10.25.2019

@bende mataram@ Bagian 245

@bende mataram@
Bagian 245


"Ya, memang aku telah melakukan per-buatan yang bertentangan dengan
kepen-tingan kerajaan. Dan baru kuketahui, bahwa aku sesat di jalan."


"Bagus!" Sangaji memotong. "Kau telah sadar kembali, itulah yang
kuharap-harapkan. Tadi kulihat Pangeran Bumi Gede kena jebakan Pangeran
Ontowiryo. Aku akan membantu Pangeran Ontowiryo membunuh Pageran Bumi Gede.
Kau ikut tidak?"


Sanjaya tak segera menjawab. Teringatlah dia kepada budi pangeran itu yang
telah me-rawatnya semenjak kanak-kanak. Tetapi sebagai seorang pemuda yang
cerdik, tahulah ia membaca gejolak hati Sangaji. Maka berkatalah dia
memaksa diri, "Baik. Aku akan ikut padamu menuntut balas."


Mendengar jawaban Sanjaya, Sangaji girang amat. Segera ia berseru, "Dimas
Sanjaya, mudah-mudahan mulai detik ini kita bisa berikrar menjadi sahabat
sejati untuk mewujudkan harapan almarhum orang tua kita. Bagaimana pendapatmu?


"Itulah yang kuharapkan," sahut Sanjaya.


Mereka berdua kemudian berdiri Sangaji mencabut pedangnya dan mengurit
kulit pergelangan tangan. Perbuatannya ditirukan pula oleh Sanjaya.
Kemudian mereka me-nempelkan pergelangan mereka yang ber-darah seolah-olah
telah bertukar darah. Setelah itu, mereka mundur selangkah dan saling
membungkuk hormat. Sampai di sini, puaslah hati Sangaji. Segera ia
menggandeng Sanjaya dengan penuh perasaan. Waktu itu malam telah mendekati
fajar hari. Angin pegu-nungan mulai terasa menembus tulang. Oleh
kesibukannya tadi, mereka tak terasa telah melampaui malam panjang.


"Baiklah engkau menunggu di sini!" kata Sangaji. "Aku akan mencari di mana
kini Pangeran Bumi Gede berada. Kulihat, engkau perlu istirahat barang
sebentar."


Sanjaya mengangguk. Ia meberkata me-mang perlu beristirahat, karena sudah
ber-hari-hari berjalan tanpa berhenti. Katanya kemudian, "Hendaklah Kangmas
berhati-hati! Ayah angkatku mempunyai senjata berbisa!"


Sangaji bersyukur dalam hati, karena ter-nyata dia kini memperhatikan
dirinya. Segera ia berpamit dan terus mengajak Titisari meninggalkan
lumbung desa.


"Bagaimana pendapatmu tentang dia?" Sangaji bertanya kepada Titisari.
"Pendapatku pasti berbeda dengan penda-patmu. Mengapa kautanyakan?"


"Dia sudah bersedia mengikat persahabatan dengan saling menukar darah.
Bukankah menyenangkan?"


"Idih! Persahabatan adalah soal rasa. engkau telah menyakiti diri dan
menukar darah, kalau aku boleh bertanya, bagaimana sih, rasanya menukar darah?"


Ditanya demikian, Sangaji terbungkam, menukar darah memang tiada rasanya,
kecuali hati terasa menjadi terharu. Semenjak dahulu orang saling menukar
darah sebagai sumpah ikatan persahabatan sejati. Dan pemuda itu tanpa
berpikir terus saja berbuat menurut adat kebiasaan, sama sekali tak pernah
memikirkan segi rasa hakiki.


"Kau mengerti, aku tolol. Mengapa engkau mempersulit otakku?" Sangaji mengeluh.


"Aku hanya bertanya dan kewajibanmu hanya menjawab. Sekiranya tak pandai
men-jawab, masakan perlu memeras otak?"


"Karena engkau yang bertanya. Coba bukan engkau, masakan aku sudi mencoba
men-jawab."


"Benar begitu?" seru Titisari girang... "Baik! Sekarang aku bertanya
kepadamu: Kau selalu memperhatikan aku atau tidak?"


"Tentu! Apakah aku pernah melalaikanmu?"




"Mengapa kau tadi sudi berbicara, dengan sahabatmu begitu berkepanjangan
dan membiarkan aku digigit nyamuk? Apakah itu cara memperhatikan aku?"


Mau tak mau, hati Sangaji terkesiap karena pertanyaan itu. Oleh
pertemuannya dengan


Sanjaya tadi, hatinya terlalu sibuk dan sedang berdaya upaya hendak
mengembalikan kerukunannya seperti pesan ibunya. Itulah sebabnya, ia agak
lalai terhadap Titisari.


"Baiklah! Pertanyaanku tadi tak usah kau jawab, karena kau tadi lagi sibuk.
Sekarang pertanyaanku yang kedua," kata Titisari cepat. "Kau mau
mendengarkan atau tidak?"


"Tentu! Tentu!" Sangaji gugup.


"Kau sudi menggendong aku atau tidak?" "Mengapa tidak?" Sangaji heran.


"Kenapa kau tak sudi menggendong aku?" Titisari tertawa manis.


Sebentar Sangaji tercengang. Kemudian menyambar pinggang Titisari dan
digen-dongnya dengan hati gregetan. ' Tatkala sam-pai di jalan, si Willem
segera ditemukan. Titisari dinaikkan ke atas kudanya dan Sangaji terus saja
melompat ke atas Willem. Mereka kemudian mencari jejak Pangeran Bumi Gede
sampai matahari muncul di udara.


Mereka sampai di jalan besar. Jejak kaki kuda buyar sampai di sini. Dengan
hati-hati mereka melihat tapak kuda yang menjurus ke kiri menyeberang pagar
bambu. Segera mere-ka menjejak. Setelah berputar-putar, akhirnya hampir
mendekati desa tempat mereka semalam berada. Sekonyong-konyong mereka
mendengar tapak kuda berdetak tak jauh di depannya. Cepat-cepat mereka
memburu. Besar keinginan Titisari hendak mengetahui siapa penunggangnya. Di
luar dugaan, penunggangnya adalah Sanjaya.


"Aji!" bisik Titisari. "Nah, kau percaya tidak? Pertukaran darahmu semalam
apakah gunanya? Sahabatmu yang baik ternyata mengikuti kita semenjak tadi.
Mungkin pula telah mendahuli kita untuk mengk-isiki ayah angkatnya. Aku
yakin, bahwa dia telah mengetahui di mana ayah angkatnya berada dengan
tanda- tanda pengenal tertentu."


Sangaji heran pula menyaksikan kenyataan itu. Sanjaya tadi menyatakan,
bahwa dirinya perlu beristirahat. Tetapi nyatanya, dia nampak segar bugar.
Dasar hatinya mulia, ia mau menduga bahwa Sanjaya mempunyai alasan lain.
Katanya mencoba menebak, "Barangkali dia mengetahui tempat persembunyian
ayah angkatnya dan mencoba mengejar kita untuk memberi tahu."


"Masakan begitu?" bantah Titisari.


"Dia memperhatikan keselamatanku de-ngan memperingatkan tentang senjata
pemunah ayah angkatnya. Bukankah engkau mendengar juga?"


"Hm... sekiranya benar begitu, mengapa dia datang terlebih dahulu pada
tempat bekas pertempuran?"


Alasan Titisari masuk akal pula. Pemuda itu lantas saja sibuk menduga-duga.
Sekonyong-konyong ia melihat Sanjaya melompat dari kudanya. Dan di sana
berdiri sang Dewaresi yang terus saja berbicara dengan sibuk.


Cepat Sangaji dan Titisari menyelinap ke rumpun bambu dan mengintip dengan
hati-hati. Mereka ingin mendengar pembicaraannya, tetapi tak berani
mendekat. Maklumlah, mereka mengenal kehebatan sang Dewaresi. Apabila
kurang berhati-hati sedikit saja, pasti akan ketahuan. Itulah sebabnya
mereka hanya mendengar sang Dewaresi mengucapkan kata-kata, "Pusaka wasiat,
dan menyebutkan padepokan Gunung Damar Ambarawa dan hati-hati." Sedangkan
Sanjaya mengucapkan kata-kata, "Ayahku, Ontowiryo dan di sini." Setelah
itu, sang Dewaresi memanggut memberi hormat kemudian menuju ke utara
bersama beberapa pengikutnya.


Sebentar Sanjaya mengawaskan kepergian-nya dengan tertegun-tegun. Lalu
menarik napas panjang dan terus melompati kudanya.


"Dimas Sanjaya!" seru Sangaji dan terus saja keluar dari balik rumpun
bambu. "Aku berada di sini."


Sanjaya terkejut. Tetapi segera menyong-song sambil berseru girang,
"Kangmas Sangaji, kau di sini? Pantas kucari ke mana-mana tak ketemu."


"Aku berada bersama Titisari. Aku pernah mendapat kesulitan dengan sang
Dewaresi. Apakah engkau juga?"


Mendengar kata-kata Sangaji, muka San-jaya menjadi merah karena terkesiap
darahnya. Tetapi Sangaji tak mengetahui, karena tak menduga buruk kepadanya.


"Kangmas Sangaji! Apakah kau sudah me-nemukan jejak musuh kita?"
Cepat-cepat Sanjaya mengalihkan pembicaraan. Kemu-dian kepada Titisari,
"Nona pun mempunyai dendam pula kepadanya?"


"Mestinya akulah yang bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar hendak
menuntut balas?" sahut Titisari.


"Ha... mengapa soal itu dibicarakan lagi? Bukankah sudah terang?" Sangaji
menengahi dengan tertawa panjang.


"Mari kita kembali ke lumbung desa untuk beristirahat. Lumbung itu cukup
untuk di-masuki dua rumah. Agaknya penduduk sini hidup makmur sehingga
memerlukan lum-bung yang sebesar itu."


Sanjaya menurut dan mereka kembali ke lumbung desa. Sekarang mereka
melihat, bahwa lumbung itu berbentuk persegi. Dan benar kata-kata Sangaji,
bahwa lumbung itu mampu dimasuki dua buah rumah. Lumbung itu ternyata
kosong melompong. Hanya di pojok sana terdapat onggokan bekas keran-jang,
tumpukan peti dan dinding kulit bambu. Dan di atas bergelantungan beberapa
lonjor bambu kering, papan kayu dan tali.


Seluruh lumbung itu terbuat dari dinding bambu. Tanahnya kering, meskipun
bukan lantai. Sangaji segera mencari bekas dinding kulit bambu yang telah
kotor kena abu, kemu-dian digelar menjadi dua bagian. Sebagian untuk tidur
Titisari dan yang lain dia bersama Sanjaya.


Hawa pegunungan terasa sangat nyaman. Sebentar saja mereka telah tertidur
nyenyak. Kira-kira menjelang tengah hari, mereka mendengar suara gemertak
kaki-kaki kuda. Lantas saja mereka bangun dan menajamkan pendengaran.
Terang sekali, jumlahnya bukan hanya seekor dua ekor. Tetapi rombongan
berkuda entah berapa jumlahnya. "Yang didepan tiga orang. Mereka sedang
dikejar dari belakang." kata Titisari.


"Mari kita lihat!" seru Sangaji dan pemuda itu terus saja melompat ke pintu.


Tatkala sampai di luar, yang nampak hanyalah serombongan laskar berkuda
berjumlah tujuh orang. Melihat Sangaji dan Titisari, mereka lantas saja
berhenti. Ternyata yang memimpin laskar berkuda tersebut adalah orang yang
semalam mengkerubut Sanjaya. Orang itu segera mengenal Sangaji. Terus saja
berseru, "Gus! Apakah sudah berhasil menangkap anak pemberontak?"


"Siapa? Pangeran Bumi Gede?" sahut Sangaji.


"Bukan! Yang semalam kau lawan." Maksudnya Sanjaya.


Lalu meneruskan, "Hari ini kita lagi menge-jar si setan Pangeran Bumi Gede
bersama dua orang begundalnya. Dua orang begundalnya telah kena panah.
Tinggal dia seorang yang masih segar bugar. Kau tahu ke arah mana larinya?"


Mendengar keterangan pemimpin laskar itu, Sangaji amat girang. Terus saja
berseru kepa-da Titisari, "Pangeran Bumi Gede berada di sini. Mari kita
cari!" Lalu memanggil sahabat-nya, "Dimas Sanjaya! Pangeran Bumi Gede
bersembunyi di sini! Ayo kita cari!"




Titisari menghampiri. Tapi suara Sanjaya tak kedengaran. Bahkan orangnya
tak nampak pula. Sangaji jadi heran.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar