10.27.2019

@bende mataram@ Bagian 248

@bende mataram@
Bagian 248


"Hati-hati Kangmas Sangaji...!" katanya gugup. Meskipun kedengarannya ia
memberi peringatan tentang kemungkinan Pangeran Bumi Gede melepaskan
senjata pemunahnya, tetapi sebenarnya justru ia memberi kisikan kepada
siapa yang berada di dalam peti agar bersiaga.


Waktu itu Sangaji sudah mendekati peti. Mendengar peringatan Sanjaya, ia
berhenti. "Apa katamu?"


Belum lagi Sanjaya menjawab, Titisari menyahut, "Tindih saja dari atas!"
Sangaji tertawa. "Jangan takut. Tak bakal dia bisa lolos!"


Cepat ia hendak melompat. Tetapi Titisari menyanggah katanya agak gugup.


"Tunggu dulu! Biarlah kuhantamnya dengan ilmu pukulan Ayah. Meskipun aku
belum mahir, tetapi untuk meremukkan peti itu masih bisa."


Segera ia mengumpulkan tenaga. Seperti diketahui, Titisari pernah
mengeluarkan pu-kulan itu, tatkala terjepit di halaman Kadipaten Pekalongan
di dalam melawan sang Dewaresi dan pendekar Abdulrasim. Pukulan itu
terkenal dengan nama pukulan melintang udara. Maksudnya memukul dari jauh.
Yakni, dengan mengandalkan hempasan lontaran tenaga dengan tata napas.


Dahulu ia bisa mengibarkan lengan baju sang Dewaresi, sehingga pendekar itu
jadi terkejut dan tak berani berlaku sembarangan. Kini dia sudah memiliki
sekelumit ilmu sakti Gagak Seta. Meskipun belum sempurna, tetapi betapapun
juga jauh lebih maju daripada dahulu. Maka bisa diperacaya, bahwa
pukul-annya akan sanggup memecahkan peti. Tetapi tatkala dia hendak
melontarkan pukulan, mendadak terdengrlah suara mengeluh dan merintih, la
terkejut sampai napasnya tertahan. Kemudian meletuslah perkataannya dengan
tergagap-gagap.


"Suara perempuan! Perempuan...!"


Suara keluhan dan rintihan itu terdengar halus mirip perempuan. Tapi bagi
pende-ngaran Sanjaya mengingatkan dia kepada erangan seorang ningrat.
Karena itu, keringat dinginnya sekaligus merembes keluar. Besar dugaannya,
bahwa itulah keluhan dan rintihan ayah angkatnya yang tak tahan lagi
mencekap diri di dalam peti. Maka hatinya terguncang bukan main.


"Dimas Sanjaya! Ayo kita buka!" ajak Sangaji.


Sanjaya telah mandi keringat. Terpaksa ia mengangguk, segera ia maju.
Mendadak ter-dengar lagi suara keluhan. Kali ini, hatinya lega bukan main.
Karena suara itu benar-benar suara seorang perempuan. Bahkan suara itu
terdengar minta pertolongan. Maka tiada ragu-ragu lagi, ia melompat dan
merenggut tutup peti.


Sangaji waktu itu mundur setengah langkah, tatkala melihat Sanjaya telah
merenggut tutup peti. Ia bersiaga hendak melepaskan serangan ilmu Kumajan
Jati, manakala suara itu adalah permainan sandiwara Pangeran Bumi Gede.
Tetapi segera ia memekik heran, karena yang rebah di dalam peti itu
ternyata Nuraini.


"Titisari!" pekiknya, "Lihat... Siapa dia?" "Siapa?"


"Nuraini!"


Mendengar keterangan Sangaji, gadis itu terus melompat dan menjenguk.
Melihat cara rebahnya Nuraini, tahulah dia bahwa Nuraini telah kena siksa.
Cepat ia memijat-mijat dan menarik Nuraini ke luar.


"Mengapa engkau berada di sini?"




Rupanya sudah lama Nuraini tersekap di dalam peti itu. Jalan darahnya
seperti tersumbat. Karena itu pula tak pandai menjawab pertanyaan Titisari.
Mukanya nampak kuyu. Rambutnya terurai. Bajunya robek-robek. Dan kainnya
setengah tersingkap dan tanpa ikat pinggang lagi.


Titisari segera mengusir Sangaji dan Sanjaya agar menjauh. Kemudian dengan
cekatan ia menolong merapikan dandanan Nuraini. Sejenak kemudian... setelah
agak rapi... Nuraini baru bisa bersuara. Sebagai permulaan kata, ia
menangis sedu sedan. Kemudian berkata tersekat-sekat, "Aku kena ditawan dan
diperkosa."


"Siapa?" Titisari bergemetaran. Sebagai seorang gadis ia bisa merasakan
penderitaan dan penanggungan jenisnya. Tiba-tiba suatu bayangan berkelebat
dalam benaknya. Cepat ia menyusuli, "Apakah engkau ditawan si bangsat
Dewaresi?"


Nuraini membungkam. Tetapi ia mengang-guk, kira-kira satu bulan yang lalu,
Nuraini di desak Sanjaya agar mengundang gurunya Pringgasakti. Di tengah
jalan ia bertemu de-ngan sang Dewaresi. Meskipun pada mulanya ia kena di
tolong Pringgasakti dengan bantuan orang berjubah abu-abu, tetapi akhirnya
kena tangkap lagi. Semenjak itu ia menjadi tawanan sang Dewaresi. Beberapa
kali sang Dewaresi mencoba membujuk dirinya agar menuruti kehendaknya.
Kehendak sang Dewaresi akan mengambilnya sebagai selir. Tetapi dengan teguh
hati ia menolak, karena cintanya telah tertanam kuat pada Sanjaya.


Sang Dewaresi tidak gampang putus asa. Sebagai seorang laki-laki yang sudah
ber-pengalaman, ia menggunakan akal. la kini bersikap keras. Anak buah dan
murid-murid-nya diperintahkan untuk mengancam dan menakut-nakuti. Meskipun
demikian, masih saja dia belum berhasil, Nuraini tetap kukuh. Akhirnya ia
menggunakan ilmu lunak.


Nuraini selalu dibawanya pergi berjalan. Di sepanjang jalan ia
memperlakukan Nuraini sebagai isteri utamanya. Apabila dia bersinggah pada
handai taulannya, selalu diperkenalkan dengan penuh hormat. Sekalian anak
buah dan murid-muridnya kini bersikap lain pula. Mereka melayani dengan
cermat dan menghormati. Ia sendiri bersikap manis dan berbudi. Karena
wajahnya memang tampan, sikapnya itu menambah perbawa keagungannya.


Pada waktu-waktu tertentu, ia membujuk kembali, merayu dan memaksa. Oleh
keuletan dan kesabarannya, akhirnya runtuhlah ben-teng Nuraini. Gadis itu
menyerah kalah.


Melihat keadaan Nuraini kini sudah berubah, diam-diam giranglah hatinya.
Seketika itu juga, ia meranjangkan penyergapannya. Pada suatu hari, ia
bermaksud pergi ke Bumi Gede atas undangan Pangeran Bumi Gede. Tak lupa
pula, Nuraini dibawanya serta. Begitulah, tatkala tiba di Dusun Sarasan
timbullah nafsu binatangnya. Segera ia menghardik beberapa pengikutnya agar
mendahului berjalan. Dia sendiri kemudian menyeret Nuraini menghampiri
lumbung desa. Pintu yang terpalang kenceng, didupaknya sampai terjeblak.
Itulah sebabnya, ketika Sangaji dan Titisari hendak memasuki lumbung,
pintunya dapat dibukanya dengan gampang. Mereka berdua menduga, bahwa
sebentar tadi pasti ada seseorang yang telah memasuki lumbung, pintunya
dapat dibukanya dengan gampang. Tetapi tak pernah mengira, bahwa orang itu
sesungguhnya sang Dewaresi. Demikianlah, maka Nuraini diperkosanya satu
malam suntuk. Tatkala laskar Pangeran Bumi Gede bertempur melawan laskar
Pangeran Ontowiryo, dia enak-enak menggerumuti mangsanya. Mendadak saja ia
mendengar Sangaji, Titisari dan Sanjaya memasuki lumbung. Cepat ia menyekap
Nuraini ke dalam salah sebuah peti yang cukup panjang. Kemudian ia
melarikan diri seperti anjing kena gebuk. Namun, ia hanya bersembunyi di
belakang rumpun bambu.


Keesokan harinya ia hendak menjemput mangsanya. Tetapi ia melihat Sanjaya
masih berada di dalam lumbung. Terpaksa ia mengurungkan niatnya. Bukan
karena takut kepada Sanjaya, tetapi ia enggan bermusuhan dengan anak
Pangeran Bumi Gede hanya karena perempuan yang tak begitu berarti baginya.
Untuk menghapuskan kesan, segera ia mencari pengikut-pengikutnya. Menjelag
siang hari ia lewat di depan lumbung itu dan berbicara dengan Sanjaya.
Mendengar bahwa Sangaji dan Titisari masih berada di sekitar dusun itu,
cepat-cepat ia


melarikan diri, mengingat ia pernah mengadu tenaga dan jeri terhadap gurunya.


Demikianlah, maka ia meninggalkan Desa Sasaran tanpa bisa membawa Nuraini.
Dengan begitu, tertolonglah Nuraini, sewaktu Sangaji bertiga lagi sibuk
mencari Pangeran Bumi Gede. Seumpama kasep setengah hari saja, pastilah
Nuraini telah mati lemas.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar