yang berilmu
tinggi. Tadi berada di belakang, kemudian beralih ke sebe-lah kiri.
Mendadak saja kini sudah berpindah di sebelah selatan.


Baik kau suruh aku mengetahui siapa dirimu tanpa bertanya asalkan engkau
bukan malaikat, masakan aku tak mampu, pikirnya dalam hati. Lantas saja ia
melesat menubruk segerombol belukar yang berada di sebelah selatan. Tetapi
ia menubruk angin. Kemudian jauh di depannya terdengar suara
menter-tawakan. Keruan saja, hatinya jadi panas. Dengan memusatkan seluruh
kemampuannya, ia terus memburu.


Kepandaian Sangaji dalam hal kegesitan sepuluh kali lebih tinggi daripada
sewaktu baru merantau dari Jakarta. Ilmu itu diperolehnya dari Gagak Seta.
Meskipun demikian, setelah memburu sekian lamanya tak mampu menemukan
buruannya. Kini ia telah melintasi ting-- gi bukit dan turun ke sebelah
utara. Keadaan seberang menyeberang merupakan alam terbuka tiada pohonnya.
Hanya di sana sini nampak beberapa batu gundukan mencongakkan diri dari
bumi. Melihat keadaan itu ia jadi ragu-ragu. Pikirnya, tak mungkin
buruannya melintasi alam terbuka. Bukankah gampang terlihat?


Setelah menimbang-nimbang sebentar ia bermaksud hendak kembali. Tiba-tiba
terde-ngar suara bergemeresek seperti binatang galak mengikuti dari
belakang. Kaget ia memutar tubuh,




tapi kembali tiada sesuatu. Tatkala berputar lagi menghadap ke utara
matanya yang tajam menangkap sesosok bayangan berkelebat di sana. Karena
itu tanpa berpikir panjang lagi terus saja ia mengejar.


Watak Sangaji memang ulet dan tabah, la tahu, dirinya lagi dipermainkan
seorang yang kepandaiannya sepuluh atau seratus kali lipat daripadanya.
Tetapi ia enggan menyerang atau berputus asa, apa lagi tadi kena disindir
begitu tajam. Manakala belum bisa mengetahui alasan orang itu mempermainkan
dirinya, betapa dia sudi menyudahi. Itulah sebabnya, dengan mati-matian ia
terus mengejar, menye-lidiki dan menebak-nebak, ia tak percaya, se-orang
manusia bisa terbang atau menghilang.


Terang sekali, tadi kulihat ada bayangannya.


Pasti dia seorang manusia yang berdarah dan berdaging, pikirnya yakin.


Bukit yang satu telah dituruni. Kini ia men-daki bukit yang lain. Kemudian
lapangan ter-buka dan sawah ladang. Dan orang itu tetap mempermainkan dari
tempat ke tempat.


Tak terasa larut malam telah tiba dengan diam-diam. Sangaji terus mencari
ubek-ubekan dan mengejar-ngejar tak keruan tujuannya. Kini ia mulai
melintasi desa-desa. Akhirnya tiba pada suatu petak tanah dekat rumpun
bambu yang merupakan sebidang hutan. Rasa capai mulai terasa. Napasnya
mulai menyekati rongga dadanya pula. Lambat laun ia kehilangan pegangan.


Hm! Orang itu benar-benar tinggi ilmunya. Sepuluh kali lipat mungkin
seratus kali lipat daripadaku. Kalau ia mau mencelakai diriku samalah
gampangnya seperti membalik tela-pak tangan. Mengapa dia tak berbuat
demi-kian? Baiklah aku berhenti saja. Siapa tahu, dia malah sudi memberi
keterangan.


Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia berhenti. Kemudian duduk
bersimpuh di atas batu mengatur pernapasan. Diam-diam otaknya lantas
berputar mengingat-ingat tokoh-tokoh ternama pada zaman itu. Teringatlah
dia kepada tutur kata gurunya, bahwa kakek gunanya Kyai Kasan Kesambi
termasuk salah seorang dari tujuh orang sakti urutan pertama.


Kemudian, almarhum Mangkubumi I, Adipati Surengpati, almarhum Pangeran
Samber Nyawa, Gagak Seta, almarhum Haji Lukman Hakim dan Kebo Bangah.
Mengingat kepandaian orang itu, pastilah dia termasuk salah seorang tokoh
dari mereka. Tetapi siapa! Dari ketujuh tokoh sakti itu, dia telah mengenal
tiga di antaranya. Yakni, Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Kyai Kasan
Kesambi.


Yang belum dan masih hidup, tinggal Kebo Bangah paman sang Dewaresi. Dan
begitu teringat kepada tokoh itu tak tersa hatinya menggelidik. Maklumlah,
dengan sang Dewaresi ia pernah mengukur kepandaiannya. Masakan pamannya
akan tinggal berpeluk tangan belaka? Sebagai seorang tokoh sakti yang pasti
tinggi hati, sudah barang tentu tak mungkin tinggal diam mendengar
keponakan-nya menanggung malu tatkala kena diper-mainkan Titisari.


"Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!" Ia mencoba menghibur
diri. "Masakan tokoh setinggi, itu merasa perlu berlari-lari menguji diriku
sewaktu hendak membalas dendam?"


Tapi apabila bukan, lantas siapa orang itu? Pastilah orang itu tidak perlu
kalah berlawan mereka bertujuh. Apa sebab tak termasuk dalam daftar
namanya? Tiba-tiba selagi ia bergelisah, terdengarlah bergemeresek dua
puluh langkah di depannya. Kemudian suara itu terdengar lagi, "Bocah tolol!
Masakan sela-ma itu belum mengenal siapa aku? Apakah engkau masih berotak
udang? Mengasolah dan simpanlah tenagamu!"


Mendengar istilah tolol dan deretan kalimat yang cukup panjang itu,
akhirnya Sangaji ter-sadar. Terus saja terlompatlah perkataannya, "Ah! Guru
memang aku tolol!"


Kini hilanglah teka-teki yang membi-ngungkan otaknya yang sederhana. Dialah
gurunya. Gagak Seta yang terkenal aneh wataknya, la bagaikan seekor naga
sakti. Kena terlihat ekornya, tapi tiada kepalanya. Apa yang lagi
dikerjakan, tak mudah orang menebaknya.




Sangaji menunggu beberapa waktu lama-nya, namun Gagak Seta tak muncul di
depan-nya. Teringat akan tabiatnya, maka terus saja ia membungkuk hormat
sambil berkata ren-dah.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar