@bende mataram@
Bagian 224
"Engkau jauh terpisah dariku, masa menunggu sampai ada keputusanku? Eh,
masa Kasan Kesambi mempunyai murid yang tak dapat mengambil keputusan
dengan cepat?"
Wirapati lantas berlutut. Berkata lagi, "murid siswa adalah seorang pemuda
sederhana. Dia seorang anak petani dan tiada berpendidikan..."
"Ih, apa bedanya? Biarpun seorang petani, bukankah manusia juga? Gurumu ini
kaukira berasal dari mana? Gurumu ini dilahirkan di gunung dan selamanya
menjadi orang gunung. Janganlah engkau bermodal pikiran terlalu sempit.
Andaikata muridmu seorang yang tumpul otaknya, apakah celanya. Yang penting
ialah dasar hatinya. Suatu kepandaian bisa dicari dan dipelajari, tetapi
dasar hati adalah suatu pembawaan."
Diam-diam Wirapati bergembira mendengar ucapan gurunya. Memang ia sengaja
meren-dahkan diri untuk memperoleh pandangan gurunya. Begitu ia mendengar
tiap-tiap kata gurunya, masih ia mencoba, "Tetapi Guru murid siswa,
tidaklah hanya siswa seorang. Dia pun murid Jaga Saradenta. Anak murid
almarhum Kyai Haji Lukman Hakim. Dan akhir-akhir ini menerima ajaran ilmu
sakti dari seorang tokoh liar Gagak Seta..."
"Apa kauhilang? Gagak Seta seorang tokoh liar?" damprat Kyai Kasan Kesambi,
"Eh, me-ngapa pikiranmu mendadak menjadi sempit? Memandang rendah martabat
seseorang merupakan suatu kesalahan terkutuk. Liar, sesat dan benar suci
adalah surut berlalu. Semua tidak tetap dan tergantung kepada kebutuhan
seseorang semata. Seseorang yang tadinya terkenal suci dan suatu kali
berlaku sesat, dia sekaligus menjadi seorang yang ter-sesat. Sebaliknya,
meskipun dia terkenal liar tetapi berbuat kebajikan, dialah seorang
laki-laki sejati."
Kali ini Wirapati benar-benar girang bukan kepalang. Menurut lazim, seorang
guru merasa kehormatannya tersinggung apabila muridnya tiba-tiba mengangkat
guru lain. Bahkan tiada jarang, muridnya disuruh membunuh diri dengan
istilah mengembalikan sekalian ilmu yang pernah diberikan. Tetapi Kyai
Kasan Kesambi seorang tokoh maha besar pada zaman itu, ternyata mempunyai
pendirian hati yang benar-benar luas dan tak terperikan. Tidak hanya ia
memaklumi, bahkan segera menyuruh Wirapati bangkit berdiri sambil berkata:
"Cucu muridku menjadi muridnya pula, anak murid almarhum sahabatku Kyai
Haji Lukman Hakim adalah suatu karunia yang menggembirakan. Sama sekali tak
terduga, bahwa sebagian kecil ilmu saktinya bisa bergabung pada tubuh cucu
murid Kasan Kesambi. Coba seumpama ia bisa bangun dari liang kuburnya,
pasti ia akan menutup kembali matanya dengan aman tentram. Dan pendekar
sakti Gagak Seta, sudah lama aku kenal dirinya. Aku pun kagum kepada ilmu
saktinya. Orangnya jujur pula, hanya tabiatnya aneh. Dia seperti burung
rajawali yang datang pergi sesuka hatinya sendiri. Meskipun sepak
terjangnya aneh, tetapi ia bukanlah manusia bermartabat rendah. Orang
seperti dia, boleh menjadi sahabat sehidup semati."
Diam-diam Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat
berpenda-pat,
bahwa gurunya benar-benar amat kasih kepada Wirapati. Sampai-sampai
meskipun lagak-lagu Gagak Seta berkesan liar menurut tata pergaulan lumrah
dan merupakan momok yang sangat ditakuti orang, dipujinya serta dia pun
bersedia mengangkat sahabat sehidup-semati.
Kyai Kasan Kesambi terus saja memerintah-kan memanggil Sangaji. Waktu itu
Sangaji baru saja pulang mandi dari sungai yang mengalir melingkari
padepokan. Begitu mendengar dipanggil kakek gurunya, segera lari memasuki
rumah dengan gugup. Di ruang tengah, ia melihat keempat paman dan gurunya
duduk menghadap meja panjang dengan santapan pagi. Dan tepat menghadap
padanya, matanya tertumbuk pada seorang laki-laki berambut dan berkumis
putih. Raut mukanya bersih bening dan perawakan tubuhnya tegap tinggi.
Dialah Kyai Kasan Kesambi yang menyambut kedatangannya dengan pandang berseri.
"Suatu kesatuan tenaga yang dahsyat," kata Kyai Kasan Kesambi. "Hanya saja
kurang la-tihan sehingga belum bisa menyelaraskan dan menserasikan. Cucuku,
siapakah namamu? Bolehkah aku mengenal namamu?"
Suara Kyai Kasan Kesambi diucapkan de-ngan lembut seperti berbisik. Tetapi
tiap-tiap kata seolah-olah dapat menembus tulang sumsum. Hal itu
membuktikan, bahwa per-bawa Kyai Kasan Kesambi luar biasa kuat. Tenaga
gendamnya susah diukur lagi atau dijajaki. Sangaji pernah bertemu dengan
dua orang tokoh lainnya yang kedudukannya se-tingkat dengan Kyai Kasan
Kesambi. Yang pertama, pendekar sakti Gagak Seta. Yang kedua ayah Titisari,
Adipati Surengpati. Terhadap kedua orang sakti itu, dia mempu-nyai
kesan-kesan tertentu.
Pribadi Gagak Seta, berkesan semberono dan agak liar. Tetapi penuh dengan
pengucap-an seorang ksatria sejati. Tabiatnya aneh. Susah diraba dan susah
pula dilayani. Meskipun demikian hatinya terbuka dan bukan merupakan
seorang ksatria yang angkuh dan sombong. Berbeda dengan kesan Adipati
Surengpati. Ksatria itu mempunyai perbawa menakutkan. Sepak terjangnya
liar, galak dan bengis, la mudah tersinggung dan bisa mengambil keputusan
tanpa dipikirkan panjang lagi. Sebaliknya, terhadap Kyai Kasan
Kesambi—Sangaji mempunyai kesan lain dari-pada mereka berdua. Orang tua itu
benar-benar memancarkan rasa suci. Perbawanya sejuk menentramkan hati.
Matanya bercahaya seolah-olah emoh terlibat oleh suatu duka cita. Terhadap
sarwa benda yang dilihatnya terasa sekali betapa dia selalu memantulkan
rasa kasih sayang. Maka pantaslah, murid-muridnya terkenal sebagai
ksatria-ksatria luhur budi dan agung.
"Cucu murid bernama Sangaji. Dengan ini menghaturkan sembah," terus saja
Sangaji berlari memeluk kedua betisnya.
Menyaksikan betapa Sangaji menghaturkan sembah dengan hati
setulus-tulusnya, hati Kyai Kasan Kesambi runtuh seketika itu juga. Dengan
penuh kasih sayang ia membangun-kan seraya berkata, "namamu Sangaji?
Alang-kah bagus nama itu. Sangaji dari asal kata Sang Aji. Aji adalah ratu.
Karena itu, hatimu harus pula secemerlang mustika ratu."
Kena raba Kyai Kasan Kesambi, Sangaji ter-peranjat. Pada saat itu, seluruh
tubuhnya mendadak terasa hangat segar. Suatu hawa hangat menyusup lewat
ketiaknya dan terus berputaran meraba urat-uratnya. Tahulah ia, bahwa orang
tua itu diam-diam menolong menyempurnakan tata peredaran darahnya yang
masih saja merupakan penghalang besar apabila sedang menghimpun tenaga
lewat napas. Beberapa saat kemudian, setelah dia tegak berdiri, Kyai Kasan
Kesambi berkata setengah heran.
"Hebat! Darimanakah engkau memperoleh tenaga murni sebagus ini?"
Tanpa segan-segan lagi Sangaji terus saja menuturkan perjalanan hidupnya
mulai berte-mu dengan Wirapati sampai memperoleh petunjuk-petunjuk dari Ki
Tujungbiru dan mendapat warisan ilmu Kumayan Jati dari Gagak Seta. Hanya
pengalamannya terhadap Adipati Surengpati, sama sekali ia tak menyinggungnya.
"Hm," dengus Kyai Kasan Kesambi sambil mengurut-urut jenggotnya. "Petunjuk
ksatrian
Banteng itu tidaklah buruk. Apabila engkau benar-benar menekuni ajarannya
tata laku bersemadi akan besar faedahnya." la berhenti seperti lagi
menimbang-nimbang. Tadi tatkala dia merasukkan hawa murni ke dalam tubuh si
anak, ia mendapat perlawanan hebat sampai tangannya tergetar. Diam-diam ia
mencoba menebak teka-teki itu. Bertanyalah dia mencoba, "Kecuali mereka
berdua, pernahkah engkau memperoleh sesuatu ilmu dari seseorang yang
sifatnya menghisap?"
Memperoleh pertanyaan itu, mendadak saja teringatlah Sangaji kepada daya
sakti getah pohon Dewadaru. Maka berceritalah dia seje-las-jelasnya tentang
pengalamannya yang aneh. Mendengar pengalaman Sangaji, seka-lian murid Kyai
Kasan Kesambi kecuali Wi-rapati jadi sibuk memperbincangkan. Ternyata Kyai
Kasan Kesambi tiada asing akan kesak-tian pohon tersebut. Meskipun belum
pernah melihat, tetapi sebagai seorang mahaguru yang berpengetahuan luas,
dia bisa mene-rangkan dengan sejelas-jelasnya. Bahkan lebih jelas daripada
keterangan Sangaji atau Ki Tunjungbiru sendiri.
Tengah mereka berbicara sambil bersantap, masuklah seorang cantrik dengan
tergesa-gesa.
"Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegoro I dan Kanjeng Pangeran
Arya Ngabehi mengirimkan serombongan utusan untuk menghaturkan oleh-oleh
kepada sang Panembahan," katanya.
"Aha, apakah sudah waktunya aku meneri-ma segala hadiah istana untuk hari
ulang tahunku yang kedelapan puluh tiga?" sahut Kyai Kasan Kesambi dengan
tertawa. "Gagak Handaka, cobalah lihat macam pesalin apakah yang
dihadiahkan kepadaku!"
Segera Gagak Handaka mengundurkan diri dari meja bersantap dan bergegas ke
paseban. Suryaningrat yang masih berbau kanak-kanak, ikut pula sibuk. Terus
saja dia mengikuti kakaknya seperguruan yang tua.
"Eh! Bukankah mereka utusan dari putera-putera almarhum Sultan Hamengku
Buwo-no I?" tegur Ranggajaya. "Apakah mungkin pula ada sebuah pesanan dari
bakal mertua Kanjeng Pangeran Panular?"
Mendengar godaan Ranggajaya, kecuali Sangaji semuanya jadi tertawa
berbareng. Muka Suryaningrat merah padam. Meskipun demikian tetap saja dia
mengikuti Gagak Handaka menjenguk paseban.
Terlihatlah di paseban dua orang laki-laki bermuka buruk berdiri tegak
bagaikan patung. Di belakangnya berdiri pula sekelompok pengiring kurang
lebih berjumlah sepuluh orang. Mereka semuanya mengenakan pakaian prajurit,
kecuali dua orang tersebut.
"Terimalah hormat hamba yang rendah. Hamba berdua bernama Kasan dan Kusen.
Dengan ini menghaturkan sembah kepada ksatria Wirapati yang telah pulang
dengan selamat." Gagak Handaka dan Suryaningrat heran mendengar bunyi
kata-kata mereka.
Menghaturkan sembah kepada Wirapati yang baru saja pulang? Meskipun
demikian, mereka berdua lantas saja membalas hormat sambil mempersilakan duduk.
"Masuklah!" kata Gagak Handaka kemu-dian. Diam-diam ia mulai memperhatikan
keadaan mereka berdua. Benarkah mereka bernama Kasan Kusen? Kasan-Kusen
adalah nama dua ksatria pada zaman Majapahit. Biasanya nama itu dikenakan
oleh dua orang saudara sekandung yang kembar. Melihat tampang mukanya, sama
sekali mereka jauh berbeda. Terang sekali, mereka bukanlah saudara
sekandung. Yang bernama Kasan, bentuk wajahnya mirip telur itik. Keningnya
terdapat bekas luka sangat panjang sampai mencapai tepi mulut. Hidungnya
gede dan bermulut lebar, sedangkan yang bernama Kusen mempunyai potongan
muka bulat. Kedua pipinya melembung dan penuh ben-tong-bentong bekas
penyakit cacar. Alis dan bibirnya tebal. Melihat kesan muka berdua,
masing-masing berusia lebih dari 50 tahun.
"Tuan berdua datang bukankah atas nama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom
Amangkunegara 1 dan Kanjeng Pangeran Arya Ngabehi? Bagaimana keadaan beliau
berdua?
Sebenarnya guru kami, tidak berani menerima bingkisan dari keluarga raja.
Betul leluhur beliau berdua adalah sahabat karib guru kami, tetapi
kedudukan masing-masing jauh berbeda," kata Gagak Handaka merendah.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar