10.27.2019

@bende mataram@ Bagian 247

@bende mataram@
Bagian 247


Pangeran Bumi Gede seperti dapat menebak gejolak hatinya. Hati-hati ia
berkata seperti membujuk, "Sanjaya! Kita berdua pernah hidup bersama selama
tiga belas tahun. Aku menjadi ayahmu dan engkau menjadi anakku. Siapa yang
menjadikan demikian baik aku maupun engkau tak tahu. Di sana entah dilangit
entah di celah-celah bumi... Dialah yang menjadikan semua ini. Kini,
dengarkan! Sultan Hamengku Buwono II menjadi raja hanya mengingat
kepentingan diri sendiri. Karena itu dia memusuhi orang banyak, di antara
Gusti Patih Danureja II dan aku sendiri. Gusti Patih telah menyerahkan
kekuasaannya kepadaku. Karena itu, apabila beliau berhasil menumbangkan,
maka kebahagiaan kita tiada batasnya. Kita, aku berkata. Karena untuk apa
aku ini berjuang, selain untukmu. Engkau tahu sendiri, anakku hanyalah
engkau seorang. Karena itu di kemudian hari, semuanya adalah untukmu dan
ibumu."


Sanjaya telah lama mengerti, bahwa ayah-nya termasuk salah seorang anggota
perse-kutuan hendak menumbangkan kekuasaan raja. Kini ayahnya bahkan sudah
menunjukan sikap hidup terhadapnya. Karena itu, hatinya guncang. Kata-kata
kebahagiaan kita tiada batasnya terus saja mengiang-ngfang dalam
pendengarannya.


Pikirnya, dengan bantuan kompeni, ma-sakan Ayah tak mampu menumbangkan
kerajaan. Ayahpun cerdas, cermat dan pandai bekerja. Raja sekarang tak
mampu menandingi. Kalau Ayah sampai bisa naik tahta, bukankah aku menjadi
putera mah-kota? Dengan demikian, aku akan bisa mem-bahagiakan Ibu sebagai
balas jasa pende-ritaan hatinya.


Memperoleh pikiran demikian, darahnya berdesir. Tak sengaja lantas saja ia
memegang pergelangan tangan ayah angkatnya dengan keras. Kemudian berkata
seperti bersumpah, "Ayah! Anakmu akan membantu usaha Ayah dengan segenap
hati. Hal itu tak usah Ayah meragukan."


Pangeran Bumi Gede merasakan pegangan tangan Sanjaya. Hatinya girang dan
bersyukur. Terus saja berkata meyakinkan, "Aku seumpama Ki Ageng Pemanahan
dan engkau adalah Ngabehi Loreng Pasar )"!


Selagi Sanjaya hendak menyahut, seko-nyong-konyong terdengarlah suara
bergeresek di antara tumpukan peti kayu. la mengernyit-kan dahi. Jantungnya
berdegupan.


"Suara apa itu?" Bisiknya.


Pangeran Bumi Gede menoleh pula. Ia merenungi peti kayu "Rupanya ada
binatang tersekap di dalam-nya."


Mendengar jawaban ayah angkatnya, Sanjaya berlega hati. Tetapi kemudian
terde-ngarlah suara Sangaji dan Titisari lagi lewat di sisi lumbung. Mereka
membicarakan pula kancing emas Pangeran Bumi Gede.


Celaka! pikir Sanjaya. Kenapa tak kuketahui jatuhnya kancing Ayah. Segera
ia membisiki ayah angkatnya.


"Aku akan memancing mereka meninggalkan lumbung ini. Hendaklah Ayah
menero-bos ke sana lewat dinding." Setelah berbisik demikian, ia melompat
dan menghampiri pintu depan. Kemudian melesat ke arah barat.


Titisari yang bermata tajam melihat bayang-an berkelebat. Cepat ia memburu
sambil ber-teriak,


"Sangaji! Dia di sini!"


Ilmu lari Titisari cepat luar biasa berkat ajaran pendekar Gagak Seta.
Tetapi begitu sampai di ujung lumbung, bayangan itu tiada.


Sangaji pun sewaktu mendengar seruan Titisari, segera memburu pula sambil
ber-tanya, "Apakah dia?"


"Siapa lagi? Pastilah dia sudah bersembunyi di sini, semenjak kita mencari
ubek-ubekan di luar desa," sahut Titisari.


Mereka melemparkan pandang kepada rumpun bambu. Sewaktu hendak melompat ke
sana, tiba-tiba semak pohon bergoyangan.


Dan munculah Sanjaya dengan muka terbata-bata. Sangaji terkejut dan heran.


"Dimas Sanjaya! Kau datang dari mana? Apakah kau melihat Pangeran Bumi
Gede?" "Apakah dia berada di sini?" sahut Sanjaya keheran-heranan.


"Dia lewat di sini, sedang dikejar laskar Pangeran Ontowiryo," kata
Sangaji. "Agaknya dia bersembunyi di sekitar sini. Inilah kan-cingnya."


"Kancing? Kancing baju maksudmu. Ha... kalau begitu... mestinya berada tak
jauh di sini," sahut Sanjaya tinggi.


Titisari mengamat-amati Sanjaya. Ia curiga. Kemudian mencoba memancing,
"Kita berdua mencari engkau. Ke mana selama ini engkau pergi?"


Sanjaya berhati-hati menghadapi gadis ini. Tapi dasar cerdik, lantas saja
ia tertawa peringisan.


"Semenjak kemarin aku berada di luar rumah. Perutku membutuhkan peluang.
Karena itu aku pergi sebentar menjenguk su-ngai. Sayang di sini tiada
sungai yang cukup airnya. Terpaksa aku bertelur dalam gerombol pepohonan itu."


Titisari tak berkata lagi, tetapi hatinya tetap curiga kepadanya.


"Dimas! Inilah kesempatan yang bagus. Marilah kita cari," ajak Sangaji.


Jantung Sanjaya berdegupan. Pikirannya sibuk menduga-duga, apakah ayah
angkatnya sudah lolos dari lumbung atau belum. Tetapi ia pandai menenangkan
diri, agar tak nampak perubahan mukanya. Dengan mengendapkan kecemasannya
ia berkata, "Bagus! Dia datang mengantarkan nyawa. Ayo! Pergilah Kangmas
dan Nona Titisari ke timur dan aku akan men-cari mengitari dari barat!"


"Baik," sahut Sangaji. Terus saja dia pergi bersama Titisari mengitari
lumbung dari sisi timur. Tetapi mendadak Titisari berbalik kem-bali dan
berseru kepada Sanjaya.


"Biarlah aku bersamamu mencari dari sisi barat. Aku yakin dia berada di
sisi barat."


Mendengar seruan Titisari, Sanjaya kaget setengah mati. Rasa cemasnya
melambung sampai ke leher.


"Ayo! Cepat! Jangan sampai dia kabur!" Segera ia mendahului lari mengitari
sisi barat.


Di pojok belakang terdapat pintu butulan. ' Tanpa ragu-ragu ia mendorong.
Kemudian menggeledah di dalam di dekat tumpukan peti. Titisari mengikuti
dari belakang dan de-ngan cermat ia mengamat-amati gerak-gerik Sanjaya.


la melihat Sanjaya membongkar tumpukan peti dan onggokan keranjang. Malahan
bekas dinding-dinding keropos diperiksanya pula. Nampaknya ia
bersungguh-sungguh.


"Bagaimana?" seru Titisari.


"Sebentar!" sahut Sanjaya. Hatinya kini jadi girang, karena ayah angkatnya
ternyata tiada lagi. Maka dengan berani, ia mendepaki peti-peti dan
melemparkan onggokan keran-jang. Kemudian mulutnya seperti menyum-pahi.


"Hm... kau manusia licin seperti belut! Seperti iblis! Masakan kau mampu
meloloskan diri? Hm...
jangan mimpi."


Mendadak ia mendengar suara gemeresek. Cepat ia berteriak, "Suara apa itu?
Kangmas Sangaji, ke mari!"


Mendengar teriakan Sanjaya, Sangaji cepat menghampiri dengan hati girang.
Titisari pun tak terkecuali. Segera ia melompat meng-hadang pintu butulan.
Tetapi ia melihat dinding lumbung terbelah dari jepitannya. Segera otaknya
yang cerdik lantas saja dapat menebak.


"Saudara Sanjaya, tak usah engkau ber-girang. Siang-siang dia telah kabur.
Lihat!" Sambil menunjuk diding lumbung, ia tertawa kecil dan berlaku lagi.


"Tak usah engkau terlalu cermat mem-bongkari segala. Apa perlu membuat hati
kita berdebar-debar?"


Muka Sanjaya merah padam, karena merasa terbongkar rahasia hatinya.
Diam-diam ia mengutuk dan menyumpahi kalang kabut. Katanya gugup bercampur
mendongkol.


"Nona Titisari mengapa engkau berkata begitu kepadaku?"


Sangaji turut campur. Katanya menyabar-kan, "Titisari memang seorang gadis
yang nakal dan suka bergurau. Janganlah kata-katanya kau masukkan dalam
hati." Setelah berkata demikian, ia menunjuk ke lantai. Nampak sekali
kubangan abu bekas kena pantat. Katanya sambil menuding. "Ha... lihat!
Benar-benar dia pernah bersembunyi di sini."


"Lekas kejar!" perintah Titisari. Cepat ia berputar dan hendak mengejar.
Tiba-tiba ter-dengar suara gemeresek di dalam peti. Mereka bertiga terkejut.


Titisari seorang pemberani. Tetapi semenjak kanak-kanak takut pada suatu
bunyi di dalam peti atau tempat-tempat yang terbungkus. Maka segera ia
mendekati Sangaji sambil memegang tangan kekasihnya dengan erat-erat.
Sebaliknya Sangaji hidup lama di barat. Terhadap bunyi-bunyi aneh yang
menerbitkan angan-angan kepada setan atau iblis, sama sekali tabu baginya.
Maka dengan lapang ia berkata "Hm... jangan takut, Titisari. Paling-paling
binatang kena sekap."


"Hai! Jangan terpaku perkara tetek bengek! Lihat, dia lari ke sana!"
Sekonyong-konyong Sanjaya berteriak. Memang dia pintar luar biasa
menghilangkan rasa curiga. Segera ia melompat dan menerobos pintu butulan.
Tetapi Titisari tetap saja bercuriga kepadanya. Cepat sekali ia menjejak
tanah. Dan sekali melesat ia telah berhasil menyambar perge-langan tangan
Sanjaya.


"Hai! Kau mau apa?" Sanjaya terkejut. Ia kagum kepada kegesitan gadis itu.
Anehnya, begitu pergelangan tangannya kena tangkap, tenaganya seperti
terlolosi. Sama sekali tak diketahui, bahwa Titisari menggunakan ilmu
tangkap ajaran Gagak Seta yang rapih dan kuat luar biasa. Itulah sebabnya,
tak berani dia mencoba merenggut atau mengadakan perlawanan. Sebaliknya
cepat-cepat ia mene-nangkan hati dan menguasai diri.


"Kau mau apa?" katanya lagi.


"Aji! Bukalah peti itu!" perintah Titisari kepada Sangaji sambil tetap menerkam


pergelangan tangan Sanjaya. Dia menduga, bahwa Pangeran Bumi Gede
bersembunyi di dalamnya dan Sanjaya sengaja hendak memancingnya.


"Apakah si jahanam bersembunyi di dalam peti itu?" Sangaji menebak-nebak.
Titisari mengerling kepada Sanjaya hendak membaca kesan mukanya.


"Apa sebab engkau mengajak kita menero-bos ke luar?"


Gemetaran dan mendongkol hati Sanjaya kena ditikam Titisari dengan
pertanyaan itu. la mengibaskan tangan membebaskan diri dari cengkeraman.
Kemudian mengalihkan pandang kepada peti mati. Meskipun ia melihat dinding
lumbung terbuka, tetapi hatinya masih sangsi




apakah ayah angkatnya benar-benar sudah kabur dan tidak bersembunyi di
dalam peti itu. Maka berkatalah dia kepada Sangaji.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar