10.02.2019

@bende mataram@ Bagian 220

@bende mataram@
Bagian 220


"Eh, mengapa mereka bisa-bisa berada di sini?" Wirapati menegas.


"Katanya anak Pangeran Bumi Gede terluka. Mereka minta pertanggungan
jawab," kata Suryaningrat dengan tertawa. "Kangmas Wirapati! Semenjak
engkau meninggalkan perguruan, kita seringkali dibuat sibuk oleh
tetamu-tetamu yang kurang terang asal-usul-nya. Tetapi kebanyakan mereka
cepat-cepat mengundurkan diri apabila telah berhadapan dengan Kangmas Gagak
Handaka. Barangkali mereka segan, berhadapan dengan pribadi Kangmas Gagak
Handaka."


"Mengapa tidak?" sahut Wirapati cepat.


"Pribadi Kangmas Gagak Handaka seperti Sultan Agung. Tenang penuh perwira."


Setelah berkata demikian, timbullah rasa rindunya kepada kakaknya
seperguruan yang tertua itu. Maka ia mengintip dari belakang sintru ).
Dilihatnya Gagak Handaka dan Ranggajaya sedang menghadapi keempat tamunya.
Gagak Handaka mengenakan jubah pertapaan. Meksipun dia bukanlah seorang
pendeta, tetapi dandanannya sedang meniru gurunya. Dia kini sudah nampak
sebagai seorang ayah. Wajahnya bercahaya tenang dan sabar seperti
sediakala. Hanya saja, rambut pelipisnya sudah memutih. Perawakan tubuhnya
agak kegemuk-gemukan. Namun tetap gagah perkasa. Sedangkan Ranggajaya tetap
seperti dahulu. Perawakan tubuhnya tinggi tipis. Bulu jenggotnya hampir
memenuhi mukanya sehingga jadi seorang berewok. Pandang matanya tajam
berwibawa. Dia adalah seorang yang selalu bersungguh-sungguh, sehingga
nampak kini menjadi lebih tua daripada Gagak Handaka.


"Kalau kakakku berkata satu adalah satu, berkata dua adalah dua. Masa
kalian tak per-nah mendengar watak Gagak Handaka?" katanya dengan suara keras.


Diam-diam Wirapati berpikir, tabiat Kang-mas Ranggajaya yang keras dan
kasar ternya-ta tidak berubah. Mengapa dia membentak tamunya? Pastilah ada
alasannya.


Memperoleh pikiran demikian, segera ia mengalihkan pandang kepada tamunya.
Tak usah lama, segera ia mengenal siapa mereka. Manyarsewu, Cocak Hijau,
Sawungrana dan Abdulrasim berdiri sejajar dengan wajah te-gang. Cocak Hijau
yang berwatak berangasan segera berkata kepada Gagak Handaka se-olah-olah
tidak mendengarkan ucapan Rang-gajaya.


"Jika Gagak Handaka sudah berkata demi-kian, bagaimana kami berani
menganggap sepi. Hanya saja, tolong kami diberitakan kapan kedua adik
seperguruan Tuan datang!"


Mendengar Cocak Hijau menyinggung dirinya, Wirapati terkejut. Hm,
kedatangan mereka benar-benar perkara diriku. Pastilah mereka menghendaki
Sangaji. Mereka hanya hendak




memperoleh kepastian, apakah aku dan Sangaji sudah berada di pertapaan.
Apabila sudah memperoleh kepastian, hm— bukankah lebih mudah untuk
merencanakan suatu perlawanan tertentu? pikirnya.


Tatkala itu Ranggajaya berkata keras lagi. "Meskipun kepandaian dan ilmu
sakti kami berlima jauh dibandingkan dengan perguruan-perguruan ternama
lainnya, tetapi dalam hal pengertian apa yang dinamakan kebajikan dan
keadilan, rasanya tidak pernah ketinggalan. Berkat gelaran yang diberikan
masyarakat, maka kami berlima terkenal dengan gelar para pandawa. Padahal
gelar tersebut amat memalukan. Sebenarnya tak berani kami menerimanya...."


Wirapati tersenyum geli mendengar kata-kata kakak-seperguruannya yang kedua
itu. Dua belas tahun tak bertemu, ternyata Kangmas Ranggajaya yang sok
uring-uringan sudah begini pandai berbicara. Dahulu dalam satu hari, belum
tentu dia berbicara sepatah katapun jua. Rupanya semua memperoleh kemajuan,
kecuali aku, pikir Wirapati.


Dalam pada itu terdengar Ranggajaya berkata lagi, "Dan kalau kami telah
dibebani gelar seberat itu, meskipun merasa diri tak sanggup, sedapat
mungkin harus juga mengimbangi. Karena itu dalam setiap gerak-gerik kami,
selalu kami perhitungkan dan jangan sampai berbuat sesuatu hal yang kurang
pantas. Bagus Kempong dan Wirapati adalah adik-seperguruan kami yang paling
halus perasaannya. Tak mungkin mereka berdua melukai seorang tanpa alasan
yang kuat."


"Nama murid-murid Kyai Kasan Kesambi yang gilang-gemilang siapa yang tak
pernah mendengar?" tungkas Cocak Hijau, "Karena itu, apa perlu anak murid
Kyai Kasan Kesambi meniup-niup diri sendiri. Bukankah nama anak murid Kyai
Kasan Kesambi sangat besar seperti bunyi guntur meledak di siang hari?"


Mendengar kata-kata Cocak Hijau yang bernada mengejek dan menyindir, wajah
Ranggajaya berubah tegang. Katanya cepat, "Sebenarnya kalian bermaksud apa
mengun-jungi pesanggrahan kami? Katakanlah terus terang!"


Cocak Hijau hendak membalas mendam-prat, mendadak saja Manyarsewu yang
lebih bisa mengendalikan diri berkata mendahului.


"Anak-murid Kyai Kasan Kesambi apabila berkata satu pastilah satu. Berkata
dua pasti-lah dua. Tetapi masakan mata kami berempat salah lihat? Kami
berempat waktu itu lagi mendampingi majikan kami, nDoromas Sanjaya yang
kena pukulan tinju cucu murid Kyai Kasan Kesambi."


"Cucu murid?" Ranggajaya heran.


"Tiba-tiba saja kami diserbu." Manyarsewu tak mengindahkan. "Sepuluh orang
di antara kami dilukai."


"Siapa yang melukai?"


"Hm, biarpun muka anak-murid Kyai Kasan Kesambi ditutupi dengan berewok
tebal masakan kami tak mengenal gaya pu-kulannya?"


Mendengar ucapan Manyarsewu, Wirapati terkejut sampai tubuhnya bergetaran.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat di dalam benaknya. Seketika
berpikirlah ia, apakah bukan dia yang menya-mar sebagai serdadu?


"Selamanya tak pernah kami menyamar," bantah Ranggajaya, "Kami dididik
berjiwa ksa-tria. Menang dan kalah bukanlah suatu soal utama bagi perguruan
kami."


"Bagus!" seru Cocak Hijau tinggi. "Menye-rang di waktu kami sedang tidur
lelap, apakah itu suatu perbuatan ksatria? Bagus Kempong! Wirapati! Hm...
benar-benar ksatria-ksatria jempolan!"


Di belakang pintu angin, Suryaningrat men-dadak saja menjadi gusar. Tak
senang hatinya




mendengar orang mengejek dan menyindir kakak seperguruannya. Rasanya lebih
rela ia kena tampar daripada mendengar ejekan demikian terhadap kakak
sepergurannya. Cepat ia menoleh kepada Wirapati. Tetapi


Wirapati tetap tenang. Diam-diam dia berpikir dalam hati, ... Kangmas
Wirapati benar-benar menjadi ksatria yang sabar dan tenang. Pantas guru
selalu memuji padanya dan percaya kepada kebijaksanaannya.


Waktu itu Ranggajaya nampak berdiri tegak. Dengan suara lantang ia
membentak, "Dua belas tahun lebih adikku Wirapati le-nyap dari padepokan.
Engkau telah menyebut namanya. Mudah-mudahan, dia bisa pulang dengan
selamat. Inilah kabar gembira bagi kami. Tapi tentang tuduhan itu, nanti
dulu! Semenjak adikku hilang dari padepokan, orang terus menerus menuduh
yang bukan-bukan terhadapnya. Dahulu orang menuduh dia melakukan pembunuhan
keji terhadap sepasukan laskar dari Banyumas. Kini, kalianpun datang-datang
terus menghu-jani tuduhan-tuduhan keji, seolah-olah dia melukai
rekan-rekanmu yang sedang tidur pulas. Baiklah! Aku Ranggajaya dan Gagak
Handaka mati dan hidup bersama dengan Wirapati dan Bagus Kempong. Apabila
kalian mencari permusuhan dengan mereka berdua, timpakan kepadaku! Mereka
berdua tiada di sini, dan anggaplah aku mewakili mereka. Terus terang saja
kepandaianku masih kalah jauh daripada mereka berdua. Karena itu,untunglah
bahwa kalian hanya berhadapan dengan aku."


Cocak Hijau yang berwatak brangasan beta-pa tahan mendengar sumbar
Ranggajaya. Terus saja dia berdiri tegak dan dengan mata melotot dia membentak.


"Hari ini, aku Cocak Hijau, berani mendaki Gunung Damar tanpa mengukur
kekuatan diri sendiri. Pastilah aku ditertawakan sekalian pendekar seluruh
pelosok tanah air. Tetapi Cocak Hijau bukanlah makhluk yang berkem-ben )
sutera. Mati hidup apa perlu dipersoalkan, demi piutang yang belum
terbayar. Sepuluh orang di antara kami, bakal hidup cacat karena pukulan
anak-murid Kyai Kasan Kesambi yang terkenal bajik. Dalam sewaktu
pertempuran, mati atau luka-luka bukanlah menjadi soal. Tetapi anak murid
Kyai Kasan Kesambi memukul lawan dengan cara licik. Mula-mula diselomoti
obat bius, kemudian merusak sendi tulang belulang dalam keadaan setengah
sadar. Apakah itu suatu laku seorang ksatria?" Setelah berkata demikian
terus saja ia melangkah maju.


Semenjak tadi, Gagak Handaka berdiam saja. Kini apabila melihat Ranggajaya
dan Cocak.


Hijau akan bergerak benar-benar, ia menyanggah dengan tangannya. Kemudian
berkata dengan tersenyum, "Kalian datang ke mari dengan tetap menuduh kedua
adikku seperguruan berbuat sesuatu hal yang kotor dan keji. Kudengar kalian
menyebut-nyebut pula Wirapati salah seorang adik seperguru-anku yang
menghilang dua belas tahun yang lalu. Baiklah, jika demikian, pastilah
adikku itu sebentar lagi akan tiba di padepokan. Kuharap kalian bersabar
barang sebentar menunggu kedatangannya. Pada saat itulah kalian dan kami
bisa menentukan siapakah yang benar-benar bersalah."


Abdulrasim, pendekar dari Madura—yang mengepalai mereka, mendadak saja
membuka mulut.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar