10.28.2019

@bende mataram@ Bagian 250

@bende mataram@
Bagian 250


Sangaji tak pandai menjawab dengan cepat, ia seperti kebingungan.


"Sekiranya dia membutuhkan benar dan engkau tak keberatan, apakah buruknya
meminjami?"


"Tapi cundrik itu bertabiat jahat. Pernah kuancamkan dia," ujar titisari.
Ia seperti telah memperoleh firasat buruk.


Sangaji tak mengerti tentang cundrik dan kisah penodongan. Karena itu, tak
tahu dia menjawab. Selagi ia tergugu Titisari berkata kepada Nuraini, "Kau
ingin pinjam cundrikku? tak berani aku meminjami. Tetapi kalau engkau ingin
memiliki, akan kuberikan dengan lapang hati. Aji menyetujui pula. Hai!
Apakah engkau benar-benar sampai hati hendak mem-bunuh kekasihmu?"


Nuraini tersenyum pahit. Ia segera meneri-ma cundrik Titisari sambil
berkata, "Tadi aku telah bertengkar hebat dan aku dituduh kehi-langan
kesucianku."


"Karena aku kena tawan, kena peluk, kena cium dan kena raba!" potong
Titisari. Nuraini tertawa melalui dada. Kemudian beralih kepada Sangaji.


"Kangmas Sangaji! Tak perlu lagi engkau ke Bumi Gede hendak mencari
pangeran jahanam pembunuh ayah dan pamanmu." Dia telah mendengar kabar dari
Sanjaya tentang maksudmu hendak membalas dendam. Kalaudia sudah mempunyai
maksud hendak bersembunyi sambil pula mempersiapkan diri untuk
menghadapimu, tidaklah mudah engkau menemukan. Mungkin dia bisa ke Jawa
Timur. Mungkin pula ke Jawa Barat. Agaknya dia takut padamu... Karena itu
lebih baik Kangmas Sangaji mencarinya dengan perlahan-lahan sambil
mengurusi adik Titisari. Kalian berdua bernasib jauh lebih baik dari padaku...


la berdiam berenung-renung. Kemudian tersenyum mengejek dirinya sendiri.
Mendadak saja ia menjejak tanah dan melesat keluar pintu butulan sambil
membawa cundrik Titisari.


"Kak Nuraini! Kau mau ke mana?" teriak Titisari sambil memburunya.


Mendengar seru Titisari, Nuraini seperti berbimbang-bimbang di dekat sebuah
pohon johar ia berhenti. Tangannya menarik cundrik tinggi-tinggi kemudian
bergerak hendak menikam diri.


"Kak Nuraini! Jangan!" Titisari berteriak cemas.


Sudah barang tentu gadis itu tak dapat mencegah maksud Nuraini hendak bunuh
diri. Jarak antara keduanya agak jauh.


"Aji! Cegahlah dia!" Titisari menjerit lagi.


Sangaji sendiri waktu itu tertegun seperti kehilangan pikiran. Melihat
Nuraini melesat pergi dengan mendadak, ia heran dan tak tahu apa yang harus
dilakukan. Tiba-tiba melihat Nuraini mencabut cundrik. Dan ia tersadar,
karena terkejut. Cepat ia meloncat memburu. Tetapi jaraknya pun cukup jauh.


Ternyata Nuraini tak menikam dadanya. Ia hanya memangkas rambutnya sebatas
kuduk. Kemudian melesat lagi entah ke mana tujuan-nya.


"Kak Nuraini! Kak Nurani!" jerit Titisari masih memburu. Ia kaget tatkala
dahinya hampir kesamplok potongan rambut yang beterbangan. Ia
tertegun-tegun dan dengan hati mendelong mengawaskan kepergian Nuraini yang
nampak kian jauh dan jauh.


Semenjak kanak-kanak Titisari hidup senang. Meskipun telah kehilangan
ibunya, tetapi ayahnya sangat memanjakan. Apa yang diinginkan tak pernah
tak terkabulkan. Karena itu belum pernah ia merasakan suatu duka cita
menggigit kalbunya. Kalau ingin tertawa, tertawalah dia sepuas-puasnya.
Sebaliknya apabila ingin menangis, maka menangislah dia tiada hentinya.


Kini ia menyaksikan suatu peristiwa hebat yang berkesan mengerikan hatinya.
Bagi se-orang wanita, rambut merupakan suatu pelengkap tubuh yang paling
berharga. Pada zaman itu,




bahkan laki-Iakipun memelihara rambut sepanjang mungkin, seolah-olah suatu
mustika yang menentukan harga diri. Karena itu perbuatan Nuraini memangkas
rambutnya adalah suatu kejadian yang baru untuk pertama kali itu ia
saksikan. Karuan saja ia terkejut dan terharu bukan main. Sebagai sesama
wanita, dapatlah ia merasakan betapa besar penanggungan Nuraini. Kalau
tidak, masakan sampai berbuat demikian.


Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya. Dengan berkaca-kaca ia menatap Sangaji
yang tertegun pula bagaikan tugu. Dengan penuh haru ia berbisik, "Kak
Nuraini telah kehilangan kecantikannya... Apalah artinya seorang gadis
tiada berambut lagi? ... Aji, tahukah engkau mengapa dia berbuat demikian?
Hatinya begitu keras..."


Sangaji terkunci mulutnya. Ia merenungi Titisari dengan berbagai perasaan.
Tiba-tiba Titisari lari padanya dan menjatuhkan kepalanya di atas dadanya.
Bisik gadis itu di atas dadanya.


"Aji! Aku takut! Entah apa sebabnya... aku takut..."


Tak terasa Sangaji mengusap-usap rambut Titisari seolah-olah lagi
membesarkan hatinya. Tetapi mulutnya tetap terbungkam.


"Aji!" panggil si gadis.


"Ya?" Sangaji menyahut pendek.


"Dia tadi berkata padaku, dia pernah dirangkul, diciumi dan diraba
Dewaresi. Lantas Sanjaya menuduh dirinya kehilangan kesucian? Masakan
seorang perempuan kehi-langan kesuciannya, karena dirangkul, dicium dan
diraba belaka? Apakah kesucian takut kepada rangkulan, ciuman dan rabaan?
... Katanya, kalau seorang gadis kehilangan kesuciannya, hilanglah
kehormatannya pula. Masakan begitu? Apakah dia lantas nampak hina dalam
mata laki-laki? Ih, laki-laki sok berkepala besar." Ia berhenti sebentar
me-meras otak mencoba mengerti. "Aku sekarang kau usap-usap... kau
rangkul... kau raba... hanya belum kau ... apakah aku sudah kehi-langan
kesucianku? Aji! Apakah engkau lantas memandang hina padaku? Apakah aku
kini telah kehilangan kehormatanku? ... Aji! Apa-kah begitu?"


Titisari adalah seorang gadis lagi menanjak umur 17 tahun. Masalah demikian
masih asing baginya, karena keadaan keluarganya. Sebaliknya, meskipun umur
Sangaji dua tahun lebih tua, sesungguhnya ia masih goblok juga mengenai
urusan demikian. Tetapi kodrat naluriahnya, samar-samar seperti mengerti.
Maklumlah, dia telah menjadi akil-balig. Hanya saja, tak tahu bagaimana
harus menerangkan dan mengucapkan.


Karena tak memperoleh jawaban, gadis itu seperti kehilangan semangat.
Seluruh tubuh-nya terasa menjadi lelah. Dengan berdiam diri ia mengajak
Sangaji kembali ke lumbung. Kemudian tertidur pulas di samping pemuda itu
dengan pikiran penuh.


Keesokan harinya, ia bangun dengan hati segar bugar. Kesan kemarin hari,
hilang lenyap seperti awan tersapu angin. Sebaliknya Sangaji nampak kuyu.
Satu malam penuh ia susah menidurkan diri. Kecuali berbagai kesan tentang
Pangeran Bumi Gede, Sanjaya dan Nuraini, teringatlah dia kepada gurunya.
Dalam pendengarannya ia seolah-olah mendengarkan gurunya. Merintih dan
memanggil padanya dengan gigi bergemeretakan. Itulah sebabnya, begitu
melihat Titisari telah bangun, segera ia mengajak memburu Pangeran Bumi Gede.


"Peduli amat dengan Pangeran Bumi Gede!" kata Titisari menggerutui.
"Biarkan dia berse-nang-senang dahulu. Diam-diam kita meng-amat-amati dari
jauh."


"Tapi aku harus menuntut dendam guruku," sahut Sangaji dengan hati
terbakar. "Eh, apakah benar-benar Pangeran Bumi Gede yang menjebak gurumu?"


Memperoleh pertanyaan demikian, pemuda itu tergugu. Memang dia belum
mendapat pegangan. Hanya saja dia harus berkata.


"Titisari! Budi guruku setinggi langit dan sebesar gunung. Barangkali
engkau belum dapat merasakan apa yang bergolak dalam diriku."




"Bagus!" sahut Titisari cepat. "Masakan engkau tahu pula apa yang bergolak
dalam diriku? Semenjak kanak-kanak aku di-besarkan ayahku. Tetapi begitu
kenal padamu, tak betah aku berdiam terlalu lama di samping Ayah. Kau tahu
apa yang bergolak dalam diriku?"


Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji terdiam. Dasar ia tak pandai
berbicara dan semenjak lama telah merasa takluk pada kepandaian Titisari,
maka dia seperti botol ter-sumbat gabus.


"Titisari! Hal itu meskipun tak dapat kuba-ca... ya, hal itu meskipun dapat
kurasakan, sedapat mungkin harus kita pisahkan. Ini mengenai guru dan
murid. Guru seolah-olah bagian hidupku sendiri."


"Hm... kalau engkau membiarkan dirimu sendiri menjadi bagian hidupnya
gurumu, apakah aku tak boleh membiarkan diriku menjadi bagian hidupmu?"
potong Titisari. Dan Sangaji menjadi terharu bukan main. Terus saja ia
memeluknya.


Titisari membiarkan dirinya dipeluk. Terasa dalam dirinya, hatinya jadi
aman. Kemudian berkata lembut, "Mari kita berangkat mencari musuhmu. Kau
mandi tidak?"


Terus saja mereka mencari sungai. Dan setelah mandi, berangkatlah mereka
meng-arah ke selatan. Mendadak saja, teringatlah Sangaji kepada janjinya
hendak menghadap Adipati Surengpati.


"Titisari! Bagaimana pendapatmu, kalau aku menyeberang ke Karimunjawa?"
ujarnya.


Titisari terkejut mendengar ujarnya. Sekilas berubahlah wajahnya, kemudian
berkata agak gugup, "Apa kamu mencari mati?"


"Mati adalah soal takdir, kata guruku. Tapi aku telah berjanji kepada
ayahmu. Kau bilang sendiri, ayahmu seorang yang menepati janji.


Sekiranya aku tak datang, pastilah dia akan mencari aku. Kalau aku sampai
diketemukan, di manakah aku harus menaruhkan mukaku?"


Titisari tahu, janji merupakan suatu kehor-matan bagi laki-laki. la
mengenal watak ayah-nya yang tinggi hati, keras kepala dan bengis.
Sebaliknya apabila Sangaji menemui dia masakan akan dibiarkan berlalu
dengan sela-mat? Sangaji bukan tandingannya. Dan ia takkan membiarkan
Sangaji menerima nasib-nya. Kalau sampai mati, diapun enggan hidup lagi.
Sedangkan dia masih ingin hidup lebih lama lagi, agar bisa bergaul lebih
rapat dengan pemuda itu.


"Aji! Kau tak boleh berangkat menemui Ayah," bisiknya gelisah.


"Lantas? Apakah kau menginginkan aku agar menjadi seorang yang tak tahu
menepati janji?"


Hati Titisari pepat, dan adalah wajar bila-mana seseorang merasa terdorong
ke pojok ia mencoba mencari pegangan lain. Maka teringatlah dia kepada
Gagak Seta. Pikirnya, sekiranya Paman Gagak Seta berada di sini, tak
usahlah aku khawatir. Mustahil ia akan membiarkan muridnya terbunuh.
Meskipun belum tentu menang melawan Ayah, tapi nyawa Sangaji pasti selamat.


Tetapi di manakah dia harus mencari Gagak Seta! Ia jadi kehilangan harapan.
Terus saja ia merintih dalam hati mengingat kekejaman ayahnya. Mendadak
saja terkenanglah dia kepada ibunya yang telah lama meninggal dunia.
Sekiranya ibunya ada, tak perlu ia takut menghadapi ayahnya. Tak terasa
terlocatlah perkataannya.


"Aji! Ayo kita mencari Ibu dahulu."


Mendengar ucapan Titisari, Sangaji heran sampai tercengang-cengang.
Bertanya mene-bak-nebak, "Kau bilang apa?"


Titisari tersentak sadar. Sekonyong-konyong wajahnya berseri-seri. Setengah
memekik, "Ibuku salah seorang keturunan raja. Dia dikebumikan di lmogiri.
Ayo kita menengok Ibu! Sekiranya Ayah menyusulmu, bukankah ada alasannya
yang kuat?"


Sangaji mengerenyitkan dahi. Tak tahu ia menebak maksud gadis itu.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar